Kisah Calon Dokter dari NTT & Pengalaman Ane Gak Takut Lagi Berbagi

Beranda

...

The Lounge
Kisah Calon Dokter dari NTT & Pengalaman Ane Gak Takut Lagi Berbagi

abbecede

31-05-2019 11:35

Kisah Calon Dokter dari NTT & Pengalaman Ane Gak Takut Lagi Berbagi

Selamat pagi/siang/sore/malam
Ketemu lagi sama abbecede!

Quote:

Ini cerita tentang Nurcholis, seorang anak dari penjual kue di Nusa Tenggara Timur. Ia terpilih menjadi siswa di SMART Ekselensia Indonesia yang merupakan sekolah berasrama gratis untuk anak-anak dhuafa di seluruh provinsi Indonesia dengan masa studi 5 tahun untuk SMP-SMA.

Masa 6 bulan pertama di SMART Ekselensia Indonesia Dompet Dhuafa adalah masa-masa terberat bagi Nurcholis, pun bagi para guru. Enam bulan pertama itu Nurcholis tidak mau sekolah. Ia hanya berdiam diri dan bersedih di asrama. Ia selalu kangen ibunya. Ia ingin pulang ke NTT.

Para guru di asrama dan di sekolah dengan telaten mendampingi Nurcholis. Perlahan Nurcholis berdamai dengan dirinya. Belajar berpisah jauh dari orangtua sementara, demi melukis visi masa depan bercahaya.

Puncaknya, berkat kegigihan belajarnya, bimbingan serta doa tulus para guru, Nurcholis berhasil masuk di Fakuktas Kedokteran UI melalui jalur undangan (SNMPTN). Desember 2017 lalu, Nurcholis mengabari kami, "Ustadz, alhamdulillah saya sudah selesai coas dan lulus profesi dokter." "Selamat mengabdi untuk kemanusiaan yang adil dan beradab, Nak,"pesan kami.

Nurcholis hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah sukses para penerima manfaat program Dompet Dhuafa. Ada Burhan Saiful, kakak kelas Nurcholis, anak Papua yang sukses jadi pengusaha di Medan dengan brand Molen Arab. Ada Gelfi yang kini tengah menyelesaikan master-nya di Delft University, Belanda. Ada Fadli Budiman yang kini berkarir di Bea Cukai.

Anak-anak dhuafa yang mungkin dulu tak tahu bagaimana masa depan mereka, kini bisa mengukir masa depan cerah, yang bukan hanya milik sebagian orang. Semua ini, tentu saja berkat dana ZISWAF yang sahabat salurkan melalui Dompet Dhuafa dan kepercayaan yang telah sahabat berikan pada kami.

(Cerita disadur dari tulisan, Muhammad Syafi'ie el-Bantanie, Pengelola Program Pendidikan Dompet Dhuafa)

Cerita tadi membuka mata ane, bahwa ternyata apa yang kita berikan bisa memberikan manfaat lebih untuk orang lain. Ngomong-ngomong soal berbagi, dari ane kecil, ane udah dibiasain sama ibu ane untuk berbagi. Mulai dari sedekah sampai membayar zakat. Ane masih inget, ibu selalu nyuruh ane ke mesjid untuk latihan bayar zakat fitrah sendiri sebelum Idul Fitri.

Kebiasaan itu bertahan sampai saat ini dan tentunya saat ane udah punya pekerjaan. Selain zakat fitrah, sekarang ane biasain diri untuk ngeluarin zakat penghasilan. Walaupun saat itu, sebagai fresh graduated gaji ane cuma 2 komaan, ane inget banget pesen ibu ane, “Meski gaji kamu masih pas-pasan, kamu jangan lupa ngeluarin 2.5% ya, De!.” Ashiaaaaaap, Ibu Negara!

Nah, kenapa ane bisa dengan mudah ngeluarin zakat/ infaq/ sedekah meski gaji masih engap-engapan? Begini ceritanya!

Zakat kita dikemanain?

Pernah nggak sih kita bertanya, kemana ya larinya uang zakat yang kita berikan? Udah kerja capek-capek, eh tapi zakat kita nggak ketauan berguna untuk siapa. Dari situ ane cari tau, dan ane memutuskan untuk membayar zakat ke lembaga penyalur zakat seperti Dompet Dhuafa. Karena ane tau, uang yang ane berikan dikelola dengan baik supaya berkontribusi lebih luas untuk umat. Contohnya, dalam hal kesehatan, mereka nggak cuma memberikan uang untuk orang-orang sakit, tapi dikelola untuk membangun klinik dan rumah sakit.

Di bidang pendidikan, mereka juga membangun sekolah-sekolah gratis untuk kaum dhuafa. Selain itu, mereka juga bergerak di bidang sosial, dakwah, dan ekonomi. Ane pernah ceritain tentang mantan pecandu narkoba yang bisa bantu kelompok tani di kampungnya berkat zakat yang kita kasih. Karena itulah, ane jadi sadar kalo zakat itu bukan cuma sebagai kewajiban, tapi juga sebagai bukti kita bisa bermanfaat untuk orang banyak.

Mau zakat apaan?

Sebelum kita mengeluarkan zakat, tentunya kita kudu tau zakat apa yang mau kita bayarkan. Ada zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal dikeluarin setahun sekali dan ada cabangnya, yaitu zakat penghasilan yang masih awam kita tau. Dan satunya lagi adalah zakat fitrah yang biasa kita keluarin pas mau Idul Fitri. Jadi, sekarang ane udah terbiasa untuk ngeluarin zakat profesi dan zakat fitrah.

Hitung-hitungannya gimana?

Dari yang ane baca di website-nya Dompet Dhuafa, zakat penghasilannya itu besarnya 2.5% dari gaji kita selama 1 bulan. Tapi itu kalo salarykita udah mencapai nishabnya yaitu setara dengan 653 kg beras atau sekitar 3.9 jutaan kalo diuangkan. Berarti, kira-kira yang kita keluarkan buat zakat sekitar 97.500. Kurang dari 100 ribu, Gan!

Angka 2.5% dan nishab 653 kg tadi diambil dari penghitungan zakat pertanian. Nah kalo gaji kita belum sampe segitu, berarti belum wajib bayar zakat. Palingan sedekah aja. Kayak waktu gaji ane masih 2 jutaan, ane ngeluarin 2.5%, itung-itung buat sedekah. Seratus ribu per bulannya nggak bakal bikin kita jatuh miskin kan.

Begitulah Agan dan Sista cerita pengalaman ane kenapa ane nggak pernah takut untuk mengeluarkan zakat. Selain karena perintah Allah, ane tau zakat yang kita berikan bermanfaat lebih untuk pemberdayaan masyarakat yang membutuhkan. Selain itu, sekarang mah nyalurin zakat caranya gampang banget. Kita bisa transfer ke rekening penyalur zakat seperti Dompet Dhuafa. Kalo mager, mereka bersedia menjemput zakat kita kok. Jadi jangan takut berzakat karena berbagi itu nggak pernah bikin rugi. Apalagi di bulan Ramadan ini.

Segitu dulu cerita pengalaman ane. Seperti biasa, sharing is caring. Kalo Agan dan Sista punya pengalaman tentang berbagi, entah itu zakat atau sedekah, silahkan komen di thread ini. Siapa tau, menjadi ladang pahala untuk kita nantinya. Aamiin.

Diubah oleh abbecede 31-05-2019 11:36