- Beranda
- Berita dan Politik
Aceh: Ketika Kehidupan Sehari-hari Diatur oleh Hukum Syariah
...


TS
pasti2periode
Aceh: Ketika Kehidupan Sehari-hari Diatur oleh Hukum Syariah
Quote:
Di Aceh, anak-anak muda harus menyesuaikan kehidupan sehari-hari mereka dengan hukum syariah yang ketat. Bioskop dan karaoke dilarang. Pasangan yang belum menikah tidak diperbolehkan berdua-duaan. Perempuan sempat diberikan jam malam, dan perempuan dan laki-laki yang bukan mahram sempat dilarang untuk makan bersama. Inilah Aceh, di mana hukum syariah ditegakkan dan mengatur dengan ketat kehidupan sehari-hari warganya.
Fajran Zain masih ingat hari-hari ketika sepasang kekasih di provinsi Aceh bisa duduk untuk menikmati matahari terbenam bersama tanpa harus khawatir dengan polisi agama.
Provinsi di ujung barat Indonesia ini adalah satu-satunya provinsi di mana hukum syariah secara resmi dipraktikkan. Hukum syariah yang kontroversial ini pertama kali diberlakukan pada pada tahun 2001, setelah pemerintah Indonesia memberikan lebih banyak otonomi ke wilayah tersebut dalam upaya untuk menenangkan pemberontak yang melakukan gerakan separatis jangka panjang.
Setelah perjanjian itu, bioskop dan karaoke dilarang dan anak-anak muda semakin dihadapkan dengan lebih banyak pembatasan. Sebagai contoh, pada akhir Juni, Dewan Ulama Aceh mengeluarkan fatwa untuk melarang Player Unknown’s Battleground (PUBG)—sebuah game tembak-tembakan online yang sangat populer di provinsi tersebut, mengklaim bahwa game tersebut mempromosikan perilaku buruk.
Faisal Ali, Wakil Ketua Dewan Ulama Aceh, mengatakan bahwa permainan ini “juga menghina Islam”, tanpa memberikan perincian untuk alasan di balik klaim tersebut.
Di Aceh, pasangan yang belum menikah juga semakin sulit untuk berkencan, atau setidaknya mengenal lebih jauh orang yang mereka sukai. Hukuman bagi mereka yang memutuskan untuk berkencan atau melakukan hubungan seksual, tidak hanya sebatas omelan dari orang tua mereka atau peringatan sederhana dari pihak berwenang. Pasangan yang belum menikah dan ditemukan berpelukan atau berpegangan tangan bisa dicambuk puluhan kali di depan umum.
Itu terjadi pada Januari 2019, ketika dua anak berusia 18 tahun dicambuk 17 kali di depan orang-orang di depan masjid di ibu kota provinsi, Banda Aceh, karena mereka kedapatan saling berpelukan. Pada bulan Maret, setidaknya dua wanita juga tidak dapat berjalan setelah dicambuk di depan umum atas dugaan “hubungan intim” di luar pernikahan.
Mengkonsumsi alkohol, berhubungan seksual di luar nikah, perzinahan, dan homoseksualitas juga dikenai sanksi. Pengawas Human Rights Watch melaporkan pada tahun 2017, bahwa ada lebih dari 500 pencambukan publik sejak tahun 2015, ketika hukuman itu diberlakukan sebagai bagian dari hukum pidana syariah yang baru.
Menurut Zain—yang berusia 30 tahun dan bekerja sebagai analis politik untuk Aceh Institute di Banda Aceh—mungkin bagian terburuk dari hukuman ini untuk kaum muda adalah rasa malu. Hukum cambuk dilakukan di depan masjid, di mana orang-orang berkumpul dan mendokumentasikan proses pencambukan yang dilakukan oleh seorang pria berkerudung yang dipersenjatai dengan tongkat rotan. Gambar-gambar ini kemudian muncul di jejaring sosial dan di surat kabar, memalukan anak-anak muda ini dan keluarga mereka.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional telah berulang kali mengecam praktik ini dan bahkan Presiden Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo, telah meminta untuk mengakhirinya pada beberapa kesempatan. Tetapi di Aceh—di mana 98 persen dari 5 juta penduduknya mempraktikkan Islam—ada lebih banyak dukungan untuk penerapan hukum syariah ini.
