• Beranda
  • ...
  • Education
  • Perbedaan Pola Pendidikan Dulu dan Kini, Mana yang Lebih Baik?

AboeyyAvatar border
TS
Aboeyy
Perbedaan Pola Pendidikan Dulu dan Kini, Mana yang Lebih Baik?



Tak bisa dipungkiri, bahwa perubahan zaman juga mengubah pola pikir dan pola laku manusia, sehingga pola pendidikan dan pembelajaran juga terus berubah dari masa ke masa. Bukti paling konkret dari perubahan pola pendidikan adalah perubahan kurikulum yang hampir selalu terjadi pada setiap pergantian Menteri Pendidikan.


Sampai kini, tercatat sudah 11 kali terjadi kurikulum di Indonesia, yaitu tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan 2015.

Jika dicermati isi perubahan kurikulum 1994 ke bawah, tampaknya tidak ada perubahan yang signifikan. Artinya, isi dan polanya masih mirip-mirip saja. Namun jika dilihat dari perubahan kurikulum 1994 ke atas, perubahannya tampak lebih signifikan, baik dari isi, pola, dan sistem penilaian yang semakin rumit dan kompleks.

Kurikulum 1994 adalah hasil perpaduan antara kurikulum sebelumnya, khususnya Kurikulum 1975 dan 1984, sehingga kurikulum 1994 dianggap kurikulum yang super padat.

Di sini saya tidak akan memaparkan perbedaan kurikulum 1994 ke bawah dan ke atas secara detil. Namun secara global dapat dikatakan perbedaannya adalah, kurikulum 1994 ke bawah lebih berorientasi pada aspek afektif dan kognitif (pengetahuan dan pemahaman). Sedangkan kurikulum 1994 ke atas lebih berorientasi pada aspek psikomotor dan karakter (keterampilan, penghayatan dan pengamalan). Pola pendidikan karakter itu lebih kentara lagi pada kurikulum 2006 dan kurikulum 2013.

Di antara unsur-unsur pendidikan karakter tersebut adalah kejujuran, tanggungjawab, disiplin dan religius.

Lantas, bagaimana perbedaan hasil dari penerapan kurikulum tersebut terhadap siswa, dulu dan kini? Dalam hal ini, batasan ‘dulu’ itu mengacu pada kurikulum 1994 ke bawah, dan ‘kini’ merujuk pada kurikulum 1994 ke atas.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya, perbedaan pola pendidikan dan hasilnya pada siswa, dulu dan kini, khususnya pada pendidikan karakter religius adalah sebagai berikut:


1. Pola Pakaian Siswa

Saya tidak tahu kapan persisnya semua siswi dari SD sampai SMA, mulai seragam memakai rok panjang, baju lengan panjang dan kerudung. Seingat saya, pada awal tahun 1990, siswi SMA sendiri masih memakai rok pendek sebatas lutut, kemeja lengan pendek, dan rambut terurai. Namun tahun 1995, tampaknya semua siswi dari SD sampai SMA sudah seragam pakai pakaian yang tertutup.


Anak SMA zaman now

Meski demikian, di tahun 1990 ke bawah, rasanya tidak pernah terdengar kabar adanya pelecehan seksual oleh guru terhadap siswi, atau siswa kepada siswi. Justru setelah siswi berpakaian serba tertutup mulai sering terdengar kabar terjadinya pelecehan.


Anak SMA zaman old

Saya tidak bermaksud menyalahkan pola pakaian. Ini sangat bagus, karena sesuai dengan ajaran agama Islam bagi yang muslim. Namun saya hanya heran, mengapa saat pola pakaian mulai agamis dan religius, justru pelecehan seksual terhadap siswi semakin marak terjadi? Jadi, di mana letak kesalahannya?


2. Sikap Hormat Terhadap Guru dan Ortu

Sikap hormat terhadap guru dan orang tua, sebagai bagian dari pendidikan karakter religius sudah diterapkan pada semua sekolah. Misalnya siswa-siswi dibiasakan mengucap salam dan mencium tangan orang tua sebelum berangkat dan saat datang sekolah. Begitu juga terhadap guru-guru di sekolah.


Cium tangan guru tempoe doeloe

Sedangkan dulu, sangat jarang ada siswa yang melakukan hal itu, kecuali anak Pesantren. Meski demikian, dulu itu hampir tak pernah terdengar ada siswa atau orang tua siswa yang menganiaya guru. Mereka justru sangat takut dan hormat kepada guru-guru dan orang tua.


Cium tangan guru masa kini


Kalau menurut pengamatan saya, hal itu terjadi karena siswa seolah ‘dipaksa’ untuk melakukan itu. Maka tak heran jika siswa mencium tangan tangan guru atau orang tua, dengan meletakkan tangan mereka ke dahi atau ke pipi. Sedangkan siswa dulu, yang namanya mencium itu, ya dengan meletakkan tangan mereka dihidung.

Dalam konsep sufistik, mencium tangan guru itu pada hakikatnya adalah menghirup atau menarik keberkahan ilmu dari sangat guru atau orang tua. Maka perbedaan cara mencium tangan guru dan ortu antara siswa dulu dan kini, tentu akan menghasilkan efek yang berbeda pula pada perilaku siswa.

Jadi, menurut saya, pola pendidikan karakter religius yang diterapkan di sekolah-sekolah saat ini hanyalah formalitas zahir saja.

Kalau dilihat dari pola pendidikan pesantren zaman dulu, para santri hanya disuruh membaca dan menghapal isi kitab seperti Al-Ajrumiyah, tanpa mengerti makna dan maksudnya. Sedangkan guru jarang menjelaskan isinya secara detil, dan jarang pula ada tanya jawab.

Tapi anehnya, setelah santri lulus dari pondok, ia bisa jadi ustaz dan mengajarkan isi kitab yang dihapal tanpa dipahaminya dulu. Hal ini karena ada semacam keberkahan dari guru, karena ada pola hormat yang benar antara murid terhadap guru.

Karena itulah ulama-ulama terdahulu banyak mengarang kitab tentang adab murid terhadap guru, seperti karya Syekh az-Zarnuji, Syekh Hasyim Asy’ari, dan lain-lain. Kitab-kitab itu diajarkan pada kelas-kelas pemula (ibtida’ / elementary).
***
Dengan demikian, menurut saya, pola pendidikan dulu jauh lebih baik dan berhasil dalam membina karakter religius siswa.(*) Ref 1Ref 2
Diubah oleh Aboeyy 13-08-2019 11:31
adestiey
mainida
Handikaweh
Handikaweh dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.5K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Education
EducationKASKUS Official
22.5KThread13.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.