Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nataliuspigai.Avatar border
TS
nataliuspigai.
Kematian Lebih dari 400 Petugas KPPS Masih di Batas Kewajaran
Kematian lebih dari 400 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di seluruh Indonesia telah menjadi berita yang mengkhawatirkan dan berkelanjutan, setelah pemilu di Indonesia pada 17 April lalu. Dengan tidak adanya analisis mendalam, media dan lembaga pemerintahan di Indonesia telah menyimpulkan penyebab kematian: kelelahan.

Profesor Emeritus Demografi Indonesia Terry Hull, dalam diskusi publik tentang hal ini di Facebook, telah menyamakan kematian ini dengan kondisi di Jepang karoshi, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “kematian akibat terlalu banyak bekerja”, yang tidak jarang terjadi di seluruh Asia dan biasanya terjadi melalui serangan jantung atau stroke karena stres.

Laporan tentang kematian petugas KPPS di Indonesia tersebut tampaknya secara luas sesuai dengan diagnosis sementara ini, tetapi Hull dan banyak pengamat lainnya menekankan bahwa data kematian terperinci dan karakteristik demografis dari seluruh petugas KPPS diperlukan.

Pada 4 Mei, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melaporkan 424 kematian dari total 7.385.500 petugas KPPS. KPU telah menanggung tanggung jawab atas kematian akibat pekerjaan ini dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban.

Pemilu di Indonesia mengatur pemindahan demokratis atau berkelanjutan dari otoritas pemerintahan—periode sensitif yang penuh dengan taruhan besar. Tugas KPU untuk tabulasi dan pelaporan hasil pemilu masih berlanjut, di mana hasil resmi diperkirakan akan diumumkan pada 22 Mei.

Meskipun demikian, berbagai lembaga survei hitung cepat yang kredibel telah memperkirakan bahwa Presiden Joko Widodo telah memenangkan pemilu kembali. Sambil menunggu hasil resmi, koalisi lawan sayangnya telah bekerja tanpa lelah untuk mendelegitimasi proses pemilu.

Kematian petugas KPPS yang begitu banyak yang tampaknya dipertanyakan, telah memicu gelombang baru konspirasi dan tuduhan sensasional tentang kompetensi KPU untuk melakukan tugasnya secara adil.

Tetapi apakah kematian ini benar-benar dipertanyakan?

Beberapa perhitungan cepat menunjukkan bahwa, secara demografis, 424 kematian dari lebih dari 7 juta petugas KPPS, selama lebih dari dua minggu, tidak melebihi angka kematian rata-rata masyarakat Indonesia. Faktanya, itu jauh lebih sedikit, sebagaimana seharusnya, mengingat tingkat kematian rata-rata itu mencakup orang tua dan orang sakit yang mungkin akan meninggal bagaimanapun juga, walau mungkin tidak bekerja sebagai petugas KPPS.

Perbandingan populer lainnya adalah dengan kematian yang dilaporkan orang Indonesia yang melakukan Haji ke Mekah, di mana terdapat lebih dari 200-500 kematian dari sekitar 200.000 jemaah Indonesia setiap tahun. Sekali lagi, kematian ini condong pada orang tua yang bepergian dalam kondisi yang lemah.

Tiga minggu setelah pemilu, surat kabar masih melaporkan kematian para petugas KPPS, tetapi orang bertanya-tanya mengapa bertugas pada saat pemilu masih disebut-sebut sebagai penyebab kematian.

Untuk beberapa kasus dengan rincian tambahan, laporan kematian setelah pemilu mulai masuk akal ketika beban kerja dan tekanan pekerjaan mereka diperhitungkan. Pelaporan dari Sumatra Utara untuk New Naratif Aisyah Llewellyn, misalnya, melukiskan gambaran yang lebih penuh tanpa tuduhan sensasional. Terdapat dua faktor menarik dalam pelaporan Llewellyn, satu dilaporkan secara luas dan yang lainnya hampir tidak pernah disebutkan.

Yang pertama adalah mandat baru, yang ditugaskan oleh Mahkamah Konstitusi dan diresmikan dalam undang-undang pemilu terbaru, untuk menyelenggarakan pemilu presiden dan legislatif secara serentak. Pemillu sebelumnya telah diadakan terpisah beberapa bulan.

Pemilihan legislatif membutuhkan empat surat suara: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Seiring dengan pilpres, para petugas KPPS harus mengelola logistik dan tabulasi lima surat suara, masing-masing dihitung dan diverifikasi dengan tangan, di depan umum, dengan jadwal yang ketat.

Sebagai seorang mantan pengamat pemilihan legislatif di Aceh pada tahun 2009, penulis dapat mengonfirmasi bahwa ini adalah tugas yang melelahkan dan dipertaruhkan, yang dilakukan di depan perwakilan publik dan partai politik yang berkepentingan.

