Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

noisscatAvatar border
TS
noisscat
Eks Anak Buah Tak Yakin M4 yang Ditemukan Polisi Senjata Soenarko
Eks Anak Buah Tak Yakin M4 yang Ditemukan Polisi Senjata Soenarko
Eks Anak Buah Tak Yakin M4 yang Ditemukan Polisi Senjata Soenarko
Jumat 31 mei 2019
Jakarta - Mantan anak buah Mayjen (Purn) Soenarko menyebut Soenarko memiliki niat untuk mengirim senjata eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke Museum Kopassus. Namun senjata itu berjenis M16A1, bukan M4 Carbine seperti yang disita Polri. 

Berdasarkan informasi yang didapat detikcom, senjata ilegal yang disita dari Soenarko adalah senjata laras panjang M4 Carbine buatan Amerika Serikat (AS). Senjata M4 ini biasa digunakan oleh tentara angkatan darat dan Korps Marinir AS.

Keinginan Soenarko, disampaikan saat dia menjadi Panglima Kodam Iskandar Muda(IM) pada 2008/2009 kepada Sri Radjasa Chandra yang menjadi Perwira Pembantu Madya (Pabandya) bidang Pengamanan Kodam.

Pada 2009, Kodam IM menerima penyerahan tiga senjata dari mantan kombatan GAM: dua pucuk senapan AK47 dan satu pucuk M16A1.

"Kondisi senjata tersebut saya lihat sendiri tidak layak untuk pertempuran. Itu tidak layak. Saya laporkan ke Pangdam IM Mayjen Soenarko. Arahan Pak Narko, bahwa dua pucuk (AK47) masukkan gudang, satu pucuk M16A1, simpan di kantor sebentar, nanti disimpan di Museum Kopassus," ucap Sri Radjasa dalam konferensi pers di Hotel Century Park, Jakarta Pusat, Jumat (29/4/2019).

Setelah Soenarko pensiun pun, senjata M16A1 tidak dikirim ke Jakarta sehingga Soenarko bertanya kepada Sri Radjasa pada 2018.

"Pada 2018, ketika saya berakhir masa penugasan di sana, Pak Narko sempat memerintahkan saja untuk mengirim senjata ke Jakarta. Tapi kebetulan saya sudah pindah ke Jakarta perintah tidak sempat saya kerjakan," ucap Sri.

Sri kemudian meminta Heriansyah untuk mengirim senjata yang diminta Soenarko. Namun, dengan catatan sudah dilengkapi surat-surat dari Kodam IM.

"Perintah mengirim senjata saya sampaikan kepada Heri, ini sipil, yang sehari-hari membantu Pak Narko di sana. Dengan catatan, kalau dikirim ke Jakarta, tolong dikirim ke Kasdam IM Brigjen Daniel, agar mendapat surat pengantar dari Pak Daniel," ucap Sri. 

Namun, setelah ada proses pengiriman, surat diakui tidak ditandatangani oleh Kasdam IM. Selain itu, surat dinyatakan palsu.

"Kemudian yang menjadi aneh pada 15 Mei 2019, senjata M16 dikirim ke Jakarta. Pengirimannya menggunakan standar. Garuda dari Aceh. Dengan dilengkapi surat pengantar Brigjen Purnawirawan Sunardi. Beliau ini penugasan di Aceh dari BIN. Setiba di bandara, muncul permasalahan karena surat pengantar diakui palsu. Pengirim dari Kodam, tidak pernah mengaku membawa senjata tersebut. Ini aneh," ucap Sri. 

Namun kemudian polisi menyebut menyita senjata M4 Carbine yang dikirim ke Soenarko. Sri Radjasa mengaku tidak yakin itu senjata yang sama dengan yang diinginkan oleh Soenarko.

"Saya nggak tahu persis, tapi saya nggak yakin itu senjatanya," ucap Sri Radjasa.

Rencana pengiriman itu diakui oleh kuasa hukum Soenarko, Ferry Firman Nurwahyu, namun senjata yang awal dan ditemukan oleh Polri berbeda.