Mengingat keadaan tersebut, tidak mengherankan bahwa orang-orang di Aceh “tidak terbiasa” dengan aplikasi kencan seperti Tinder, menurut Cut Famelia, seorang warga Aceh berusia 28 tahun. Jika dua orang muda memutuskan untuk bertemu, mereka harus melakukannya di tempat yang ramai, seperti kafe, untuk menghindari masalah dengan polisi agama.
Pembatasan yang dihadapi orang Aceh tergantung pada di mana mereka tinggal, dan pembatasan ini sangat keras terhadap perempuan. Di Banda Aceh, situasinya agak lebih longgar sejak wali kota baru terpilih pada 2017, menurut Zain.
Di bawah wali kota sebelumnya, gerakan perempuan sangat dibatasi, di mana jam malam sebagian diberlakukan pada tahun 2015, yang mengharuskan perempuan sudah berada di rumah sebelum jam 11 malam untuk “mencegah terjadinya kekerasan seksual,” kata Zain.
Mantan wali kota itu juga memberi ultimatum pada tempat-tempat termasuk restoran, pusat olahraga, kafe, dan tempat-tempat wisata untuk tidak melayani perempuan setelah jam 11 malam, kecuali mereka ditemani oleh suami atau kerabat lelaki mereka.
Di bagian lain provinsi itu, di kabupaten Bireuen, sebuah peraturan yang diberlakukan pada September 2018 melarang pria dan wanita untuk makan malam bersama kecuali mereka suami istri atau bersaudara, untuk memastikan agar wanita “berperilaku lebih baik,” menurut pernyataan seorang pejabat kabupaten yang diterbitkan oleh The Guardian.
Pembatasan misoginis lainnya yang diberlakukan di Aceh utara pada tahun 2013 melarang wanita untuk duduk mengangkang saat menaiki sepeda motor, kecuali dalam kasus “darurat”. Wali Kota Lhokseumawe—kota terbesar kedua di Aceh—mengatakan bahwa pelarangan itu diperlukan karena “lekuk tubuh wanita lebih terlihat” jika mereka mengangkang saat menaiki motor.
Larangan terbaru itu diberlakukan pada bulan Juli tahun ini, seiring organisasi dan cendekiawan Islam mengecam rencana liga sepak bola wanita di wilayah tersebut, karena mereka mengatakan bahwa wanita “dilarang” bermain sepak bola di bawah hukum Islam.
Namun, generasi yang lebih muda juga turut mendukung hukum syariah ini. Menurut Andreas Harsono—seorang peneliti di Human Rights Watch yang berbasis di Jakarta dan penulis Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia—banyak anak muda Aceh percaya bahwa hukum syariah “adalah tradisi mereka dan akan membuat mereka jauh dari bencana alam seperti tsunami.”
Sebagai contoh, Famelia mendukung hukum syariah ini, meskipun ia tidak mendukung peringatan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan tekanan yang diberikan pada wanita, yang terkadang bisa memalukan.
Dia mengatakan bahwa pesan resmi seperti “jika kamu berpakaian seperti itu, maka kamu tidak mencintai ayahmu” telah tersebar sebelumnya, sementara sebuah poster yang ditempatkan di persimpangan di Banda Aceh memperingatkan bahwa jika seorang pria selain suaminya melihat sehelai rambut seorang wanita, hukumannya akan 70.000 tahun di neraka. Famelia—meskipun mengenakan jilbab dengan bangga sebagai tanda keimanannya—mempertanyakan pihak berwenang karena memaksa semua wanita untuk menutupi diri.