Walau beban teknis penyelenggaraan pemilu telah banyak dilaporkan untuk menjelaskan kematian akibat kelelahan, namun tekanan politik partisan yang dihadapi para petugas KPPS belum dilaporkan. Digambarkan sebagai “intimidasi mental” oleh Llewellyn dan informannya, pemilu di Indonesia tahun ini diadakan dalam iklim politik di mana partai politik dan tim kampanye memutuskan bahwa mereka berhak menyerang integritas proses pemilu itu sendiri, menuduh KPU dan semua stafnya melakukan tipuan dan kecurangan suara atas nama kandidat yang berbeda.

Para petugas KPPS berada di garis depan intimidasi politik ini, dan menanggung beban pekerjaan mereka. Dalam masyarakat Asia Tenggara di mana rasa malu dapat menjadi motivator yang kuat, keharusan untuk menyelamatkan muka menimbulkan beban psikologis ketika dihadapkan dengan arus intimidasi dalam komunitas sendiri.

Walau KPU telah mengakui kegagalan teknisnya untuk memperhitungkan beban kerja dalam mengelola lima surat suara dalam satu hari, namun belum ada perhitungan politik untuk mengakui tekanan psikologis dan intimidasi seputar pemilu ini. Penulis merasa tim kampanye dan partai politik masing-masing juga harus menerima beberapa tanggung jawab (bukan hanya KPU), tetapi hal ini sepertinya tidak akan pernah terjadi.

Baca Juga: Pawai Obor dan Berbagi Makanan: Serunya Bulan Ramadhan di Indonesia

Walau KPU masih sibuk memproses hasilnya, namun KPU telah berjanji untuk mengevaluasi prosedurnya sesaat setelah tugas saat ini selesai. Perbaikan mungkin termasuk memberikan lebih banyak waktu untuk memberikan surat suara, mempekerjakan lebih banyak petugas, atau menerapkan tes kebugaran yang lebih ketat untuk jutaan petugas KPPS.

Dari perspektif individu manusia, keluarga, dan masyarakat sipil, masyarakat Indonesia berduka atas gugurnya para petugas pemilu ini dan mengakui semua kerja keras yang mereka lakukan untuk mewujudkan pemilu. Mereka semua adalah pahlawan sipil.

Namun demikian, terlepas dari narasi kemanusiaan ini, kematian para petugas KPPS seharusnya bukan dijadikan ‘cerita’ dan bahwa para perusak politik dan media massa berkolusi untuk membuat narasi ini menjadi sensasional dan mendelegitimasi proses pemilu. Masih perlu dilihat apakah kematian ini melebihi angka kematian yang diperkirakan untuk kelompok orang Indonesia terpilih ini, dan yang memerlukan penyelidikan epidemiologis yang tepat, untuk menilai faktor demografis yang dapat membantu kita memahami bagaimana dan mengapa para petugas KPPS ini meninggal saat mengejar tugas sipil yang terhormat untuk komunitas mereka.

Misalnya, apakah mereka cenderung perokok atau lebih tua dari populasi umum? Apakah mereka cenderung memiliki masalah kesehatan yang sudah ada sebelumnya? Masalah dengan melakukan studi epidemiologi yang tepat dengan memperhitungkan faktor-faktor demografis ini dan bukan perbandingan sederhana angka kematian, akan diperlukan untuk menyelesaikannya. Ini adalah pertanyaan akademis yang tidak dapat diakomodasi oleh siklus pemilu politik.

Dr Jesse Hession Grayman adalah dosen senior dan pemandu disiplin studi pengembangan di Fakultas Seni, Universitas Auckland.

https://www.pemilu.org/berita/berita...tas-kewajaran/

Tanpa mengurangi respek kepada korban dan keluarganya : mari kita mengadakan penghitungan statistik secara sederhana.

Kita harus membandingkan dengan jumlah Kematian (mortalitas) petugas KPPS dengan Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate) Indonesia tahun 2018 adalah sekitar 7,2 per 1000 penduduk.

Dari 7 jutaan petugas KPPS (dibulatkan kebawah jadi 5 juta saja untuk mempermudah penghitungan), yang meninggal 500 orang. Berarti 0,1 per 1000. Ane tidak tahu kematian petugas KPPS ini mulai dihitung dari bulan berapa, tetapi kalau kita hitung terjadi dalam 1 bulan saja, maka kita angka yang kita dapatkan menjadi sama dengan 12 x 0,1 = 1,2 per 1000 penduduk.
Angka ini masih lebih kecil dari Angka Kematian Kasar Indonesia. 

Dengan kata lain, tanpa ada pemilu pun, dari 7 juta orang..., jauh lebih banyak yg meninggal.

Jadi stop framing dan giring opini kalau kematian mereka adalah faktor kesengajaan untuk menutupi kecurangan pemilu
Diubah oleh nataliuspigai. 09-05-2019 20:22
unicorn.destroy
nanozero
tien212700
tien212700 dan 5 lainnya memberi reputasi
4
2.7K
43
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.1KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.