Quote:
Fenomena caleg milenial muncul sebagai upaya untuk menggoncang politik Indonesia. Para caleg milenial yang ingin terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia ini, telah memperoleh banyak pengikut di media sosial dan ingin mengubahnya menjadi kesuksesan pada Pemilu 2019 mendatang. Korupsi adalah salah satu isu yang mendorong para politisi muda ini untuk terjun ke dunia politik dan melakukan perubahan.
Rian Ernest Tanudjaja mengatakan bahwa dia hanyalah “pria biasa”.
“Saya baru saja memesan makan malam lewat aplikasi Gojek sambil merawat anak saya. Saya tidak punya asisten pribadi untuk melakukan semua ini,” katanya kepada CNA dalam sebuah wawancara baru-baru ini.
Tapi selain rutinitas sehari-hari untuk merawat putrinya yang berusia satu bulan dan menyiapkan makan malam, Rian bukan milenial biasa: Ia maju sebagai kandidat dalam pemilihan umum bulan ini, di mana ia berharap akan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Apa masalah yang mendorong pria berusia 31 tahun ini untuk terjun ke dunia politik? Korupsi.
“Dalam politik Indonesia, Anda antara mendukung korupsi atau melawan korupsi. Tidak ada jalan tengah,” katanya. “Dan prinsip saya adalah memerangi korupsi.”
Rian adalah salah satu dari lebih dari 1.500 kandidat berusia antara 21 hingga 40 tahun, yang berharap untuk terpilih menjadi anggota DPR dalam Pemilu 2019 pada 17 April mendatang, yang juga akan memperebutkan jabatan presiden.
Beberapa kandidat yang relatif muda ini telah sadar politik sejak kecil, dan ingin menantang hierarki politik yang sudah ada, dalam upaya mereka untuk melakukan perubahan.
Perjalanan Rian untuk menjadi politisi dimulai ketika ia tumbuh di keluarga berpenghasilan menengah ke bawah, di mana alih-alih bermain, ia menghabiskan sebagian besar waktunya membaca tentang kasus-kasus korupsi dan pemerintahan yang tidak berfungsi di majalah-majalah terkini.
Beranjak dewasa, dia menjadi seorang pengacara perusahaan, tetapi di antara pekerjaannya, dia menghabiskan satu tahun sebagai guru sekolah dasar di pulau terpencil Rote, di mana dia harus “menimba air dari sumur untuk mandi”, dan bergabung selama empat bulan bersama tim transisi Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang ditugaskan untuk membentuk pemerintahan baru setelah Jokowi memenangkan Pilpres 2014.
Dia berhenti dari pekerjaan pengacaranya pada tahun 2015 dan menjadi asisten hukum mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang dikenal sebagai Ahok.
“Saya tidak melihat kemajuan dalam pemerintahan, dan saya sudah melihat cukup banyak aktor politik yang ada,” kata Rian. “Jadi saya memutuskan bahwa saya harus melakukannya sendiri.”
MERAYU PEMILIH MILENIAL
Beberapa analis percaya bahwa para caleg milenial seperti Rian dapat memiliki keuntungan dalam merayu pemilih dengan rentang usia yang sama—40 tahun ke bawah—yang mencakup 53,8 persen dari pemilih.
Baca juga: Jumlah Caleg Perempuan Capai Rekor, tapi Tantangan Besar Menghadang
“Para caleg milenial dapat menarik pemilih milenial karena kedekatan budaya mereka, serta kesamaan aspirasi generasi,” kata Dr Budi Irawanto, rekan pengamat di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura. “Akibatnya, ada lebih sedikit hambatan komunikasi bagi para caleg milenial untuk menjangkau pemilih mereka dan menjelaskan program mereka.”
Caleg yang paling populer, menurut Dr Irawanto, adalah Tsamara Amany Alatas, yang—seperti Rian—memiliki pengalaman jabatan publik pertamanya di balai kota, di mana ia magang di kantor gubernur.
“Magang di balai kota adalah titik balik bagi saya, dari seseorang yang hanya ingin menjadi pengamat dalam politik hingga seseorang yang ingin menjadi aktor politik,” katanya. “Jokowi dan Ahok paling menginspirasi saya. Mereka bukan bagian dari dinasti politik mana pun. Mereka hanya rakyat biasa dan mereka telah melakukan hal-hal baik.”
