Kaskus

Story

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

blank.codeAvatar border
TS
blank.code
Natsu No Hanami [N2H] - Fiksi -
PROLOG 

Jakarta, pertengahan Juli 2013. Matahari pagi baru saja mengintip dari balik gedung-gedung pencakar langit ketika gue, Andra, melangkahkan kaki di trotoar Jalan M.H. Thamrin. Tujuan gue hari ini adalah gedung Kedutaan Besar Jepang, sebuah bangunan yang menjulang tinggi di antara hiruk-pikuk ibu kota.

Ransel abu-abu yang gue bawa terasa lebih berat dari biasanya. Mungkin karena beban harapan dan mimpi yang gue sematkan di dalamnya. Atau mungkin juga karena kecemasan yang menggelayut di hati gue. Bagaimanapun, hari ini adalah hari yang penting. Hari di mana gue akan mengurus visa pelajar, tiket gue menuju negeri sakura untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi.

Setibanya di depan gerbang kedutaan, gue menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, Andra," gue berkata pada diri sendiri, "Ini adalah langkah pertama dari perjalanan panjangmu. Jangan sampai kau gagal hanya karena hal-hal kecil."

Gue melangkah masuk ke gedung, disambut oleh prosedur keamanan yang ketat. Seorang petugas keamanan yang berbadan tegap dan tinggi memeriksa seluruh badan gue serta isi tas gue dengan teliti. Bahkan, semua barang bawaan gue harus melalui mesin X-ray. Prosedur ini mengingatkan gue akan pentingnya misi yang sedang gue jalani.

Setelah melewati pemeriksaan keamanan, gue diarahkan ke sebuah ruangan oleh staf lobi. Di sana, gue mengambil nomor antrian dan selembar formulir yang harus diisi. Gue mencari tempat duduk di antara deretan kursi tunggu yang berjajar rapi di depan ruangan.

Ketika hendak mulai mengisi formulir, gue menyadari sesuatu yang membuat jantung gue mencelos. "Astaga, di mana pulpen gue?" gue bergumam panik sambil mengaduk-aduk isi tas. Setelah beberapa saat mencari, kenyataan pahit itu menghantam gue: gue lupa membawa pulpen.

Gue melirik jam dinding merah yang tergantung di dinding. Pukul 08:20 pagi. Waktu terasa begitu berharga, dan gue tidak ingin membuang-buangnya hanya karena kelalaian kecil seperti ini. Mata gue pun mulai menjelajahi ruangan, mencari seseorang yang mungkin bisa meminjamkan pulpen.

Pandangan gue terhenti pada seorang wanita muda yang duduk kira-kira dua meter di sebelah kanan gue. Ia memiliki rambut hitam sebahu yang tergerai rapi, mengenakan kemeja putih yang tampak elegan, dan kacamata bening berframe hitam yang membingkai matanya dengan sempurna. Wajahnya oval dengan kulit putih bersih dan hidung mancung, mengingatkan gue pada perpaduan kecantikan Indonesia dan Jepang.

Wanita itu tampak baru saja selesai menulis sesuatu di buku agenda bersampul biru muda dengan motif bunga-bunga. Gue ragu sejenak, berdebat dengan diri sendiri apakah pantas meminjam pulpen dari orang asing. Namun, kebutuhan mendesak akhirnya mengalahkan rasa malu gue.

"Permisi," gue menyapa dengan suara yang gue usahakan terdengar tenang, meski jantung gue berdegup kencang. "Boleh nggak? aku pinjam pulpen kamu sebentar? untuk mengisi formulir ini."

Wanita itu menoleh, alisnya sedikit terangkat. Ia menatap gue dengan pandangan yang sulit gue artikan, sebelum akhirnya menjawab, "Oh, tentu. Sebentar." Ia mengambil pulpen hitam yang terselip di buku agendanya dan menyodorkannya kepada gue.

"Terima kasih banyak," gue berkata dengan lega. "Aku janji nggak akan lama. lagi nggak di pakai kan?"

"Tidak apa-apa, silakan dipakai," jawabnya dengan suara yang entah mengapa terdengar begitu merdu di telinga gue. "Aku masih punya cadangan."

Dengan rasa terima kasih yang membuncah, gue kembali ke tempat duduk gue dan mulai mengisi formulir. Sesekali, gue mencuri pandang ke arah wanita itu, penasaran dengan sosoknya yang misterius.

