Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

triyuki25Avatar border
TS
triyuki25
Suamiku Membunuh Bayiku
Sebenarnya dia lelaki baik, penuh cinta dan perhatian. Namun, akhirnya aku terpaksa melaporkannya ke pihak berwajib, meminta pertanggungjawaban atas dosa yang ia perbuat.

Bermula dari kelahiran anak pertamaku, bayi perempuan yang terlihat begitu cantik. Membuat penantian panjangku berbuah manis. Anak yang kukandung selama sembilan bulan, terlahir dengan selamat dan sempurna.

Lengkap sudah hidupku. Memiliki keluarga kecil yang 'seharusnya' bahagia.

Namun, seiring berjalannya waktu, suamiku berubah.

Dia dipecat dari pekerjaan. Alasan perusahaan adalah pengurangan karyawan. Suamiku terlihat sedih, bingung dan juga hancur.

"Bagaimana aku bisa membelikan anak kita susu? Begitu susah mencari pekerjaan sekarang!"

Masih terngiang keluh-kesahnya sehari setelah di-PHK.

Aku pun merasa gamang. Anakku tidaklah menyusu denganku. Entah apa yang salah, tiga bulan usia bayiku, air susuku tetiba kering. Si kecil sering rewel, menangis saban malam. Seakan-akan tidak kenyang.

Setiap hari, suamiku lebih banyak diam dan seperti kehabisan akal. Emosinya jadi tidak stabil. Sering marah kalau mendengar anakku menangis.

"Hentikan tangisannya! Hentikan! Dia membuatku semakin sakit kepala!"

Cinta yang agung itu entah dia buang ke mana. Selalu marah dan teriakan yang dia lontarkan. Tidak sekali dua kali dia seperti hendak melakukan kekerasan fisik ke padaku.

"Mas! Sudahlah! Terima saja nasib kita kalau memang jalannya begini. Pekerjaan masih bisa dicari. Tidak perlu kamu berkasar mulut, apalagi melakukan kekerasan pisik. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi, Mas."

Ucapanku dia balas dengan melemparkan piring ke dinding. Setelah itu dia akan membanting pintu kamar. Mengurung diri sampai pagi menjelang.

Membiarkanku sendirian menangani si bayi yang rewel karena demam. Bahkan, tidak ada uang untuk berobat. Betapa kemiskinan ini begitu menyiksa.

Namanya anak pertama, tentu saja banyak hal yang aku tidak mengerti. Apalagi dia tidak menyusu lagi denganku. Aku bingung, aku tertekan, rasanya ingin mati saja.

Suamiku bukannya membantu, malah membuatku kian stres. Hanya saja, aku yakin ini ujian dari Tuhan. Aku hanya perlu bersabar dan menjaga pikiranku agar tetap waras.

Setiap malam, anakku menghabiskan waktu setengah jam untuk menangis. Waktu setengah jam yang menyiksa bagiku dan suamiku. Semakin kuat tangisan anakku, semakin besar amarah yang menggelegak di dalam diri lelaki yang kupanggil suami itu.

Puncaknya, dia melampiaskan kekesalannya dengan menampar pipiku, menghantamkan kepalaku ke dinding, sehingga aku merasa duniaku hancur, di ujung kesadaran yang kuingat hanyalah tangisan bayiku yang pelan-pelan menghilang.

Keesokan harinya ketika sadar, tak kutemukan di mana buah hatiku. Sedang tubuhku terbaring di atas kasur, di dalam dekapan suamiku. Dia terlihat pulas dan tidur dengan tenang.

"Mas, mana anak kita?" tanyaku setelah matahari benar-benar menyeruak hangat menembus jendela.

"Aku tidak tahu. Dan aku tidak mau tahu," jawabnya tanpa merasa berdosa sembari menyeruput kopi.

"Apa maksudmu, Mas? Kamu jangan bercanda! Di mana anak kita???" Emosiku meluap. Kugebrak meja saking marahnya.

Dia terkekeh, "Sayang, tidak bisakah kita seperti dulu saja? Tanpa harus pusing dengan makhluk kecil menjengkelkan itu? Bisanya hanya membuatku sakit kepala."

Aku benar-benar geregetan. Ingin sekali kupukul mulutnya itu. Aku merengek, memohon dia memberi tahu di mana buah hatiku.

"Aku tidak tahu, Sayang. Mungkin diculik kuntilanak!"

