Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

inal74Avatar border
TS
inal74
SEJARAH SINGKAT DEMOKRASI: Memang Bukan Dari Islam


Acropolis Athena

Memang tidak mudah untuk memperoleh informasi tentang sejarah utuh demokrasi. Apalagi untuk mengetahui kronologi kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangannya. Satu-satunya cara mudah untuk mengetahui sedikit riwayat demokrasi adalah dari asal usul bahasanya. Menurut Etimologi (ilmu bahasa yang mempelajari tentang asal-usul suatu kata), demokrasi berasal dari dua kata berbahasa Yunani Kuno, yaitu demos(kuasa) dan kratos/cratein (rakyat). Gabungan dua kata ini menghasilkan istilah demokratia yang berarti “rakyat berkuasa” (rule by the people) atau “pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat” (government by the people). Istilah demokratia ini kemudian menyerap ke dalam bahasa Inggris menjadi democracy. Istilah democracy diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi demokrasi.

Selanjutnya, para “bidan” demokrasi jaman Yunani Kuno di antaranya adalah: Plato (427-347 Sebelum Masehi), Aristoteles (384-322 Sebelum Masehi), Thucydides (460-395 Sebelum Masehi), Pericles (494-429 Sebelum Masehi), Aeschines (389-314 Sebelum Masehi), Isocrates (436-388 Sebelum Masehi), Herodotus (484-425 Sebelum Masehi), dan Xenophanes (570-475 Sebelum Masehi) yang mana mereka ini bukanlah Muslim atau Nasrani. Demokrasi Athena dimulai pada tahun 507 Sebelum Masehi, dan berakhir pada tahun 338 Sebelum Masehi. Oleh sebab itu, berdasarkan dari asal usulnya, diketahui bahwa demokrasi dilahirkan dari ranah kebudayaan Yunani Kuno, tepatnya di kota Athena ribuan tahun silam.

Sistem demokrasi yang diterapkan pada jaman Yunani Kuno (salah satunya di kota Athena yang terkenal dengan citadelAcropolis Athena-nya) adalah demokrasi langsung (direct democracy). Dalam sistem ini, seluruh rakyat secara langsung ikut serta dalam membuat keputusan-keputusan politik dengan berdasar pada perhitungan suara mayoritas. Demokrasi langsung bisa diterapkan karena kala itu semua negara-kota (city-state) pada jaman Yunani Kuno memiliki wilayah yang kecil dengan jumlah penduduk sedikit (± 300.000 jiwa di dalam satu negara-kota). Kemudian setelah Yunani Kuno, giliran bangsa Romawi Kuno yang menerapkan demokrasi dalam pemerintahannya. Ada dua cendekiawan Romawi Kuno yang sangat besar pengaruhnya dalam memperkaya ranah pemikiran tentang demokrasi, yaitu: Polybius alias Polibios (200-118 Maqsehi), dan Cicero (106-43 Sebelum Masehi).

Ketika benua Eropa memasuki Abad Pertengahan (600-1400 Masehi), gagasan demokrasi lenyap begitu saja dari muka bumi. Namun, para sejarawan dan pakar politik Barat berpendapat bahwa gagasan demokrasi tidaklah benar-benar hilang. Para ahli tersebut menganggap bahwa pada Abad Pertengahan sebenarnya terdapat denyut demokrasi, yaitu pada masa lahirnya Magna Chartadi tahun 1215. Magna Charta (Piagam Besar) merupakan sejenis kontrak antara beberapa bangsawan dengan Raja John dari Inggris. Kontrak tersebut menyatakan bahwa seorang raja bersedia mengikatkan dirinya untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan tanggungjawab bawahannya sebagai imbalan atas pembayaran upeti. Meskipun tidak berlaku untuk rakyat jelata, Magna Charta tetap dianggap sebagai titik awal perkembangan demokrasi moderen.

