noldeforestasiAvatar border
TS
noldeforestasi
Mengapa Presiden Gemetar Hadapi Korporasi Pembakar Hutan?


“Lempar batu, sembunyi tangan”. Ungkapan itu nampaknya layak untuk disematkan pada kalangan korporasi, yang secara langsung maupun tidak langsung, berandil dalam terjadinya sejumlah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Jambi.

Kebakaran hutan dan lahan yang terus berulang di satu sisi memang bias jadi disebabkan oleh musim kemarau yang diperkirakan akan berlangsung cukup panjang tahun ini. Namun di sisi lain tak bisa lepas dari penegakan hukum yang lemah.

Pemerintah tak cukup berani mengambil sikap tegas terkait karhutla yang menyeret korporasi. Padahal fakta yang ditemukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait titik panas sepanjang tahun 2018, banyak yang berlokasidi kawasan konsensi korporasi, baik itu kehutanan maupun perkebunan.

Akibat ketidaktegasan pemerintah, alih-alih memaksa korporasi memulihkan kebakaran yang terjadi di wilayahnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) malah mengerahkan TNI dan Polri untuk memadamkan karhutla. 

Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu A Perdana, mengkritik cara pemerintah menangani masalah karhutla. "Jujur dalam konteks nasionalisme itu kurang ajar. Penjaga kedaulatan kita difungsikan sebagai pemadam kebakaran yang disebabkan oleh korporasi," tegasnya seperti dilansir CNNIndonesia.com, kemarin.

Ramai diberitakan sebanyak 5.929 personel gabungan dikerahkan untuk memadamkan karhutla di Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Jambi. Personel gabungan ini berasal dari satuan tugas darat dan udara dari unsur TNI, Polri, BPBD, Masyarakat Peduli Api, dan sejumlah kementerian/lembaga.

Wahyu menyebut ada 613 perusahaan yang beroperasi dalam lahan konsesi itu. Sayang, pemerintah seakan tidak mampu bertindak tegas terhadap perusahaan-perusahaan itu.



Padahal sejatinya pemerintah memiliki instrumen Instruksi Presiden (Inpres) yang mengatur soal moratorium. Melalui Inpres, pemerintah bukan hanya bisa penundaan izin, tapi juga me-review izin-izin yang sudah keluar. Idealnya, jika pemerintah tegas, seharusnya prioritas review alias peninjauan kembali dilakukan atas konsesi kawasan-kawasan dimana terdapat titik panas di dalamnya.

Namun yang terjadi saat ini, pemerintah masih mengejar pelaku pembakarnya saja. Hal itu jugalah yang membuat penegakan hukum dalam kasus kebakaran lahan dan hutan berjalan lambat.

Masih belum hilang dari ingatam kita perkara Mahkamah Agung memang telah mengabulkan gugatan perdata yang dilayangkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) terhadap 11 perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta pembalakan liar yang terjadi antara 2012 sampai 2018.

Posisi saat ini, sembilan kasus sudah incracht (berkekuatan tetap) di tingkat pengadilan negeri. Sementara dua kasus di antaranya masih menunggu putusan banding di pengadilan tinggi. Korporasi tinggal membayar denda yang totalnya memang mencapai Rp18,3 triliun.

Adhityani Putri dari Yayasan Indonesia Cerah bilang, belum ada putusan tersebut yang dieksekusi oleh pengadilan. Memang ada penjatuhan sanksi, namun berdasarkan pemantauan Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) belum ada putusan tersebut yang dieksekusi oleh pengadilan.

Direktur Sawit Watch, Inda Fatinaware, menyoroti perihal wilayah yang dikuasai masyarakat dalam areal konsensi sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang terbakar di Riau. Konflik diduga mempunyai andil besar dalam masalah karhutla.

Titik api dari kebakaran hutan dan lahan tidak dapat berdiri sendiri. Akar pemicunya adalah konflik lahan. “Jadi apabila ingin menyelesaikan permasalahan kebakaran hutan dan lahan, maka selesaikanlah konflik yang terjadi, sebab ini bukan hanya sekadar persoalan sekat kanal dan sumur bor," tegasnya.



Idealnya memang sudah selayaknya pemerintah bertindak lebih tegas dengan menegakan hukum dan melakukan pemulihan serta ganti rugi. Keterlibatan aparat gabungan memang bisa dilakukan jika karhutla sudah berada dalam tahapan darurat. Namun hal itu bukanlah suatu solusi.

Kita pasti setuju bahwa tidaklah elok membebani keuangan negara oleh kesalahan yang sebenarnya bisa dibebankan kepada korporasi. Perlakuan seperti itu tentu tidak menyentuh akar masalah. Terlebih dasar hukum bagi pemerintah untuk melakukan hal tersebut kuat, karena telah diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pertanyaannya, mengapa seorang pemimpin tertinggi negara tidak berani frontal menyebut kebakaran hutan adalah kesalahan korporasi, yang harus diselesaikan sendiri oleh korporasi? Sampai-sampai merasa tak cukup menerjunkan TNI atau Polri secara terpisah, melainkan harus menerjunkan sinergi TNI-Polri untuk menghadapi korporasi pembakar hutan?

Siapa orang-orang di belakang korporasi pembakar hutan yang sampai membuat pejabat selevel presiden pun gemetar?






Acuan:


Ribuan Personel Gabungan Padamkan Karhutla di 5 Provinsi


11 Perusahaan Perusak Lingkungan Rugikan Negara Rp18 Triliun


Korporasi Harus Taat Aturan Untuk Cegah Karhutla
Diubah oleh noldeforestasi 02-08-2019 08:13
I.Just.Run
trimusketeers
adammohak
adammohak dan 3 lainnya memberi reputasi
2
2.7K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.2KThread40.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.