Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

roberthwAvatar border
TS
roberthw
Analisa Strategi Jokowi Menang Pilpres 2019
Membedah Strategi yang Dipakai Jokowi di Pilpres 2019



Kemenangan Jokowi & Ma'ruf di Pilpres 2019 sebenarnya adalah hal yang sudah diprediksi, meskipun tetap saja mengejutkan dan menegangkan mengingat semakin mendekati H-0 Pilpres, tingkat elektabilitas Prabowo & Sandi justru semakin melonjak. Bahkan mendekati 17 April, kubu 02 justru menuai dukungan dari sejumlah tokoh yang tadinya menyatakan netral, seperti: Gatot Nurmantyo, Ust. Abdul Somad, Ust. A'a Gym dan Ust. Adi Hidayat. Yang mengagetkan, pada H-1 justru Prabowo juga tampaknya menerima dukungan dari Fifi, adik kandungnya Ahok.

Tapi setelah seluruh Quick Count mengeluarkan angka yang sama, kita boleh menyimpulkan bahwa 99% Jokowilah pemenang Pilpres 2019. Nah, apa saja strategi yang dipakai Jokowi untuk memenangkan Pilpres? Berikut analisa TS:

1. Mengangkat Ma'ruf Amin Sebagai Cawapres



Pilihan Ma'ruf Amin sebagai cawapres sebenarnya adalah the worst option from the best choices. Tidak ideal memang, namun sangat rasional dan bisa dipahami. Karena saat itu Jokowi dirundung dengan narasi "Memusuhi Ummat, Mengkriminalisasi Ulama dan Mendukung Penista Agama (Ahok)". Belum lagi tuduhan-tuduhan seperti Jokowi antek asing-aseng, pro-PKI, LGBT, sekuler, dsb. Maka untuk mempersempit sudut serangan, sangat wajar bila Jokowi memilih Ma'ruf Amin yang juga merupakan ketum MUI, ulama senior dan juga ketua Rais Aam NU.

Tentu tidak mungkin Jokowi memusuhi ulama kalau menggandeng sosok ulama senior seperti Ma'ruf, bukan? Pertimbangan lain juga adalah reputasi Ma'ruf besar di Banten dan Jabar. Tentu saja harapannya Ma'ruf Amin bisa menggoyang kesolidan pemilih kubu 02 di 2 daerah tersebut.

Adapun konsekuensi bahwa pilihan Ma'ruf Amin akan dibenci sebagian kelompok (misalnya Ahokers) ya merupakan risiko tak terhindarkan. Tapi pastinya setelah dihitung-hitung keuntungan dan risikonya tentu jauh lebih besar untungnya.


2. All President's Men



Puluhan kepala daerah dirangkul untuk mendeklarasikan dukungan terhadap Jokowi. Terutama di daerah-daerah vital seperti Jawa Barat (Ridwan Kamil), Jawa Tengah (Ganjar), Jawa Timur (Khofifah), dan sebagainya. 

Betul, memang tidak selalu berhasil, terbukti Jokowi tetap kalah di Banten, Jawa Barat & Sumbar meskipun kepala daerahnya sudah mendukung 01. Tapi setidaknya dari deklarasi kepala daerah pasti turut berimbas menaikkan elektabilitas Jokowi di daerah tersebut. Minimal ya kalahnya enggak telak-telak amat.


3. Merangkul Kubu Ulama Moderat



Sadar diri terus diserang isu "Kriminalisasi Ulama" membuat Jokowi semakin rajin menggalang dukungan dari ulama-ulama moderat seperti Habib Lutfi, Mbah Maimoen, Gus Mus dan juga kalangan NU. Jokowi juga semakin mendekatkan diri dengan Muhammadiyah pasca terpilihnya ketua PP Muhammadiyah yang baru dan juga ketua Muhammadiyah Haedar Nashir yang sudah tegas menyatakan akan netral dan tidak mencampuri urusan politik anggotanya.

Dengan adanya dukungan ulama-ulama moderat, tentu akan semakin melemahkan peluru lawan yang terus berputar-putar di narasi lawas "Kriminalisasi Ulama".


4. Memperkuat Jalinan Parpol Mendukung



Sekuat apapun presiden tidak akan berjalan bila kebijakannya tidak didukung parlemen. Sudah terbukti di awal 2014 lalu saat pemerintahan Jokowi-JK lebih banyak diganggu parlemen yang mayoritas dikuasai oposisi. Untuk itu, di Pilpres 2019 ini, Jokowi menggalang dukungan dari 8 partai politik, sekaligus percaya bahwa mesin-mesin partai tersebut di lapangan akan otomatis bekerja keras memenangkan Jokowi & Ma'ruf.


