Rachmawati: Yang Makar Itu Megawati
Jakarta, CNN Indonesia -- Rachmawati Soekarnoputri menyatakan Megawati Soekarnoputri telah melakukan makar saat menjadi wakil presiden pendamping presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (199-2001). Hal itu diungkapkan Rachmawati saat merespons tudingan bahwa Kivlan Zen melakukan makar.
"Kalau mau bicara secara objektif yang disebut makar itu adalah Megawati Soekarnoputri," ujar Rachmawati di kediamannya di Jalan Jati Padang Raya, Jakarta, Senin (13/5).
Rachmawati menuturkan makar yang dilakukan Megawati terjadi ketika presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur hendak menetapkan Chairuddin Ismail sebagai Kapolri.
Menurut Rachmawati, Megawati melakukan tindakan insubordinasi atas pilihan Gus Dur agar Suroyo Bimantoro bisa menjadi Kapolri.
Setelah meloloskan Suroyo sebagai Kapolri, Rachmawati juga menuding Megawati memecah TNI dan Polri. Ia berkata proses memecah TNI-Polri oleh Megawati dipimpin oleh Ryamizard Ryacudu yang kala itu menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat
Rachmawati bahkan menyatakan 'moncong' sudah diarahkan ke Istana kala itu. Namun, ia tak menjelaskan apa yang dimaksud dengan 'moncong' tersebut.
"Saya ingat sekali karena saya ada Istana waktu itu sama Gus Dur. Itu moncongnya sudah diarahkan ke Istana," ujarnya.
"Itu yang namanya makar. Unsurnya masuk menggunakan kekuatan bersenjata," ujar Rachmawati menambahkan.
Dihubungi terpisah, Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno menganggap tudingan Rachmawati itu tak berdasar. Menurutnya kewenangan menetapkan Kapolri itu ada di tangan Presiden. Wapres tidak ikut campur dan maksimal hanya memberi pertimbangan.
"Terus makarnya di mana? Soal Kapolri tidak bisa menjalankan dan mengamankan Dekrit yang dibuat Gus Dur, itu proses politik, yang sebenarnya juga sudah diantisipasi Gus Dur, mengingat dukungan kekuatan politik kpd Gus Dur di MPR menurun drastis," kata Hendrawan.
Di sisi lain, Rachmawati mengaku heran semua pihak mudah menuding orang lain melakukan makar. Padahal, ia menegaskan warga negara Indonesia memiliki hak untuk menyatakan pendapat.
"Kita ini sebagai warga negara Indonesia yang punya hak berpendapat kalau melakukan kritik terhadap pemerintah itu dengan gampang dimakarkan, kenapa gitu lho?," ujarnya.
Rachmawati menceritakan dirinya juga pernah dituding melakukan makar saat hendak menyampaikan kajian tagar UUD 1945 kembali diberlakukan pada tahun 2016. Sebab, ia menolak UUD 1945 hasil amandemen.
Ia merasa keinginannya untuk mengembalikan UUD 1945 bukan tindakan makar.
"Waktu itu juga bersamaan dengan lagi heboh ya 212 saya mengajukan testimoni ini ke MPR sudah bikin appointmen ke MPR Pak Zulkifli saya mau mengajukan ini. Intinya ingin supaya MPR bersidang untuk kembali ke UUD 45 kok dimakarkan? unsurnya di mana?," ujar Rachmawati.
Makar
=============
Quote:
Mumpung istilah makar lagi hangat-hangatnya, ada baiknya generasi muda sekarang yang tak mengalami masa transisi dari Orde Baru ke masa Reformasi, mau meluangkan waktu membuka-buka file lama yang pasti banyak bertebaran di internet. Cari dan bandingkan sejarah itu dari setiap sisi dan dari semua sumber agar bisa menarik kesimpulan objektif. Jangan pernah menarik kesimpulan hanya dari kacamata seorang tokoh, apalagi tokoh itu adalah tokoh yang gagal atau tokoh pendompleng Reformasi.
Bicara soal Megawati dan Rahmawati, siapa yang paling lurus 'aqidah politik' nya? Siapa yang paling berhasil membangun kekuatan politiknya? Siapa yang paling didengar kaum Marhaen?
Sukmawati diwarisi PNI, gagal.
Rahmawati membangun Partai Pelopor, gagal.
Megawati membangun PDIP, terbukti berhasil.
Tapi Sukmawati tetap mensupport Megawati, begitu juga dengan Guruh Sukarno Putra yang turun bersamaan dengan Megawati dalam kancah politik nasional tahun 80an. Dan Guntur Sukarno Putra mungkin hanya bisa garuk-garuk kepala melihat perseteruan adik-adiknya.