Di bawah hukum syariah, bukan hanya wanita yang menghadapi ‘penindasan’: Komunitas LGBT di Aceh juga telah menjadi target dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2017, pasangan homoseksual ditindas oleh sekelompok warga dan menerima 85 cambukan masing-masing, setelah mereka dinyatakan bersalah melanggar hukum pidana syariah di provinsi tersebut, yang menuai kritik dari dalam dan luar Indonesia.
Namun demikian, bukan hanya di Aceh, konservatisme Islam tampaknya sedang meningkat. Ada beberapa bukti bahwa tren ini sedang terjadi di seluruh negeri, terutama setelah pemenjaraan Ahok pada tahun 2017 karena penistaan agama. Baru-baru ini, Meliana, yang beragama Buddha, dijatuhi hukuman 18 bulan penjara pada tahun 2018 karena mengeluhkan kerasnya volume azan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kelompok agama garis keras mulai berakar di bagian lain Indonesia, mengguncang moto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika, atau persatuan dalam keanekaragaman.
Di Aceh, upaya untuk mengubah cara penerapan syariah belum banyak berkembang. Tahun lalu, gubernur provinsi berusaha memindahkan proses pencambukan ke penjara dan tidak terlihat oleh publik, yang memprovokasi keluhan dari kelompok-kelompok Islam yang mengorganisasi protes di depan kantornya, karena mereka percaya bahwa pencambukan di depan umum memiliki efek jera.
Suara-suara konservatif juga cenderung menerima lebih banyak publisitas di media daripada yang progresif, jadi hanya sedikit orang yang berani berbicara secara aktif. Menurut para aktivis, beberapa orang takut menyampaikan gagasan mereka. Tapi ada beberapa pengecualian. Sebuah kelompok yang terdiri dari 30 anggota aktivis yang berbasis di Aceh, sedang mencoba untuk mengubah keadaan.
Menurut akademisi Fuad Mardhotillah—yang berada di dewan penasihat kelompok itu—masalah mendasar dari hukuman syariah ini adalah “salah tafsir terhadap Islam.” Meskipun kelompok tersebut telah menerbitkan beberapa brosur dan secara teratur menyelenggarakan seminar, namun Mardhotillah menyesalkan bahwa hanya sedikit orang di Aceh yang memperhatikan masalah-masalah ini.
Bagi orang-orang progresif seperti dia, masa depan tampaknya rumit.
Peneliti Harsono mengatakan bahwa menghilangkan syariah setelah diterapkan hampir tidak mungkin, karena siapa pun yang mencobanya dapat dituduh “melakukan penistaan terhadap Islam”.
Sementara itu, Harsono mengatakan bahwa semakin banyak anak-anak muda yang berpikiran kreatif meninggalkan Aceh, mencari pekerjaan dan peluang di kota-kota lain seperti Medan atau Jakarta―di mana pun selain di Aceh.
Fajran Zain masih ingat hari-hari ketika sepasang kekasih di provinsi Aceh bisa duduk untuk menikmati matahari terbenam bersama tanpa harus khawatir dengan polisi agama.
Provinsi di ujung barat Indonesia ini adalah satu-satunya provinsi di mana hukum syariah secara resmi dipraktikkan. Hukum syariah yang kontroversial ini pertama kali diberlakukan pada pada tahun 2001, setelah pemerintah Indonesia memberikan lebih banyak otonomi ke wilayah tersebut dalam upaya untuk menenangkan pemberontak yang melakukan gerakan separatis jangka panjang.

