Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

JenHsunHuangAvatar border
TS
JenHsunHuang
Quick count vs real count
KLAIM kemenangan Pilpres menjadi topik yang hangat belakangan ini. Dasar klaim adalah dua cara penghitungan yang berbeda: hitung cepat ( quick count) dan hitung nyata ( real count) versi internal kandidat.

Sementara, penghitungan manual KPU masih berjalan. Apa perbedaan hitung cepat dan hitung nyata di lapangan?

Aiman membuka tabir kedua penghitungan.

Prabowo dan lembaga survei
Metode hitung cepat lazim digunakan dalam sejumlah pemilu dan pilkada di Indonesia untuk melihat potret hasil pemungutan suara. Meski begitu, hasil kemenangan resmi tetap diputuskan berdasarkan penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sabtu (20/4/2019) lalu, sejumlah lembaga survei membuka data mereka dalam melakukan hitung cepat setelah dituding melakukan kebohongan oleh Capres 02 Prabowo Subianto saat orasi ke para pendukungnya di kediaman pribadi di Jalan Kertanegara, Jakarta, Jumat (19/4/2019).

"Hei tukang bohong, rakyat tidak percaya sama kalian. Mungkin kalian harus pindah ke negara lain. Mungkin kau bisa pindah ke Antartika... Mungkin kalian tukang bohong lembaga survei, bisa bohongi penguin-penguin di Antartika. Indonesia sudah tidak mau dengar kamu lagi," kata Prabowo.

Menanggapi hal ini, sehari kemudian, sejumlah lembaga survei yang tergabung dalam Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) buka-bukaan.

Sejumlah lembaga survei tersebut antara lain Indo Barometer, Charta Politika, Indikator Politik Indonesia, Poltracking, LSI Denny JA, Cyrus Network, CSIS, Populi Center, dan SMRC.

Mereka membuka data penelitian mereka sembari menantang kubu BPN Prabowo-Sandi untuk membuka data internal mereka yang menyebut kemenangan Prabowo sebanyak 62 persen dari penghitungan 320 ribu TPS.

Polemik ini pun masih bergulir hingga kolom ini muncul.

"Saya tidak mengerti mengapa politisi ini anti-science padahal kita ingin ke depan Indonesia maju seperti negara lain. Kalau menolak hasil dari proses yang ilmiah Ini, apakah kita sedang bunuh ilmu pengetahuan?" kata Ketua Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Hamdi Muluk, Sabtu.

Lalu bagaimana proses penghitungan saat ini? Saya mencoba mengurainya.

Apa itu hitung nyata KPU?
KPU melakukan jenis penghitungan nyata dari formulir model C1 dan C1 Plano. Formulir Model C1-Plano terdiri terpisah, antara setiap hasil penghitungan kertas suara.

Misalnya untuk Pemilihan Presiden, hasil penghitungan suara di sebuah Tempat Pemungutan Suara (TPS) ditulis menggunakan formulir model C1 Plano-PPWP atau hasil rekapitulasi penghitungan suara total Pemilu Presiden dan Legislatif.

Sementara Formulir C1 adalah catatan hasil penghitungan suara total dari seluruh jenis kertas suara. Jadi angka perolehan Pilpres, DPR, DPRD, dan DPD, ada di formulir model C1 ini.

Pada Pemilu tahun 2019 ini, hasil formulir-formulir penghitungan suara ini, setelah dari TPS langsung dilakukan rekapitulasi dari mulai tingkat Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga KPU Pusat (pada pemilu sebelumnya, dilakukan mulai dari tingkat Kelurahan).

AIMAN di proses rekapitulasi suara tingkat terbawah
Program AIMAN melakukan pengamatan langsung di salah satu kecamatan di Jakarta, yakni Palmerah, Jakarta Barat. Proses penghitungan di sana baru berlangsung selama 2 hari.

Melelahkan karena proses rekapitulasinya dilakukan dari pukul 8.00 pagi hingga persis 00.00 tengah malah. Dilakukan selama 10 hari berturut - turut dengan target hingga 28 April 2019.

Saya melihat sendiri bagaimana proses dilakukan. Satu persatu hasil TPS dibacakan kembali. Jika ada ketidaksesuaian maka dicocokan dengan C1-Plano.