"Kan sudah kita bantah, senjata awal seperti ini. Senjata ini diketemukan saat operasi 2009," ucap Ferry di lokasi yang sama.

https://m.detik.com/news/berita/d-45...njata-soenarko

#Fitnah terhadap Mayjen Soenarko Jadi Trigger Satukan Purnawirawan TNI AD

Ada hikmah di balik fitnah yang dialami mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD, Mayjen (Purn) Soenarko. Tuduhan bahwa Soenarko merencanakan tindakan makar telah menjadi trigger yang membuat purnawirawan TNI AD kembali menjalin komunikasi satu dengan lain.

Tuduhan yang dialamatkan kepada Soenarko dinilai berlebihan dan tidak masuk akal, bahkan dapat dikatakan menjurus kepada fitnah.

Begitu dikatakan salah seorang mantan anak buah Soenarko, Kolonel Inf. (Purn) Sri Radjasa Chandra dalam perbincangan dengan redaksi beberapa saat lalu (Kamis, 31/5).

Soenarko yang lahir di Medan pada tanggal 1 Desember 1953 menamatkan pendidikan di Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) pada tahun 1978. Sejak menyelesaikan pendidikan di Magelang, Soenarko sudah bertugas di Kopassus yang ketika itu bernama Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha).

Jabatan Danjen Kopasus didudukinya dari tahun 2007 hingga 2008. Setelah itu Soenarko mendapat kepercayaan menjadi Panglima Daerah Militer Iskandar Muda di Nanggroe Aceh Darussalam dari tahun 2008 hingga 2009.

Itu bukan kali pertama Soenarko bertugas di Aceh. Sebelumnya dia juga pernah menjadi Asisten Operasional Kasdam Iskandar Muda.  Setahun  setelah bertugas sebagai Pangdam Iskandar Muda, Soenarko mendapatkan tugas baru yakni sebagai Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri (Pussenif) antara 2009 hingga 2010.

“Sikap saya ini tidak ada urusannya dengan dukung mendukung dalam pilpres,” ujar Sri Radjasa saat menjelaskan latar belakang dirinya menulis kronologi pengiriman senjata yang dikatakan sebagai milik Soenarko.

“Saya terpanggil untuk menjelaskan hal-hal yang saya ketahui. Saya merasa ada informasi yang keliru yang diterima dan diolah seakan menjadi kebenaran,” sambungnya.

Kronologi yang ditulis Sri Radjasa itu ditujukan untuk Menkopolhukam Jenderal (Purn) Wiranto, Kepala Staf Presiden RI Jenderal (Purn) Moeldoko dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian terkait tuduhan bahwa Soenarko melakukan tindakan makar, menyelundupkan senjata M4 dan hendak melakukan penembakan saat aksi 22 Mei.

Dia menegaskan, Soenarko yang menerima Satya Lencana Seroja dan Satya Lencana Dwidya Sistha tidak punya keinginan untuk melakukan makar.

Soenarko juga tidak memiliki senjata M4. Senjata yang dimiliki Soenarko dan memang sejak lama ingin diperbaiki di Jakarta adalah M16A short yang diperoleh dari operasi di Aceh beberapa tahun sebelumnya.

“Ada yang janggal soal tuduhan penyelundupan senjata. Senjata itu saya yang terima dari anggota GAM lalu saya berikan kepada Pak Soenarko saat menjadi Pangdam IM,” kata Sri Radjasa lagi.

Dia mengulangi kembali apa yang sudah ditulisnya, bahwa senjata dari eks-anggota GAM itu dalam keadaan rusak dan sudah lama ingin diperbaiki. Tetapi selalu ada kendala mengirimkannya ke Jakarta.

Adapun ketika dikirimkan pada tanggal 19 Mei lalu, Soenarko sama sekali tidak tahu. Senjata itu dibawa seorang anggota TNI menggunakan dokumen yang benar. Namun belakangan anggota TNI itu tidak mengakui.