Berbicara mengenai masa lalu, memang pernah ada dualisme ditubuh POLRI. Ada 2 Kapolri. Chaeruddin Ismail yang diangkat oleh Gus Dur, yang akhirnya harus merelakan jadi Kapolri tanpa tongkat komando, dengan S Bimantoro yang tetap dianggap sebagai Kapolri dengan menguasai tongkat komando POLRI. S Bimantoro tetap merasa menjadi Kapolri yang sah setelah diangkat oleh Gus Dur meskipun tak lama kemudian diminta Gus Dur untuk meletakkan jabatan. Apalagi pengangkatan Chaeruddin ismail ditentang kalangan POLRI. Ini sejarah buruk Kepolisian Republik Indonesia saat itu yang terpaksa terseret pusaran arus politik yang berseberangan. Si A orang siapa, si B orang siapa nampaknya sulit dihilangkan sampai sekarang baik ditubuh TNI maupun POLRI. Begitu juga dengan masalah 'pengamanan' seseorang. Buktinya, Tommy Suharto yang saat itu buron, bisa aman tak tertangkap setelah membunuh Hakim Agung. Anehnya ketika tampuk pimpinan Kapolri berganti, Tommy langsung tertangkap. Dan Tito Karnavian yang sekarang menjabat Kapolri lah yang berhasil menangkap Tommy Suharto. Lantas apa yang diucapkan Tommy saat ditanya Hakim di pengadilan? Dia bilang tidak kemana-mana, tetap di Indonesia, di Jakarta. Dia bilang juga 'diamankan aparat' sambil tersenyum santai.
Andai Rahmawati menuduh Megawati mengambil wewenang Gus Dus dalam memilih Kapolri, nyatanya Chaeruddin Ismail tetap menjadi Kapolri secara de facto tanpa campur tangan Megawati. Justru DPR yang nampaknya enggan menyetujui karena Gus Dur dianggap mengabaikan DPR dalam menentukan pimpinan Kapolri saat itu. Apalagi S Bimantoro belum lama diangkat menjadi Kapolri oleh Gus Dur.
Semua pasti ingat saat S Bimantoro menunjukkan tongkat komando POLRI kepada Megawati setelah Megawati resmi menjadi Presiden.
"Ini toh tongkat komando yang diperebutkan," ujar Megawati sambil tertawa kecil.
Masalah makar yang dituduhkan ketika meriam-meriam diarahkan ke Istana saat Gus Dur memberlakukan Dekrit Pembubaran MPR-DPR, banyak yang menilai keputusan Pangkostrad Ryamizard Ryacudu adalah sinyalemen bahwa TNI tidak ingin diseret kedalah ranah politik praktis.
Suasananya memang mirip dengan suasana tahun 1952 saat Sukarno 'diancam' dengan moncong meriam yang mengarah ke Istana. Apakah Rahmawati lupa?
Kalau ini dianggap makar oleh Rahmawati, maka Amien Rais pun harus dianggap makar juga karena memainkan akrobat politik menjatuhkan Gua Dur ditengah jalan.
Rahmawati nampaknya tengah membakar polemik baru ditengah derasnya statement panas kubu 02 yang memang terkesan frontal memprovokasi masyarakat dan pada akhirnya satu persatu diseret dengan pasal makar. Ini akan membuka luka lama kembali dan akan memaksa banyak tokoh untuk berbicara. Bahkan semua orang yang meminta Suharto lengser keprabon dan Gus Dur turun tahta harus dimintakan pertanggungjawabannya karena terindikasi makar! Ini termasuk Amien Rais!
Dan kalau Rahmawati mempermasalahkan UUD1945 yang diamandemen sehingga dianggap acakadul, seharusnya Rahmawati menuntut Amien Rais, karena Amien Raislah biang pangkalnya. Dan turunan hasil amandenen UUD 1945 seperti pembentukan DPD yang tidak sesuai dengan kultur Indonesia seharusnya dia gugat juga.
Ingat, Try Sutrisno pernah mengatakan bahwa Amien Rais adalah pengkhianat! Try Sutrisno menganggap bahwa Amien Rais yang paling bertanggungjawab mengenai amandemen UUD1945 yang isinya menyimpang dari falsafah bangsa Indonesia dan pemikiran para pendiri bangsa ini.
Rahmawati juga pasti tahu persis bahwa PAN dikala berdirinya, melalui buku sakunya, menjabarkan visi misinya yang menginginkan bentuk negara Indonesia adalah serikat. Ini ada benang merahnya mengapa sekarang ada DPD yang para anggotanya dianggap Senator, padahal istilah Senator tidak dikenal dalam sistem Republik Indonesia yang berbentuk NKRI.
Beranikah Rahmawati menggugat Amien Rais yang sekarang 1 kubu?
Ditunggu!