Dr Irawanto mengutip data yang menunjukkan bahwa remaja berusia 22 tahun tersebut—yang lulus tahun lalu dengan gelar sarjana komunikasi—memiliki elektabilitas 31,6 persen, “mungkin karena kehadirannya yang kuat di media sosial, kampanye intensifnya di tingkat akar rumput, dan kesegarannya sebagai politisi muda.”
Baik Rian maupun Tsamara memiliki lebih dari 200.000 pengikut di Facebook—lebih banyak dari kandidat lainnya, termasuk mereka yang telah memegang jabatan politik. Ketua DPR Bambang Soesatyo, misalnya, memiliki kurang dari 30.000 pengikut, sementara laman resmi DPR memiliki sekitar 175.000 pengikut.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI)—yang mensponsori pencalonan Rian dan Tsamara—telah berfokus untuk menarik masyarakat muda melalui media sosial, yang memberi mereka julukan “partai milenial”.
Tsamara mengatakan: “Ini berbeda di PSI. Di partai-partai lama atau partai-partai besar, Anda tidak dapat memiliki pengaruh, dan Anda hanya menjadi subjek dari dinasti yang berkuasa di partai politik.”
Namun masih belum jelas apakah besarnya jumlah pengikut mereka akan memberikan suara yang besar juga, kata Dr Irawanto.
“Jumlah pengikut yang besar tidak menunjukkan pendukung nyata, karena pengikut di media sosial mungkin bot atau buzzer dengan beberapa akun media sosial,” katanya.
MENGHADAPI ‘HATERS’, DI MEDIA SOSIAL
Di balik popularitas mereka, para caleg milenial juga harus berurusan dengan “haters” (pembenci) online, tetapi seorang caleg berusia 27 tahun yang ikut pemilu di sebuah kabupaten di Jawa Timur, Lathifa Marina Al Anshori, mengatakan bahwa dia tidak terganggu dengan hal itu.
“Saya punya haters tapi saya juga punya orang-orang yang mencintai saya. Saya hanya harus membuat keputusan yang lebih baik terkait bagaimana terlibat dengan orang yang berbeda,” katanya. “Itulah hidup.”
Di usia 19 tahun, Lathifa menjadi jurnalis perang saat belajar di Universitas Kairo. Dia meliput Kebangkitan Arab (Arab Spring) dan menyaksikan secara langsung pertumpahan darah yang menyebar di Timur Tengah. Namun di tengah kekerasan, dia masih melihat banyak hal baik di dalam diri manusia, yang melindungi orang lain dan merawat para korban.
“Anda melihat betapa kejamnya manusia, tetapi Anda juga melihat hati yang baik dalam diri manusia,” kata caleg partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini, dan menambahkan bahwa menjadi seorang jurnalis bisa sangat mirip dengan menjadi seorang politisi. “Ketika Anda menjadi seorang jurnalis, Anda bercerita, Anda mengatakan yang sebenarnya. Ketika Anda menjadi seorang politisi, Anda harus meyakinkan orang tentang gagasan-gagasan Anda. Dalam kedua kasus ini, Anda harus menghadapi orang.”
Ini adalah kedua kalinya Lathifa mencalonkan diri dalam pemilu, setelah gagal masuk ke DPR lima tahun yang lalu, meskipun ia menjadi kandidat muda yang populer.
Dr Max Lane, pengamat di ISEAS-Yusof Ishak Institute, mengatakan bahwa mengandalkan apa yang disebut sebagai suara milenial saja tidak akan cukup.
“Istilah ‘milenial’ digunakan di Indonesia untuk merujuk pada profesional muda perkotaan atau lulusan di kota-kota besar,” katanya. “Mereka adalah blok suara yang kecil—suara mereka tidak terlalu penting.”
Dia menambahkan: “Para milenial yang sebenarnya terutama adalah masyarakat miskin perkotaan dan para pekerja, serta mereka yang berada di desa dan petani. Saya ragu mereka berhubungan sama sekali dengan ‘milenial’ yang dibicarakan di media. Siapa yang tahu bagaimana suara mereka akan terpecah?”