“Di sinilah saya lihat awal terjadinya rekayasa,” kata dia lagi.

Sri Radjasa Chandra menegasakan berkali-kali bahwa surat terbuka berisi kronologi yang dia tulis itu sebenarnya berupa saran dan masukan kepada para pimpinan, untuk mengingatkan bahwa ada informasi yang salah dari bawah.

Sri Radjasa mengatakan, dirinya juga yakin hal ini tidak ada urusannya dengan Partai Gerindra dan calon presiden Prabowo Subianto.

Setelah pensiun dari dinas militer, Soenarko bergabung dengan Partai Aceh. Lalu ia sempat bergabung dengan Gerindra yang dipimpin Prabowo. Namun di tahun 2016, Soenarko keluar dari Gerindra dan bergabung dengan Partai Nanggroe Aceh (PNA). Sampai kini dirinya tercatat sebagai Ketua Komisi Pengawas PNA  dan anggota Majelis Tertinggi PNA.

“Ada hikmah di balik semua ini. Purnawirawan TNI khususnya AD kini mulai menjalin komunikasi kembali karena ini tentang perlakuan tidak adil yang diberikan kepada salah seorang pimpinan TNI AD,” sambungnya.

Bila tidak ada aral melintang, Jumat besok (31/5), Sri Radjasa Chandra akan menggelar jumpa pers bersama mantan Kepala Staf Umum TNI Letjen (Purn) JS Prabowo dan mantan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Mayjen (Purn) Zacky Anwar Makarim.

Istri Soenarko juga direncanakan hadir. Begitu juga mantan Pangdam Jaya Mayjen (Purn) Sjafrie Syamsuddin.

Jumpa pers akan digelar di Hotel Century, Senayan, Jakarta, sekitar pukul 16.00 WIB.

“Ini trigger yang baik. Mudah-mudahan besok ada beberapa lagi yang mau datang. Ini tidak ada kaitannya dengan pilpres. Ini soal marwah TNI,” demikian Sri Radjasa Chandra.


https://www.harianaceh.co.id/2019/05...irawan-tni-ad/

PAKET DALAM TAS RAKET DAN SKENARIO 22 MEI 2019


SEPEKAN sebelum batas akhir penetapan hasil Pemilihan Umum 2019 yang jatuh pada 22 Mei 2019, Soenarko mencak-mencak terhadap Heriansyah, anak buahnya yang bermukim di Aceh. Bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu menanyakan alasan paket senjata dari Aceh tak kunjung dikirim ke Jakarta, padahal sudah dipesan sejak beberapa bulan sebelumnya. Heriansyah kemudian mengirimkan pesanan tersebut. Tapi, sebelum senapan laras panjang itu sampai ke tangan Soenarko, aparat mencegatnya.

Menurut Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, senapan dari Aceh itu rencananya digunakan untuk menyerang aparat dan pengunjuk rasa pada 22 Mei di depan kantor Badan Pengawas Pemilu, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. “Kalau ada yang tewas, seolah-olah aparat yang melakukan,” ujar Tito dalam konferensi pers, 21 Mei lalu.

Menurut pengakuan Heriansyah kepada penyidik, perkenalannya dengan Soenarko terjadi ketika pensiunan jenderal bintang dua yang kini berumur 65 tahun itu menjabat Panglima Daerah Militer Iskandar Muda pada 2008. Waktu itu, Heriansyah adalah informan yang juga diminta membantu pemerintah mengumpulkan senjata dari kombatan Gerakan Aceh Merdeka, seperti yang diamanatkan Perjanjian Helsinki 2005.

Hubungan dengan Heriansyah tak lekang meski Soenarko ditarik ke Bandung menjadi Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri sebelum pensiun. Kepada Heriansyah, Soenarko menitipkan mobil Toyota Fortuner putih dengan nomor polisi BL-511-VG. Kendaraan itu ditengarai fasilitas untuk Soenarko sebagai pengurus sebuah perusahaan swasta yang beroperasi di Aceh. Heriansyah pula yang menyopiri Soenarko dengan mobil tersebut manakala lulusan Akademi Militer 1978 itu singgah di Serambi Mekah.