Menurut Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan Koesbandi, Formulir C1-Plano menjadi bukti bahwa kecurangan di tingkat Kecamatan bisa dicegah. Karena dari C1-Plano ini, disetujui dengan saksi yang berada di tiap TPS sebelum disahkan dan dilakukan rekapitulasi di Kecamatan.

Dari Kecamatan proses rekapitulasi akan dilanjutkan ke Kota Jakarta Barat, lalu Provinsi DKI Jakarta, hingga terakhir bermuara di KPU Pusat.

Proses Cek dan Ricek dilakukan di tiap titik ini, sebelum akhirnya diumumkan KPU selambatnya pada 22 Mei 2019.

Itu adalah hasil penghitungan resmi KPU.

Apa itu hitung cepat?
Lalu bagaimana dengan hitung cepat yang dalam waktu sekitar 2,5 jam pasca TPS ditutup, kandidat yang unggul sudah bisa ditentukan? Ini adalah hitung cepat yang dilakukan lembaga survei.

Hitung cepat mengambil sampel hasil pemungutan suara di sejumlah TPS yang sudah ditentukan. Penentuannya tidak bisa sembarangan dan sesuka hati. Ada metode dalam menentukan TPS yang akan dijadikan sebagai sampel.

Untuk mendapatkan tingkat kesalahan di bawah 1 persen, hitung cepat membutuhkan 1.200 sampel TPS. Angka ini merupakan turunan metodologis dari angka 190 juta pemilih yang tersebar di 813 ribu TPS di seluruh Indonesia.

Namun sejumlah lembaga survei mengambil lebih dari itu. Ada yang menggunakan 2.000 sampel, bahkan 6.000 sampel demi memperkuat hasil penghitungan suara sedekat mungkin dengan hasil KPU.

Para peneliti melakukan pendataan saat di TPS pada formulir modek C1-PPWP. Hasilnya disetor ke pusat data lembaga survei.

Jika suara masuk dari seluruh sampel TPS sudah di atas 70 persen, maka biasanya pergerakan grafik alias perubahannya landai dan tidak signifikan.

Di sinilah sejumlah lembaga survei berani menyimpulkan siapa yang unggul dari sebuah pemilihan, meski selalu disertai "disclaimer" bahwa tetap harus menunggu hasil resmi dari KPU.

Apa gunanya hitung cepat?
Lalu untuk apa hasil hitung cepat?

Hitung cepat dilakukan selama belasan atau bahkan puluhan kali pada saat pemilihan baik di daerah maupun di pusat, sejak 3 pemilu sebelumnya. Lalu bagaimana hasilnya?

Kuncinya dua. Pertama, pengambilan TPS sampel yang tepat. Kedua, jumlah sampel. Hasilnya, angka quick count alias hitung cepat tidak pernah melebihi angka 1 persen dibanding angka KPU.

Bahkan Litbang Kompas dalam Pilkada DKI Jakarta lalu hanya memiliki selisih perbedaan 0,04 persen dari hasil KPU.

Hasil quick count Kompas, pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat memperoleh 42 persen dan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memperoleh 58 persen. Sementara hasil akhir KPU, Basuki-Djarot mendapat 42,04 persen dan Anies-Sandi 57,96 persen. Baca juga: Membandingkan Hasil Quick Count Litbang Kompas dengan KPU Sejak 2007

Meski tak pernah melebihi selisih angka lebih dari 1 persen suara, menunggu hasil resmi KPU selalu digemakan. Karena memang hitung cepat alias Quick Count bukanlah hasil resmi, melainkan hasil bayangan dari produk survei yang hasilnya sangat mendekati dengan hasil KPU.

Sejarah membuktikan, quick count yang dilakukan dengan metodologi yang tepat hasilnya pun tepat. Indonesia memiliki lembaga-lembaga survei yang kredibel dalam soal quick count ini.

https://nasional.kompas.com/read/2019/04/22/07135261/real-count-lawan-quick-count?page=all

Ngerti ga bedanya mpreet
Jangan samain am survei ya mpret
Kl survey tuh perkiraan, makanya ada pilihan tidak menjawab dan malu2
Quick count mana ada! Krn sumber dr C-1 form C-1 ga ad pilihan "ah saya malu jawabnya"

Yuk liat lagi quick count pilkada DKI


Msh mau nge hoax ahok menang quick count putaran 2?

Diubah oleh JenHsunHuang 22-04-2019 00:57
3
2.4K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.1KThread41KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.