Dr Irawanto mengatakan bahwa kaum milenial pedesaan mungkin akan mengikuti pilihan keluarga atau kandidat keluarga besar mereka, karena kurangnya akses mendapatkan informasi yang independen, berbeda dengan milenial perkotaan yang terhubung dengan internet dan media sosial—dan itu jika mereka memberikan suara.
“Tentu saja, ada sejumlah besar kaum milenial yang memilih untuk golput karena mereka kecewa dengan kualitas kampanye politik dan kompetensi para kandidat,” kata Dr Irawanto.
Tidak hanya sekadar mengandalkan media sosial, Puteri Anetta Komarudin yang berusia 25 tahun telah berkampanye 14 jam sehari, enam hari seminggu, dalam delapan bulan terakhir. Caleg Partai Golongan Karya (Golkar) ini berbicara kepada CNA ketika mengambil cuti sehari dari kampanye, saat dia baru pulih dari flu.
“Saya pada dasarnya tidak punya kehidupan,” kata Puteri dengan suara serak. Tidak seperti Rian dan Tsamara—yang daerah pemilihannya berada di dalam kota Jakarta—Puteri mencalonkan diri di sebuah kabupaten di Jawa Barat yang berukuran sekitar enam kali ukuran Singapura.
“Tapi saya sebenarnya sangat menikmatinya. Semakin Anda melihat bagaimana orang hidup di daerah itu—Anda menjadi lebih bersyukur atas apa yang Anda miliki dan lebih bersemangat untuk membantu mereka keluar dari kondisi itu,” katanya. “Adalah tugas kami sebagai orang yang memiliki pendidikan tinggi untuk memberi mereka kehidupan yang lebih baik.”
DIBUTUHKANNYA MERITOKRASI DAN PRAGMATISME
Sebagai seorang anak, Puteri sering menemani ayahnya, mantan Ketua DPR Ade Komarudin, di kegiatan akar rumput di daerah pemilihannya—daerah yang sama dengan yang diperebutkannya sekarang.
“Saya melihat ayah saya membantu banyak orang. Jadi saya tumbuh dengan menyadari bahwa hidup jauh lebih dari sekadar memikirkan diri sendiri atau keuntungan Anda sendiri,” kata Puteri, meskipun memiliki nama ayahnya, tambahnya, telah membebani dirinya.
“Apa pun yang saya lakukan, di bidang mana pun saya berada, saya akan selalu dikaitkan dengan ayah saya. Saya harus bekerja 100 kali lebih keras untuk membuktikan bahwa saya tidak bodoh,” katanya. “Banyak orang di sini mengatakan bahwa anak-anak pejabat pemerintah tidak berguna; mereka memanfaatkan nama keluarga mereka. Saya harus berurusan dengan itu sejak saya lahir.”
Menurut Rian, praktik nepotisme—atau persepsi tentang itu—adalah alasan mengapa Indonesia membutuhkan sistem meritokratis dan pendekatan pragmatis dalam pembuatan kebijakan.
“Selama beberapa dekade, posisi publik diperoleh melalui jaringan, rujukan, dan pengaturan di bawah meja,” katanya. “Jadi dengan sistem sampah, Anda mendapatkan orang-orang sampah.”
“Saya telah melihat banyak politisi dan birokrat berbicara hanya berdasarkan ideologi dan filsafat; itu tidak membawa kita ke mana pun. Kita hanya terjebak dengan debat omong kosong,” katanya. “Jadi kita harus lebih pragmatis dan realistis.”
Tetapi apakah para caleg milenial akan menjadi alternatif yang layak untuk menggantikan para petahana dalam pemungutan suara?
Dr Irawanto mengatakan bahwa mereka dapat menarik pemilih dengan citra mereka yang “bersih (tidak korup), segar, dan memiliki banyak ide untuk perubahan”.
“Namun, bagi sebagian orang, kurangnya pengalaman mereka dalam politik dapat menciptakan kesulitan bagi caleg milenial untuk meyakinkan para pemilih umum, bahwa mereka mampu menangani masalah-masalah politik, dan tidak akan terkontaminasi oleh praktik buruk di dunia politik,” tambahnya.
Namun, Rian yakin bahwa itu hanya masalah waktu.
“Pada akhirnya, suka atau tidak, milenial akan memerintah di jabatan-jabatan publik di negara ini—dan itu bagus.”