5. Pamer Prestasi



Sederet prestasi nyata yang sering dipamerkan Jokowi seperti pembangunan infrastruktur yang pesat, merebut Freeport dan Blok Rokan-Mahakam, mengendalikan laju inflasi, menekan angka kemiskinan, dsb tentunya juga menjadi strategi terdepan kubu 01 untuk merebut suara rakyat di Pilpres 2019.


6. Kebijakan Populis



Tidak bisa dipungkiri, sebagai petahana, Jokowi wajar diuntungkan dengan bisa membuat sejumlah kebijakan populis untuk mendongkrak elektabilitasnya. Misalnya seperti menggratiskan tol Suramadu, menaikkan gaji PNS dan cair lebih cepat, menaikkan gaji kades dan babinsa, menggelontorkan trilyunan Dana Desa, menurunkan tiket pesawat, membatalkan tarif kenaikan listrik, dsb.

Terserah kubu 02 mau bilang itu licik, pencitraan, aji mumpung, tapi ya itulah keuntungan Jokowi sebagai petahana. TS yakin bila Prabowo yang ada di posisi petahana pun PASTI juga akan mengambil kebijakan populis untuk menguntungkan dirinya.


7. Merangkul Musuh



Saat Pilpres 2014 lalu, Lombok termasuk daerah dimana Jokowi kalah telak. Tapi apakah Jokowi lalu jadi sentimen dan dendam? Tidak! Lombok dan TGB justru dirangkul Jokowi hingga akhirnya TGB berbalik mendukung Jokowi.


8. Tong Kosong vs Tong Kosong



Siapa yang berani menyangka, orang seperti Ali Mochtar Ngabalin, Kapitra dan Farhat Abbas bisa masuk ke dalam "jubir" kubu 01? Tentu saja kevokalan mereka memang dikondisikan untuk menghadapi duel head-to-head melawan kevokalan orang-orang kubu 02, terutama seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah, Neno Warisman, Amien Rais, dkk yang dipersepsikan sama-sama selevel.


9. Mengaburkan Identitas "Putih-Putih"



Sejak awal Jokowi memang sudah dikenal dengan baju kemeja putihnya, namun di tahun 2017 saat mencuat aksi demo menentang Ahok, identitas warna "putih-putih" bergeser menjadi milik kaum 212, GNPF, FPI, dkk. Bahkan mereka sering menggunakan jargon politik identitas dengan warna tersebut seperti misalnya, "Ayo Putihkan GBK, Putihkan TPS, Putihkan Bioskop, dsb". Untuk menangkal jargon-jargon tersebut, Jokowi kembali menyerukan identitas warna putih dengan membuat jargon tandingan, "Tusuk Putih Saja (TPS)" lalu juga menghimbau pendukungnya ke TPS dengan berpakaian putih. Akibatnya kaum 212 dkk tidak lagi merasa eksklusif memanfaatkan identitas warna putih secara politis lagi.


10. Citra yang Lebih Bisa Diterima Masyarakat



Diakui atau tidak, semua orang (tokoh) punya pencitraan masing-masing. Prabowo dicitrakan sebagai mantan jendral yang tegas dan nasionalis. Sandiaga dicitrakan sebagai entrepreneur muda yang gaul dan millennial. Bagaimana dengan Jokowi? Gak bisa dibantah, Jokowi punya citra sebagai pemimpin yang rendah hati, santun dan dekat dengan rakyat. Fakta lain, Jokowi juga punya citra memiliki keluarga kecil yang harmonis dan bahagia. Bahkan rata-rata pengusaha itu kagum dengan anak-anaknya Jokowi yang tidak tertarik masuk ke politik atau sekedar rebutan tender proyek pemerintah.

Selain itu Jokowi juga mencitrakan dirinya sebagai pemimpin muda yang pro millennial. Terbukti saat debat, berkali-kali dia menyinggung masa depan industri digital dengan menyebut unicorn, e-commerce, startup, cryptocurrency, Internet of Things, bahkan sampe e-sport dan Mobile Legend. Kontras sekali dengan Prabowo yang tegas menyatakan tidak tertarik membahas industri "awang2" itu dan lebih memilih fokus mengurusi petani dan nelayan saja.


11. Menuai Dukungan Minoritas



Last but not least, Jokowi juga lebih berhasil meraup dukungan kubu minoritas lebih banyak daripada Prabowo. Meskipun kelihatannya remeh, tapi tetap saja dukungan pihak minoritas (Tionghoa, Nasrani, Bali, NTT, Papua) tetap berperan penting. Walaupun Prabowo menegaskan dirinya berasal dari keluarga besar yang plural, tetap saja citra kuat Prabowo didukung kelompok khilafah garis keras selalu melekat, dan itu yang membuat mereka lebih memilih dukung Jokowi.


ADA LAGI YANG MAU NAMBAHIN?
Diubah oleh roberthw 23-04-2019 02:25
4
2.7K
42
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671KThread40.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.