Salah satu poin dari Magna Charta

Di penghujung Abad Pertengahan, terjadi dua peristiwa penting di benua Eropa, yaitu Renaissance(1350-1600) dan Reformation (1500-1650). Renaissance adalah masa kelahiran kembali minat bangsa Eropa untuk mengkaji kesusastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang telah lama terlupakan. Sedangkan Reformation atau Reformasi adalah masa di mana bangsa Eropa berjuang untuk melepaskan diri dari pengekangan gereja, baik di bidang spiritual maupun sosial-politik. Keberhasilan bangsa Eropa melepaskan diri dari penguasaan gereja ini melahirkan gagasan tentang kebebasan beragama (liberalisasi agama) dan pemisahaan antara agama dengan negara (sekulerisasi). Selanjutnya, Renaissance, Reformation, liberalisasi agama, dan sekulerisasi telah menggiring bangsa Eropa ke dalam masa Aufklärung atau Abad Pemikiran (1650-1800). Dalam masa ini, lahirlah apa yang disebut dengan Rationalism (Rasionalisme), yaitu aliran pemikiran yang bertujuan memerdekakan pikiran manusia dari batas-batas yang dibuat oleh gereja, serta mendasarkan cara berpikir dengan menggunakan akal (rasio).

Akibat dari rentetan peristiwa di atas, maka pada akhir abad ke-19 ide perihal modernisasi demokrasi telah berhasil mencapai kematangan dalam perkembangannya sebagai bagian dari sistem politik. Cikal bakal demokrasi moderen ini berlandaskan asas kemerdekaan individu, kesamaan hak, dan hak pilih bagi seluruh warganegaranya. Seiring dengan bergulirnya jaman, kematangan gagasan demokrasi moderen telah melahirkan sistem pemerintahan demokrasi baru, yaitu: demokrasi perwakilan (representative democracy). Bentuk demokrasi inilah yang hingga sekarang banyak diterapkan di hampir seluruh negara, termasuk negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim.

Dalam proses penyebaran demokrasi moderen, agama Kristen (Protestan) dan Katolik memiliki peranan sangat penting. Riza Sihbudi, seorang peneliti dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), juga menyatakan bahwa demokrasi identik dengan the Western Christian Connection, karena demokrasi memang lahir dan tumbuh di lingkungan kultur Barat yang Kristen. Tetapi di antara dua aliran utama ajaran Nasrani tersebut, Protestanlah yang pertama kali mendukung demokratisasi di beberapa negara, karena aliran ini lebih dulu menunjukkan sikap permisif (membolehkan) dan akomodatif (menyesuaikan diri) terhadap demokrasi. Di pihak lain, pada awalnya Katolik dinilai otoriter dan mendukung rejim-rejim diktator. Baru pada dasawarsa 1960, gereja Katolik melakukan serangkaian perubahan internal. Hasilnya, gereja-gereja Katolik menyatakan bersikap oposisi terhadap rejim-rejim diktator, dan mendukung semua gerakan prodemokrasi. Perubahan sikap gereja Katolik ini merupakan fenomena politik penting. Namun baru setelah tahun 1970, Katolik benar-benar diakui sebagai kekuatan bagi demokrasi. Dalam menanggapi pentingnya peranan agama Katolik dalam gelombang demokratisasi ketiga, seorang pakar politik Amerika Serikat bernama Samuel P. Huntington membuat sebuah komentar menarik: "Sebagai kekuatan yang berpengaruh luas bagi terjadinya demokratisasi pada dasawarsa 1970 dan 1980, agama Katolik berada di urutan kedua setelah perkembangan ekonomi. Logo gelombang ketiga boleh jadi berbentuk sebuah salib bergambar Yesus yang ditumpangkan pada sebuah lambang dolar". Kasusnya yang paling menonjol adalah peranan Katolik dan Protestan dalam proses transisi menuju demokrasi di Korea Selatan pada dasawarsa 1970 dan dasawarsa 1980.

Pada dasawarsa 1970, Korea Selatan dipimpin oleh seorang diktator militer bernama Park. Kepemimpinan sang diktator telah memicu lahirnya sebuah demonstrasi besar-besaran pada tahun 1974 di negara ginseng tersebut. Sebanyak 5000 umat Katolik di bawah pimpinan lima uskup berdemonstrasi menentang hukum darurat perang buatan Presiden Park. Selain mereka, ada pula tokoh-tokoh oposisi Korea Selatan lain yang ikut berunjuk rasa, yaitu dua orang pemeluk Kristen bernama Kim Dae Jung dan Kim Young Sam, Pendeta Moon Ik Hwan, serta Kardinal Kim Sou Hwan.