Kesabaranku habis sudah. Kopi hangat yang ada di atas meja, kusiramkan ke wajahnya.

Balasan atas apa yang kulakukan benar-benar tidak bisa kupercaya. Lelaki itu mengangkat kursi yang dia duduki, lalu menghantamkannya ke tubuhku.

Aku melolong kesakitan. Kurasakan tulang igaku patah. Aku terkapar, melejang-lejang di lantai karena begitu perih.

"Kau lancang dan sangat kurang ajar sekali!"

Tanpa ampun dia menginjak kepalaku dan menendang pinggulku. Sakit, sangat sakit, tapi aku lebih mengkhawatirkan bayiku.

Di mana kamu, Nak?

Aku menangisi takdir buruk yang menimpaku. Bagaimana bisa suamiku menjadi sebrutal ini? Bagaimana bisa ia setega ini menyakitiku. Entah apa yang telah dia lakukan pada bayi kami.

Ya Allah, selamatkanlah jantung hatiku. Selamatkanlah.

***

Aku hanya bisa duduk tertegun di beranda rumah. Rasanya tidak ada lagi gairah hidup.

Sudah seminggu bayiku menghilang. Aku tak punya keberanian untuk bercerita ke tetangga perihal yang menimpaku. Suamiku tidak pernah mengizinkanku keluar walau hanya sebatas pagar rumah.

Semua orang tak segan-segan ia semprot kalau ada yang mau bertamu. Aku dikekang, aku dikurung. Terisolasi dari dunia luar.

Dia sudah mendapatkan pekerjaan baru. Walau aku tidak tahu apa yang ia kerjakan di luar sana.

Namun, ada yang aneh kurasakan sore ini. Bau yang tidak sedap menusuk hidungku.

Tubuhku masih lemah tidak berdaya. Mencoba membaui dari mana bau itu berasal. Kupejamkan mata dan kuseret kakiku yang sakit karena ditendang suamiku.

Di belakang rumah, area yang jarang kudekati karena berupa kandang ayam yang baunya tidak sedap. Suamiku cukup bagus memelihara ayam. Ada sekitar dua puluh ekor ayam kampung.

Dari tempat inilah bau busuk itu berasal.

Bau bangkai.

Jantungku berdetak lebih kencang. Pikiranku semakin tidak tenang.

Samar-samar kulihat gundukan tanah di dekat kandang ayam yang berlumpur.

Hatiku menduga-duga. Berharap bukan apa yang kupikirkan.

Namun, melihat secarik kain tersembul dari tanah itu membuatku mempercepat langkah.

Tanpa peduli bau busuk yang seakan menghancurkan hidungku, kugali tanah tersebut.

Lalu, jeritan setinggi langit mengoyak senja nan muram. Aku berteriak kesetanan, aku melolong seperti serigala yang kematian anaknya.

Aku merasa tidak lagi menapak bumi. Kurenggut sosok malang di dalam tanah itu. Tidak peduli dengan ulat-ulat belatung yang kini berpesta di tubuh mungil menyedihkan tersebut. Aku meratap, aku memeluk jasad malang anakku yang kusayang.

"Anakku ... Sayang Ibuuu ... kamu kenapaaaa, Naaak? Kamu kenapa, Sayang??? Jangan tinggalkan Ibu, Naaak! Jangan tinggalkan Ibuuu, Naaak!"

Alam seakan ikut menangis bersamaku. Hujan deras mendera. Kilat sabung-menyabung di angkasa.

Aku tidak akan memaafkan suami laknat itu! Aku tidak akan memaafkannnya!!!

***

Walau anakku sudah mati, dia selalu hidup di dalam hatiku. Sekarang, aku hanya ingin secepatnya bisa bertemu lagi dengannya.

Suamiku telah membunuh separuh nyawaku.

Syukurlah, dia telah mendapatkan balasannya di penjara.

Pengadilan telah memutuskan hukuman mati untuk lelaki iblis tersebut.

Tenanglah, Nak. Tuhan telah menempatkanmu di surga-Nya. Doakan Ibu agar bisa bersamamu lagi. Ibu merindukanmu, Sayang.

***

Cerita lainnya,

SELINGKUH

https://m.facebook.com/groups/488655...92233954171814
g3nk_24
g3nk_24 memberi reputasi
1
577
2
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.3KThread84KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.