Heriansyah menjelaskan dalam pemeriksaan bahwa pada hari Soenarko bersungut-sungut soal pengiriman senjata, ia lantas mengambil senapan yang tersimpan di mobil Toyota Fortuner itu.

Kemudian ia mengemas paket dalam tas raket berwarna kuning. Isinya: sepucuk M4 Carbine, dua magasin, dan peredam—persis seperti yang diperlihatkan Kepala Polri dalam konferensi pers pada 21 Mei. “Senjata itu belum pernah dipakai. Hanya Pak Soenarko yang mengetahui asalnya,” ujar Heriansyah kepada penyidik.

Heriansyah lalu menghubungi tentara berinisial BP, seorang tamtama berpangkat prajurit kepala. Mereka bersepakat mengirim paket lewat jalur penerbangan. Agar senjata itu bisa dibawa dalam pesawat, BP memalsukan dokumen pengiriman dengan surat bertanda tangan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Aceh. Hanya, ia mencomot surat format lama yang masih mencantumkan nama Brigadir Jenderal Sunari sebagai Kepala BIN Daerah Aceh. Padahal Sunari telah digantikan Kolonel Cahyono Cahya Angkasa per 26 Januari 2019.

Kolonel Cahyono enggan menanggapi layang palsu yang dipakai untuk meloloskan pengiriman bedil dari Aceh ke Jakarta itu. “Saya tak punya wewenang menjelaskan. Silakan bertanya ke pusat,” kata Cahyono. Direktur Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Purwanto menjelaskan, pemimpin lembaga telik sandi di daerah tak pernah serampangan mengeluarkan surat izin membawa senjata. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menduga senjata itu bekas konflik Aceh. “Bisa jadi itu sisa perang GAM,” kata mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia ini.

Mengantongi surat lancung pengiriman senjata, BP kemudian meminta bantuan tentara berpangkat sersan satu, berinisial L, untuk mengurus izin paket ke maskapai Garuda Indonesia di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, Aceh. L juga disuruh menukar paket senjata dengan dokumen “security item”. Dalam dunia penerbangan, petugas maskapai akan menyimpan senjata di tempat yang tak terjangkau penumpang dan membekali pembawa senjata dengan formulir “security item” untuk ditunjukkan ketika ia mengambil senjata di bandara tujuan. L menerima upah Rp 300 ribu atas pekerjaannya itu. Tugas L selesai di sini.

Dokumen tersebut dititipkan kepada A, perwira berpangkat letnan kolonel, yang menumpang penerbangan pembawa paket. Tiga narasumber yang ditemui Tempo secara terpisah menyebutkan A tak mengetahui pemilik senjata sebenarnya. Ia bersedia menenteng formulir itu semata-mata karena “security item” hanya bisa dibawa oleh tentara atau polisi. Kebetulan A satu-satunya aparat dalam manifes penerbangan. Ia hanya dipesani bahwa ada tentara berinisial ZN dengan pangkat sersan mayor menunggu di Bandara Soekarno-Hatta, Banten, untuk mengambil dokumen tersebut.

Setelah memastikan Letkol A membawa dokumen “security item” ke Jakarta, BP menghubungi ZN untuk memberitahukan hal tersebut. Jejak Soenarko terlacak lagi di sini. Soenarko juga mengontak ZN lewat telepon.

Menurut pengakuan ZN saat diperiksa, ia meyakini Soenarko menelepon meski tak punya nomor kontaknya. ZN memasang aplikasi Truecaller di teleponnya, yang bisa melacak profil penelepon secara otomatis ketika ada panggilan masuk. Waktu itu, tertera nama Soenarko di profil penelepon. Kepada ZN, Soenarko mengatakan ada kiriman barang atas nama dirinya. Belum sampai kiriman Heriansyah ke tangan Soenarko, polisi militer menangkap A dan ZN di Soekarno-Hatta sekaligus menyita paket tersebut.

