Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

wirocxAvatar border
TS
wirocx
Pasal Agama dalam RUU KUHP Berpotensi Melegitimasi Diskriminasi dan Intoleransi
Pasal Agama dalam RUU KUHP Berpotensi Melegitimasi Diskriminasi dan Intoleransi
Ilustrasi KUHP dan KUHAP


JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Panitia Kerja (Panja) DPR dan Pemerintah telah menyepakati ketentuan delik pidana terhadap agama yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Suryani Ranik menuturkan, delik pidana terhadap agama tidak masuk ke dalam tujuh isu krusial yang belum disepakati dalam pembahasan RUU KUHP.
Tujuh isu krusial ini membuat DPR dan Pemerintah berhati-hati dalam melakukan pembahasan, sehingga RUU KUHP belum dapat disahkan pada pertengahan Juli 2019.
"Enggak (masuk dalam tujuh isu krusial).
Kita sudah sepakat kalau soal itu," ujar Erma di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/7/2019).



Berdasarkan draf RUU KUHP hasil rapat internal pemerintah 25 Juni 2019, delik pidana terhadap agama diatur dalam enam pasal, yakni Pasal 313 hingga Pasal 318. 
Keenam pasal itu diletakkan pada Bab VII dengan judul Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragam. Erma berpendapat, sebaiknya tindak pidana terhadap agama memang diatur secara khusus dalam RUU KUHP.

Pasal Agama dalam RUU KUHP Berpotensi Melegitimasi Diskriminasi dan Intoleransi
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Suryani Ranik

Menurut politisi dari Partai Demokrat itu, pengaturan secara khusus dapat menghindarkan dari praktik penghakiman di tengah masyarakat. "Karena ini isu sensitif, kalau kita tidak atur secara serius, kalau tidak ada garis-garisnya, itu malah jauh lebih berbahaya," kata Erma. 
"Saya tidak percaya bahwa melepaskannya tidak menjadi pasal khusus itu akan menjadikan Indonesia bisa lebih baik. 
Saya percaya diatur secara serius justru kontrolnya lebih baik," ucapnya.

Ruang Diskriminasi dan Intoleransi 
Namun, ketentuan delik pidana terhadap agama mendapat kritik dari Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan yang terdiri dari 11 organisasi masyarakat sipil. 
Koalisi berpendapat, meskipun ada perkembangan baik terkait delik-delik keagamaan, masih ada pasal-pasal yang menimbulkan kekhawatiran apabila diberlakukan. 
Mereka memandang pasal-pasal tentang agama tersebut justru semakin membuka ruang diskriminasi, konflik, dan melegitimasi tindakan intoleransi di tengah masyarakat.



Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi Muhammad Isnur, salah satu anggota koalisi, mengkritik judul Bab VII RUU KUHP yang dinilai tidak tepat.
Menurutnya, judul itu tidak tepat karena menjadikan agama sebagai subyek hukum. Isnur menilai, yang seharusnya menjadi subyek hukum bukan agama, melainkan penganut agama. "Judul ini salah secara bahasa maupun konsep.
Seharusnya agama tidak dapat menjadi subyek hukum, subyek hukum yang perlu dilindungi adalah penganut agama," ujar Isnur saat dihubungi Kompas.com, Selasa (2/7/2019).


Isnur mengatakan, menempatkan agama sebagai subyek hukum akan menimbulkan persoalan karena agama tidak dapat mewakili dirinya sendiri dalam proses hukum. 
Di sisi lain, ada beragam keyakinan atau tafsir keagamaan, bahkan di dalam satu agama.

Pasal Agama dalam RUU KUHP Berpotensi Melegitimasi Diskriminasi dan Intoleransi
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur saat ditemui di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).

Dengan begitu, kata Isnur, negara bisa disebut diskriminatif apabila hanya menggunakan satu tafsir agama sebagai dasar terkait tindak pidana terhadap agama.
"Mengingat adanya keragaman terkait keyakinan keagamaan, bahkan di dalam satu agama maka apabila negara mendengar dan mengambil satu tafsir agama artinya negara telah berlaku diskriminatif," kata Isnur.


Pasal Multitafsir
Potensi munculnya praktik diskriminasi juga dinilai dapat muncul dari penggunaan kata yang multitafsir.
Misalnya penggunaan kata penghinaan dalam pasal 313. Pasal 313 menyatakan, "setiap orang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V." Isnur mengusulkan kata penghinaan diganti dengan kata siar kebencian untuk melindungi pemeluk agama dari kejahatan.



Menurut Isnur usul tersebut sejalan dengan Resolusi Dewan HAM PBB yang tak lagi menggunakan istilah penodaan agama, namun memerangi intoleransi. "Resolusi ini diinisiasi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Dewan HAM PBB pada tahun 2011, dikarenakan penggunaan istilah 'penodaan agama' telah banyak memperoleh pertentangan dari berbagai negara," tutur dia. 
Persoalan lain juga muncul pada Pasal 315. Pasal itu menyatakan, "setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang sah dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."


Isnur menilai, kata hasutan bersifat multitafsir sehingga bisa menyasar pihak yang hanya melakukan ajakan untuk memeluk suatu agama. "Pasal 315 memang tidak melarang orang untuk tidak beragama melainkan hasutannya. Masalahnya adalah kata hasutan multitafsir sehingga bisa menyasar orang yang hanya mengajak," ujar Isnur. Ia pun menyoroti frasa 'meniadakan agama' yang dinilai dapat menimbulkan kerancuan, apakah dapat berarti seluruh agama atau hanya satu agama.


Selain itu, kata Isnur, tidak jelas pula maksud meniadakan agama, apakah meniadakan agama pada satu orang saja atau secara luas. 
"Meniadakan juga multitafsir apakah maksudnya pada satu orang atau untuk meniadakannya sama sekali dari bumi Indonesia," kata dia. 
Sementara, Pasal 316 tentang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung juga menjadi sorotan.


Kata "gaduh" dapat menjadi multitafsir karena tidak dijelaskan secara jelas sebesar apa suara sehingga dapat dikatakan gaduh. 
"Alih-alih menyelesaikan atau mencegah kejahatan serta konflik, justru semakin membuka ruang memperkuat diskriminasi, konflik dan melegitimasi tindakan intoleransi di tengah masyarakat. 
Terlihat bahwa semangat membatasi daripada menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan menjadi pendekatan utama," ucap Isnur.


SUMBER:
https://nasional.kompas.com/read/201...-dan?page=all



cadangandotafjb
gabener.edan
gabener.edan dan cadangandotafjb memberi reputasi
2
2.7K
45
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.9KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.