Ketika Korea Selatan dikuasai oleh diktator militer lain bernama Jenderal Chun Doo Hwan pada awal dasawarsa 1980, gereja dan katedral di Korea Selatan telah menjadi benteng pertahanan bagi gerakan oposisi. Pada tahun 1986 dan 1987, Kardinal Kim Sou Hwan, para pemimpin Katolik lain, dan Dewan Gereja Nasional (organisasi utama Protestan) di Korea Selatan mendukung kampanye tentang pemilihan presiden langsung yang diusung oleh pihak oposisi. Para pendeta Katolik, Himpunan Pekerja Muda Katolik dari Katolik Roma, dan para pendeta Protestan terlibat dalam aktivitas politik serta menjadi bagian vital dari gerakan anti pemerintah. Jadi, gereja, katedral, para pemimpin dan jemaat penerima sakramen adalah kekuatan andalan yang merealisasikan keberhasilan transisi demokrasi di Korea Selatan pada tahun 1987 dan 1988.

Aktifnya umat Nasrani dalam memperjuangkan demokrasi bisa pula dilihat di beberapa negara lainnya, seperti:

1. Pada dasawarsa 1960 dan dasawarsa 1970, di Filipina berkembang sebuah organisasi christian left(Kristen Kiri) yang para anggotanya terdiri dari para pendeta dan aktivis kalangan pinggiran. Organisasi ini mendukung pemerintahan sosial demokrat yang anti komunis dan anti penjajahan.

2. Di Spanyol, gereja membantu Franco merebut tampuk pemerintahan.

3. Di Guatemala. Antara tahun 1983 dan 1986, gereja di Guatemala tidak lagi menjadi pembela pemerintahan status quoyang lalim, karena telah berubah menjadi pengusung keadilan sosial, reformasi, dan demokrasi.

4. Di El Salvador. Setelah tahun 1977, gereja, di bawah komando Uskup Agung Romero, memutuskan hubungan harmonisnya dengan pemerintahnya yang diktator.

5. Di Republik Dominika. Pada tahun 1978, gereja mengutuk upaya penghentian perhitungan suara dan perpanjangan masa jabatan Belaguer yang dinilai diktator.

6. Pada tahun 1989, para pemimpin gereja di Panama mengutuk kecurangan Jendral Noriega dalam pemilihan umum dan mendorong para tentara Panama agar tidak mematuhi segala perintah tentang penindakan terhadap para pengunjuk rasa.

7. Pada tahun 1990-an, di Nikaragua, Kardinal Obando Y. Bravo memobilisasi gerakan oposisi terhadap pemerintahan Sandinista.

8. Di Chile pada Agustus 1985, Kardinal Juan Francisco Fresno berada di garis depan dalam perjuangan menentang rezim Pinochet.

Berdasarkan proses penyebarannya seperti digambarkan di atas, ternyata umat Nasrani dengan gerejanya merupakan salah satu garda depan demokratisasi di beberapa negara. Sementara itu bila dilihat dari sejarahnya, lahirnya demokrasi bukan merupakan bagian dari sejarah Islam, karena Islam memiliki konsepnya sendiri, yaitu ahlul halli wal aqdi. Meski begitu, tidak lantas demokrasi menjadi barang haram untuk dilaksanakan oleh umat Muslim.


Sumber referensi:
Fahmi Suhudi, Demokrasi Bukan Agama, Islam[dot]co, 6 Februari 2018.

Riza Sihbudi, “Islam, Radikalisme, dan Demokrasi”, dalam Terorisme, Perang Global, dan Masa Depan Demokrasi, Tim Editor: Rudhy Suharto, Wihaji PWH, Chamad Hojin, Matapena, Jakarta, 2004.

Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Penerjemah: Asril Marjohan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995.

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
tyrodinthor
yusuko
muhamad.hanif.2
muhamad.hanif.2 dan 2 lainnya memberi reputasi
-3
1.7K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & XenologyKASKUS Official
6.5KThread10.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.