Markas Besar TNI menolak mengomentari dugaan keterlibatan sejumlah prajuritnya dalam pengiriman senjata untuk Soenarko. “Saya tak mau memberikan informasi yang dapat mempengaruhi proses hukum,” ujar Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi.

Meski pengiriman senjata terbongkar pada 15 Mei, baru lima hari kemudian tim gabungan polisi militer dan Polri memeriksa Soenarko. Pada Senin malam, 20 Mei, awalnya, Soenarko dipanggil sebagai saksi untuk ZN dan BP di markas Pusat Polisi Militer TNI di Cilangkap, Jakarta Timur. Menurut narasumber yang mengetahui pemeriksaan itu, Soenarko mengakui senjata yang dipaketkan dari Aceh adalah miliknya. Kepada penyidik, dia mengatakan, “Saya mau memperbaiki senjata itu, tapi memang tak ada surat-suratnya.”

Versi lain penangkapan Soenarko diungkapkan dua pejabat pemerintah. Menurut keduanya, Soenarko ditangkap di kediamannya di kawasan Cibubur, Jakarta Timur. Dari situ, ia dibawa ke markas Puspom TNI untuk diperiksa penyidik dari Puspom dan Polri. Soenarko kini ditahan di rumah tahanan militer di Guntur, Jakarta Selatan.

Tempo sempat mewawancarai Soenarko dua hari sebelum ia ditangkap. Soenarko membantah menyiapkan skenario makar pada 22 Mei, tenggat Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil pemilihan presiden. “Masak, makar membawa sajadah, kacamata, dan masker?” ujarnya. Mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno pada pemilihan presiden, Soenarko mengatakan berniat turun ke jalan untuk memprotes hasil pemilu bersama sejumlah purnawirawan. “Kalau sesuai undang-undang kan boleh,” katanya. “Tapi, kalau mereka tak berangkat, saya juga tak berangkat.”

Berhitung soal dampak penangkapan Soenarko, pemerintah menggelar rapat di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Menurut seorang pejabat yang hadir di situ, mereka memprediksi gejolak yang muncul di Kopassus setelah kejadian tersebut. Salah seorang peserta rapat langsung meminta Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta Mayor Jenderal Eko Margiyono menjelaskan situasi di korps baret merah. Sebelum memimpin Kodam Jaya, Eko menjabat Komandan Jenderal Kopassus. “Kopassus solid,” ujar pejabat ini menirukan jawaban Eko.

Sehari setelah Soenarko ditangkap, Komandan Jenderal Kopassus Mayor Jenderal I Nyoman Cantiasa mengeluarkan maklumat. Ia mengatakan nama satuan elite TNI Angkatan Darat tersebut terseret dinamika Pemilu 2019. Menurut dia, situasi yang terjadi tak ada kaitannya dengan institusi Kopassus. Nyoman mengingatkan prajurit baret merah harus mematuhi garis komando. “Tak boleh ada satu pun prajurit yang bertindak atas inisiatif pribadi, kelompok, ataupun pihak di luar garis komando,” kata Nyoman.

Untuk mengecek kelengkapan pasukan, Kopassus sampai menggelar apel hingga lima kali sehari. Pasukan juga tak diterjunkan pada 22 Mei. Di lapangan, TNI menurunkan pasukan lain untuk membantu polisi. Kepala Penerangan Kopassus Letnan Kolonel Susilo menyebutkan satuannya disiagakan menjadi pasukan cadangan. “Penggunaannya sesuai dengan pertimbangan strategis Panglima TNI,” ujar Susilo.

UPAYA mencegah jatuhnya korban penembakan dalam unjuk rasa 22 Mei tak berhasil. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan ada satu jenazah dari delapan korban tewas dalam peristiwa 22 Mei yang teridentifikasi tertembak. “Terkena peluru tajam,” ujar Dedi. Padahal, kata Dedi, polisi sama sekali tak menggunakan peluru tajam.