SUMBER
SUMBER
banyak yang bilang
"alah, PSI kan partai baru, klo uda merasakan kursi empuk ntar juga bakalan sama dengan yang lain"
ini artinya apa?
artinya dalam lubuk hati kalian paling dalam
sudah sadar dengan sendirinya
partai lama sudah terlalu nyaman di kursi empuk mereka
sampai lupa mereka adalah sarana penyampaian aspirasi rakyat indonesia
dan ga heran juga akhirnya ada yang sudah tidak percaya pada partai manapun
jika partai lama sudah tidak bisa kalian percayai
lalu kenapa tidak memberikan kesempatan pada partai baru untuk mendobrak kenyamanan partai lama?
memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjadi "wakil" dari suara seluruh RAKYAT INDONESIA?
jika kalian sendiri tidak menggunakan dan memberikan "kesempatan dan harapan" untuk mengubah indonesia
mau sampai kapan lagi?
mau membiarkan negara membusuk tanpa melakukan aksi apapun?
contohnya adalah
apakah ada rakyat indonesia yang pernah berharap ada UU MD3 yang salah satunya adalah
bisa pidanakan rakyat yang indonesia yang mengkritik atau dianggap merendahkan martabat DPR?
yang ada pada pasal 122
atau pada pasal 224
dimana DPR menjadi kebal hukum? (eh ada beberapa yang walk out si, artinya tidak ikut mengesahkan
ga begitu ingat deh, tapi nasdem salah satunya atau hanya nasdem saja ya )
beruntung
MK membatalkan UU MD3 tersebut
tapi ini juga menjelaskan
bahwa apakah DPR saat ini, benar2 menjadi wakil rakyat
atau berusaha melindungi dirinya sendiri?
membuat partai, membutuhkan keberanian dan tentu saja modal
apalagi partai yang jauh berbeda dengan yang lain
partai yang bertujuan mendobrak "kenyamanan" di gedung DPR
untuk menjadi penyambung suara rakyat indonesia
saya katakan sekali lagi, ini adalah kesempatan besar rakyat indonesia untuk MENGUBAH NASIB BANGSA
jika kesempatan ini tidak di gunakan dengan baik
mau tunggu kapan lagi?
mau tunggu partai nasionalis baru lainnya?
mau sampai kapan?
yang berniat membuat partai baru pun akan berpikir
" lah ngapain kita buat partai nasionalis baru yang anti koruptor?
hanya jadi musuh partai lama saja bersama pendukung die hard mereka
liat contoh PSI
mending kita gabung partai lama saja
ikutin jalur mereka
toh negara ini da ga ada harapan, rakyat indonesia juga tidak peduli sama tindakan koruptor
paling koar2 doank tapi ga berani bertindak atau menggunakan kesempatan"
mgkn partai lama tidak berniat korup
tapi tindakan preventifnya sangat kecil
hingga berpuluh tahun pun selalu saja ada
jelas ini mengecewakan sekali
apalagi sampai mantan napi koruptor yang jelas sekali memiliki riwayat KORUPSI
pun kembali di cantumkan caleg
ini maksudnya apa?
tidak perlu kujelaskan lagi bukan?
saya yakin sekali
baik nasbung maupun nastak
apalgi yang benar2 netral ( bukan nyamar
)
pasti tidak menyukai koruptor
liat saja contoh pidato prabowo
"Prabowo: Kita Minta Koruptor Tobat, Ya Boleh Kita Sisihkan Dikit"
https://20.detik.com/pemilu-2019/201...sisihkan-dikit
ntah mksdnya prabowo apaan
yang jelas beruntung, para pendukungnya teriak
TIDAK dan penjarakan saja
dengan ini sebenarnya jelas
baik nastak maupun nasbung begitu pula netral
aslinya tidak pengen ada koruptor di tubuh DPR
jika kalian tidak mau ada koruptor di tubuh DPR
jika kalian ingin mengubah DPR menjadi jauh lebih baik
maka gunakan kesempatan ini untuk mendukung partai baru yang baik pendiri maupun calegnya
tidak memiliki "dosa" masa lampau
napa lu melotot
gw ga sebut partainya loh
awas klo besok gw di bunuh pembunuh bayaran
btw, cendekiawan muslim saja memilih PSI
masa elu kaga?
https://www.kaskus.co.id/post/5ca9dd...75133638518c3b