Setelah perjanjian itu, bioskop dan karaoke dilarang dan anak-anak muda semakin dihadapkan dengan lebih banyak pembatasan. Sebagai contoh, pada akhir Juni, Dewan Ulama Aceh mengeluarkan fatwa untuk melarang Player Unknown’s Battleground (PUBG)—sebuah game tembak-tembakan online yang sangat populer di provinsi tersebut, mengklaim bahwa game tersebut mempromosikan perilaku buruk.
Faisal Ali, Wakil Ketua Dewan Ulama Aceh, mengatakan bahwa permainan ini “juga menghina Islam”, tanpa memberikan perincian untuk alasan di balik klaim tersebut.

Di Aceh, pasangan yang belum menikah juga semakin sulit untuk berkencan, atau setidaknya mengenal lebih jauh orang yang mereka sukai. Hukuman bagi mereka yang memutuskan untuk berkencan atau melakukan hubungan seksual, tidak hanya sebatas omelan dari orang tua mereka atau peringatan sederhana dari pihak berwenang. Pasangan yang belum menikah dan ditemukan berpelukan atau berpegangan tangan bisa dicambuk puluhan kali di depan umum.
Itu terjadi pada Januari 2019, ketika dua anak berusia 18 tahun dicambuk 17 kali di depan orang-orang di depan masjid di ibu kota provinsi, Banda Aceh, karena mereka kedapatan saling berpelukan. Pada bulan Maret, setidaknya dua wanita juga tidak dapat berjalan setelah dicambuk di depan umum atas dugaan “hubungan intim” di luar pernikahan.
Mengkonsumsi alkohol, berhubungan seksual di luar nikah, perzinahan, dan homoseksualitas juga dikenai sanksi. Pengawas Human Rights Watch melaporkan pada tahun 2017, bahwa ada lebih dari 500 pencambukan publik sejak tahun 2015, ketika hukuman itu diberlakukan sebagai bagian dari hukum pidana syariah yang baru.
Menurut Zain—yang berusia 30 tahun dan bekerja sebagai analis politik untuk Aceh Institute di Banda Aceh—mungkin bagian terburuk dari hukuman ini untuk kaum muda adalah rasa malu. Hukum cambuk dilakukan di depan masjid, di mana orang-orang berkumpul dan mendokumentasikan proses pencambukan yang dilakukan oleh seorang pria berkerudung yang dipersenjatai dengan tongkat rotan. Gambar-gambar ini kemudian muncul di jejaring sosial dan di surat kabar, memalukan anak-anak muda ini dan keluarga mereka.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional telah berulang kali mengecam praktik ini dan bahkan Presiden Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo, telah meminta untuk mengakhirinya pada beberapa kesempatan. Tetapi di Aceh—di mana 98 persen dari 5 juta penduduknya mempraktikkan Islam—ada lebih banyak dukungan untuk penerapan hukum syariah ini.
Mengingat keadaan tersebut, tidak mengherankan bahwa orang-orang di Aceh “tidak terbiasa” dengan aplikasi kencan seperti Tinder, menurut Cut Famelia, seorang warga Aceh berusia 28 tahun. Jika dua orang muda memutuskan untuk bertemu, mereka harus melakukannya di tempat yang ramai, seperti kafe, untuk menghindari masalah dengan polisi agama.
Pembatasan yang dihadapi orang Aceh tergantung pada di mana mereka tinggal, dan pembatasan ini sangat keras terhadap perempuan. Di Banda Aceh, situasinya agak lebih longgar sejak wali kota baru terpilih pada 2017, menurut Zain.
Di bawah wali kota sebelumnya, gerakan perempuan sangat dibatasi, di mana jam malam sebagian diberlakukan pada tahun 2015, yang mengharuskan perempuan sudah berada di rumah sebelum jam 11 malam untuk “mencegah terjadinya kekerasan seksual,” kata Zain.
Mantan wali kota itu juga memberi ultimatum pada tempat-tempat termasuk restoran, pusat olahraga, kafe, dan tempat-tempat wisata untuk tidak melayani perempuan setelah jam 11 malam, kecuali mereka ditemani oleh suami atau kerabat lelaki mereka.
Di bagian lain provinsi itu, di kabupaten Bireuen, sebuah peraturan yang diberlakukan pada September 2018 melarang pria dan wanita untuk makan malam bersama kecuali mereka suami istri atau bersaudara, untuk memastikan agar wanita “berperilaku lebih baik,” menurut pernyataan seorang pejabat kabupaten yang diterbitkan oleh The Guardian.
Pembatasan misoginis lainnya yang diberlakukan di Aceh utara pada tahun 2013 melarang wanita untuk duduk mengangkang saat menaiki sepeda motor, kecuali dalam kasus “darurat”. Wali Kota Lhokseumawe—kota terbesar kedua di Aceh—mengatakan bahwa pelarangan itu diperlukan karena “lekuk tubuh wanita lebih terlihat” jika mereka mengangkang saat menaiki motor.
Larangan terbaru itu diberlakukan pada bulan Juli tahun ini, seiring organisasi dan cendekiawan Islam mengecam rencana liga sepak bola wanita di wilayah tersebut, karena mereka mengatakan bahwa wanita “dilarang” bermain sepak bola di bawah hukum Islam.
Namun, generasi yang lebih muda juga turut mendukung hukum syariah ini. Menurut Andreas Harsono—seorang peneliti di Human Rights Watch yang berbasis di Jakarta dan penulis Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia—banyak anak muda Aceh percaya bahwa hukum syariah “adalah tradisi mereka dan akan membuat mereka jauh dari bencana alam seperti tsunami.”