Hingga kini, penyelidikan polisi atas pemegang senapan yang memuntahkan peluru tersebut masih berkabut. Meski begitu, uji balistik terhadap peluru yang bersarang di tubuh korban memberikan petunjuk. Menurut Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, pengujian pada proyektil menunjukkan peluru berotasi ke kanan searah jarum jam. Adapun senjata milik polisi selalu memuntahkan peluru yang berputar ke kiri. “Diduga peluru itu berasal dari senapan buatan Olympic Arms,” tutur Moeldoko.

Olympic adalah pabrik senjata yang berbasis di Washington, DC, Amerika Serikat. Di situsnya, www.olyarms.com, seri senapan serbu M4 Carbine sebagaimana yang disita dari Soenarko dibanderol paling murah US$ 843 atau sekitar Rp 12,5 juta. “Seri itu bukan tipikal senjata untuk polisi kita,” katanya.

Moeldoko mengungkapkan, serangkaian temuan awal dari peristiwa 22 Mei, seperti tembakan kepada demonstran, mengindikasikan ada pihak yang ingin menciptakan peristiwa yang bisa memicu aksi yang lebih besar. “Skenarionya hampir mirip seperti peristiwa Mei 1998.”

Sebagian demonstran adalah massa suruhan yang dikomando dengan cukup rapi. Menurut Moeldoko, berdasarkan temu-an aparat, pedemo menggunakan mobil komando yang dilengkapi monitor untuk menayangkan pantauan kamera pengawas (CCTV) di sekitar simpang pusat belanja Sarinah. Dengan begitu, koordinator lapangan bisa memantau pergerakan unjuk rasa dan mengerahkan massa secara bergantian apabila demonstran terlihat kelelahan berhadapan dengan aparat.

Tempo yang berada di tengah pengunjuk rasa selama sekitar dua jam menyaksikan ada lebih dari seribu orang memenuhi Jalan Wahid Hasyim pada Rabu, 22 Mei. Sebagian di antaranya mengenakan masker yang menutupi setengah wajah. Kantong mata mereka terlihat diolesi odol yang dipercaya bisa menghalau efek gas air mata.

Ketika massa mulai bergerak ke arah kantor Bawaslu, ada pengunjuk rasa yang membagi-bagikan batu berukuran lebih besar daripada kepalan tangan pria dewasa kepada rekannya. Sebagian membawa tongkat kayu. Mereka mengomando demonstran untuk maju dan meneriakkan “serbu!” berulang-ulang. Saat polisi pasif, orang-orang yang sama mengajak massa kembali menyerang. “Pelurunya udah habis. Ayo serang!” kata salah seorang demonstran.

Pemerintah sebenarnya sudah mendeteksi bahwa demonstrasi tersebut bakal berujung rusuh dengan menciptakan martir. Polisi mendapat informasi bahwa ada suatu kelompok yang berencana menggunakan penembak jitu, sebagaimana diungkapkan juga oleh Moeldoko. Kelompok tersebut secara khusus menugasi tim kecil mencari senjata dan menyiapkan eksekutor.

Mendekati 22 Mei, terdeteksi setidaknya dua sniper sudah bersiap. Mereka adalah desertir yang akan ditempatkan di salah satu gedung dalam radius satu kilometer dari kantor Bawaslu di kawasan Sarinah. Sejak pengiriman senjata Soenarko terbongkar, jejak calon eksekutor ini raib.

Moeldoko mengatakan pemerintah bertekad mengusut tuntas auktor intelektualis di balik kerusuhan 22 Mei. “Kami terus memantau semua pergerakan untuk menjaga keamanan negara,” ujarnya..


https://majalah.tempo.co/read/157770...-mei?read=true


Sri Radjasa sama Heriansyah komen nya beda.. 🙄🙄🙄
Diubah oleh noisscat 31-05-2019 17:47
scorpiolama
ntapzzz
tien212700
tien212700 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
4.4K
46
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.2KThread41.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.