Beberapa menit berlalu, dan tiba-tiba terdengar pengumuman dari pengeras suara memanggil sebuah nomor antrian. Wanita pemilik pulpen itu bangkit dan melangkah masuk ke dalam ruangan. Gue masih berkutat dengan formulir gue, berusaha mengisi setiap kolom dengan teliti.

Setelah menyelesaikan pengisian formulir, gue menyadari bahwa sejak tadi gue menahan keinginan untuk ke toilet. Tanpa menunda lagi, gue bergegas mencari toilet terdekat.

Ketika gue kembali ke ruang tunggu, gue mendapati bahwa wanita pemilik pulpen itu sudah tidak ada di tempatnya. Kursi yang tadi ia duduki kini kosong. Tepat pada saat itu, nomor antrian gue dipanggil.

Gue masuk ke dalam ruangan dan menjalani proses pengajuan visa. Petugas kedutaan mengajukan beberapa pertanyaan singkat yang gue jawab dengan sebaik mungkin. Setelah selesai, gue keluar dari ruangan dengan harapan dapat mengembalikan pulpen yang gue pinjam.

Namun, betapa kecewanya gue ketika menyadari bahwa wanita itu sudah tidak ada lagi di ruang tunggu. Gue bertanya kepada staf di loket, "Maaf, apakah Anda melihat wanita berkacamata dengan rambut hitam sebahu yang tadi duduk di sana?"

"Maaf, saya tidak memperhatikan," jawab staf itu dengan nada datar.

Dengan berat hati, gue memutuskan untuk menyimpan pulpen itu. "Mungkin ini akan menjadi kenang-kenangan," pikir gue, memasukkan pulpen hitam itu ke dalam saku celana bahan hitam gue.

Empat hari kemudian, gue kembali ke kedutaan untuk mengambil visa pelajar yang sudah jadi. Kali ini, gue datang dengan perasaan yang berbeda. Ada rasa haru, bahagia, dan sedikit cemas yang bercampur menjadi satu.

Berdiri di luar gedung kedutaan, gue memandang ke arah bangunan itu. Pikiran gue menerawang jauh. "Ini baru langkah awal, Andra," gue berkata pada diri sendiri. "Perjalanan dan perjuanganmu yang sesungguhnya baru akan dimulai setelah ini."

Gue membayangkan kehidupan yang menanti gue di Jepang. Negara yang terkenal dengan teknologi canggih, budaya yang kaya, dan pendidikan yang berkualitas tinggi. Gue akan menghadapi tantangan bahasa, perbedaan budaya, dan tentu saja, tuntutan akademis yang tidak main-main.

Namun, di tengah bayangan tantangan itu, ada satu hal yang membuat gue tersenyum. Pulpen hitam di saku gue, pemberian tidak sengaja dari wanita misterius di ruang tunggu kedutaan. Entah mengapa, pulpen itu terasa seperti jimat keberuntungan. Sebuah pengingat bahwa kadang, hal-hal kecil dan tidak terduga bisa menjadi awal dari sebuah perjalanan besar.

Gue bertanya-tanya, akankah gue bertemu lagi dengan wanita itu suatu hari nanti? Mungkinkah takdir akan mempertemukan kami kembali di negeri sakura? Atau mungkin, ia hanyalah seorang malaikat yang dikirim sejenak untuk memberi gue dorongan di awal perjalanan ini?

Apapun itu, gue tahu bahwa kisah gue baru saja dimulai. Dengan visa di tangan dan pulpen hitam di saku, gue melangkah keluar dari area kedutaan, siap menghadapi babak baru dalam hidup gue. Jepang menanti, dan gue, Andra, siap menyambutnya dengan segenap semangat dan tekad.

Malam sebelum kembali ke Bandar Lampung, gue meraih pulpen hitam dari saku jaket kanan gue, memutar-mutarnya di antara jari. Ada sedikit rasa bersalah karena tidak bisa mengembalikannya kepada pemilik aslinya. Namun, ada juga rasa syukur yang aneh. Seolah-olah pulpen ini adalah benang tak kasat mata yang menghubungkan gue dengan awal perjalanan ini.

Diubah oleh blank.code 07-09-2024 04:57
andrian0509
jawamans
annlaska
annlaska dan 25 lainnya memberi reputasi
26
11.6K
162
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32KThread44.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.