Sebagai contoh, Famelia mendukung hukum syariah ini, meskipun ia tidak mendukung peringatan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan tekanan yang diberikan pada wanita, yang terkadang bisa memalukan.
Dia mengatakan bahwa pesan resmi seperti “jika kamu berpakaian seperti itu, maka kamu tidak mencintai ayahmu” telah tersebar sebelumnya, sementara sebuah poster yang ditempatkan di persimpangan di Banda Aceh memperingatkan bahwa jika seorang pria selain suaminya melihat sehelai rambut seorang wanita, hukumannya akan 70.000 tahun di neraka. Famelia—meskipun mengenakan jilbab dengan bangga sebagai tanda keimanannya—mempertanyakan pihak berwenang karena memaksa semua wanita untuk menutupi diri.
Di bawah hukum syariah, bukan hanya wanita yang menghadapi ‘penindasan’: Komunitas LGBT di Aceh juga telah menjadi target dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2017, pasangan homoseksual ditindas oleh sekelompok warga dan menerima 85 cambukan masing-masing, setelah mereka dinyatakan bersalah melanggar hukum pidana syariah di provinsi tersebut, yang menuai kritik dari dalam dan luar Indonesia.
Namun demikian, bukan hanya di Aceh, konservatisme Islam tampaknya sedang meningkat. Ada beberapa bukti bahwa tren ini sedang terjadi di seluruh negeri, terutama setelah pemenjaraan Ahok pada tahun 2017 karena penistaan agama. Baru-baru ini, Meliana, yang beragama Buddha, dijatuhi hukuman 18 bulan penjara pada tahun 2018 karena mengeluhkan kerasnya volume azan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kelompok agama garis keras mulai berakar di bagian lain Indonesia, mengguncang moto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika, atau persatuan dalam keanekaragaman.
Di Aceh, upaya untuk mengubah cara penerapan syariah belum banyak berkembang. Tahun lalu, gubernur provinsi berusaha memindahkan proses pencambukan ke penjara dan tidak terlihat oleh publik, yang memprovokasi keluhan dari kelompok-kelompok Islam yang mengorganisasi protes di depan kantornya, karena mereka percaya bahwa pencambukan di depan umum memiliki efek jera.
Suara-suara konservatif juga cenderung menerima lebih banyak publisitas di media daripada yang progresif, jadi hanya sedikit orang yang berani berbicara secara aktif. Menurut para aktivis, beberapa orang takut menyampaikan gagasan mereka. Tapi ada beberapa pengecualian. Sebuah kelompok yang terdiri dari 30 anggota aktivis yang berbasis di Aceh, sedang mencoba untuk mengubah keadaan.
Menurut akademisi Fuad Mardhotillah—yang berada di dewan penasihat kelompok itu—masalah mendasar dari hukuman syariah ini adalah “salah tafsir terhadap Islam.” Meskipun kelompok tersebut telah menerbitkan beberapa brosur dan secara teratur menyelenggarakan seminar, namun Mardhotillah menyesalkan bahwa hanya sedikit orang di Aceh yang memperhatikan masalah-masalah ini.
Bagi orang-orang progresif seperti dia, masa depan tampaknya rumit.

Sementara itu, Harsono mengatakan bahwa semakin banyak anak-anak muda yang berpikiran kreatif meninggalkan Aceh, mencari pekerjaan dan peluang di kota-kota lain seperti Medan atau Jakarta―di mana pun selain di Aceh.
SUMBER
Quote:
pada pada tahun 2001, setelah pemerintah Indonesia memberikan lebih banyak otonomi ke wilayah tersebut dalam upaya untuk menenangkan pemberontak yang melakukan gerakan separatis jangka panjang
gw kasian sama rakyat aceh klo gini
awalnya pemberontakan GAM ( bukan seluruh aceh) bisa di berantas dengan kekerasan
tapi lebih memilih damai dan malah menjadikan pimpinan pemberontak sebagai gubernur
akhirnya malah seluruh rakyat aceh menderita
seluruh generasi muda dicuci otaknya
saat korupsi ketauan, kapan gubernurnya mau potong tangan?
inikah yang disebut sebagai, jangan di bohongi pakai .............. ?
walau masih ada segelintir generasi muda berusaha untuk mengubah keadaan
tapi MUSTAHIL bisa !!
karena jumlahnya yg sangat kecil
dan mereka sama sekali tidak memiliki jabatan
mau berbuat apa?
tak ada yang bisa di lakukan selain menunggu kehancuran
Quote:
Namun demikian, bukan hanya di Aceh, konservatisme Islam tampaknya sedang meningkat. Ada beberapa bukti bahwa tren ini sedang terjadi di seluruh negeri, terutama setelah pemenjaraan Ahok pada tahun 2017 karena penistaan agama
dan seperti biasanya
da gw bilang berulang kali
gubernur mayat adalah simbol perpecahan di indonesia



Quote:
Namun, generasi yang lebih muda juga turut mendukung hukum syariah ini. Menurut Andreas Harsono—seorang peneliti di Human Rights Watch yang berbasis di Jakarta dan penulis Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia—banyak anak muda Aceh percaya bahwa hukum syariah “adalah tradisi mereka dan akan membuat mereka jauh dari bencana alam seperti tsunami.”
benarkah?

silahkan terus berdelusi
zaman modern yang di paksa untuk kembali ke zaman purba
akan menghasilkan kehidupan yg lebih baik




dinhogiloba dan 51 lainnya memberi reputasi
46
15K
Kutip
248
Balasan


Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!

Berita dan Politik
684.2KThread•50.6KAnggota
Urutkan
Terlama


Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru