Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kaniarfAvatar border
TS
kaniarf
[CERPEN] The Train That Passed By
Spoiler for PENGUMUMAN!:



Sumber: Dok.Pribadi


“Hati-hati jalur 1, akan segera masuk Commuter Line tujuan Bogor. Penumpang yang akan naik harap dahulukan penumpang turun terlebih dahulu”

Pengumuman dari pengeras suara itu menggema di setiap sudut stasiun. Para penumpang yang akan naik mulai bersiap-siap menanti datangnya kereta. Beberapa wanita tampak bangkit dari tempat tunggu yang berjajar di sepanjang peron, sementara beberapa pria  sudah berdiri di belakang garis pembatas berwarna kuning sedari tadi, bahkan sebelum pengumuman kedatangan kereta diumumkan. Garis batas aman itu seharusnya tidak boleh dilewati, namun beberapa penumpang nakal justru nekat berdiri di depan garis kuning itu.

Tak heran memang, waktu menunjukkan pukul 17.10 WIB. Jam ini disebut sebagai jam neraka kedua bagi penumpang Commuter Linejurusan Bogor. Neraka kedua karena neraka pertama adalah saat pagi hari, ketika mereka berangkat ke kantor masing-masing. Sementara saat ini adalah waktu dimana semua karyawan kawasan perkantoran Sudirman kembali pulang. Tak heran jika banyak orang berebut tempat terdepan agar mendapat posisi terbaik saat berada di dalam gerbong nanti.

Rani masih belum beranjak dari tempat duduknya. Ini sudah Commuter Line ketiga yang ia lewati. Rani masih betah duduk bermalas-malasan di bangku stasiun sambil memakan sepotong sandwich dan secangkir kopi yang dibelinya di salah satu minimarket stasiun. Matanya menyusuri ujung lain peron dan memperhatikan orang-orang yang berlarian, berharap masih sempat untuk naik Commuter Line yang sedang berhenti di hadapannya. 

Tanpa sadar senyum samar menghiasi wajah Rani saat melihat seorang karyawan wanita yang memakai sepatu hak tinggi tidak berhasil masuk gerbong karena pintu gerbong sudah tertutup. Ia hanya terlambat sepersekian detik saja. Rani paham bagaimana perasaan karyawan wanita itu karena dahulu ia sering melakukannya. Karyawati itu pasti kesal dan lelah karena nafasnya sudah begitu terengah-engah. Mungkin juga terselip rasa malu karena banyak orang yang memperhatikannya ketika dirinya hampir saja terselip diantara pintu otomatis gerbong yang hampir menutup sempurna tadi.

“Kalau saja kau ganti sepatu hak tinggi dengan sandal jepit, mungkin kau bisa berhasil masuk ke gerbong itu.” Rani bergumam dalam hati sambil terus mengunyah sandwich isi tuna di tangan kanannya.

Raut wajah Rani yang tadinya tersenyum meledek, tiba-tiba saja berubah menjadi muram. Kejadian tadi sepertinya membuat wanita berusia 24 tahun yang bekerja sebagai staff administrasi di perusahaan pajak itu teringat sesuatu. Sebuah pesan yang disampaikan oleh mendiang ibunya. Ibu yang baru saja meninggalkannya sekitar 5 bulan lalu.

“Rani, jangan suka mengejar kereta. Berbahaya.” Ibu menasehati Rani sembari mengelus punggung putri semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang.

“Ya bagaimana lagi, ibu di rumah seorang diri seperti ini, sedang sakit pula. Rani jadi ingin cepat-cepat pulang ke rumah setiap jam kantor selesai.” Rani memegang segelas air hangat untuk ibunya.

“Justru itu, kalau kamu tidak hati-hati dan terjadi apa-apa sama kamu, siapa yang bakal urusin ibu?” Ibu masih berusaha melunakkan jalan pikiran Rani yang memang sedari dulu keras kepala.

“Iya bu, Rani paham.” Rani hanya bisa tersenyum dan meng-iya-kan kata-kata ibunya itu.

Rani memang hanya tinggal berdua bersama ibunya. Ia tak memiliki saudara kandung baik kakak maupun adik. Ia anak tunggal dari ayah dan ibunya. Ayah … Rani bahkan enggan memanggil pria itu ayah. Lelaki yang disebut “Ayah” itu sudah pergi meninggalkannya. Meninggalkan istri dan anaknya yang saat itu masih berusia 9 tahun hanya untuk bersama wanita lain.

Rani masih ingat bagaimana ibunya menangis sambil memeluk kaki ayahnya, berharap agar lelaki itu tidak pergi. Bukannya luluh dengan tangisan istrinya, lelaki itu justru memaki ibunya dengan kata-kata kasar yang tidak sepantasnya didengar anak seusia Rani saat itu. Rani yang tidak mengerti, hanya bisa ikut menangis melihat ibunya seperti itu. Belum lagi di depan pintu telah menunggu seorang wanita dengan rok mini dan riasan wajah berlebihan tengah menyeringai melihat apa yang terjadi di dalam rumahnya.

Wanita dengan seringai iblis itulah yang datang merusak rumah tangga kedua orang tuanya. Entah bagaimana ayahnya bisa terjerat racun mematikan wanita itu. Awalnya Rani sangat membenci dan mengutuk wanita yang dijulukinya penyihir licik itu selama bertahun-tahun, hingga suatu ketika ia menyadari bahwa membenci wanita seperti itu terlalu buang-buang tenaga. Toh ibunya ternyata sangat tegar. Ibu Rani bahkan ikhlas kalau memang lelakinya lebih memilih wanita lain setelah ia berusaha memohon untuk terakhir kalinya.

Lamunan Rani seketika buyar ketika menyadari sandwich ditangannya telah habis dan hanya menyisakan kemasan plastik tahan panas. Dengan segera ia meremas plastik tersebut dan membuangnya di tong sampah yang terletak tak jauh dari tempat duduknya. Ia menggoyangkan gelas kopi ditangan kirinya untuk memastikan seberapa banyak kopi yang tersisa. Setelah memastikan isi kopi di gelas kertas itu tak lebih dari setengahnya, Rani segera meneguk habis isinya dan membuang gelas kertas kosong itu sekalian.

Rani tidak kembali duduk ke tempat semula karena ternyata tempat duduk itu sudah terisi oleh orang lain. Rani kemudian mencari tempat bersandar sembari menunggu kereta berikutnya. Namun Rani masih belum yakin akan menaiki kereta yang akan datang berikutnya. Entah kenapa ia malas sekali kembali ke rumah karena kini tak ada lagi ibu yang menanti kepulangannya. Hanya kesepian yang menemaninya setiap malam. Kesepian yang terkadang membuatnya sedih teringat momen hangat bersama ibunya.

“Rani tahu? Kata orang, laki-laki itu seperti kereta api.” Suatu hari ibunya menyampaikan sebuah kalimat yang membuat Rani kecil kebingungan.

“Apa maksudnya bu?” Rani menghentikan tangannya yang tengah asyik menorehkan crayon pada kertas gambar dan menoleh ke arah ibunya yang sedang asyik melipat jemuran kering.

“Nanti kalau Rani dewasa pasti mengerti, yang penting Rani harus ingat bahwa laki-laki itu seperti kereta api.” Ibunya tersenyum kemudian beranjak membawa lipatan jemuran kering ke dalam kamar. Sementara Rani masih mengerut-ngerutkan dahinya tidak mengerti.

“Tuuuuuuut”

Rani terperanjat mendengar klakson keras Commuter Line yang datang. Lagi-lagi ia melamun teringat ibunya hingga tak mendengar kalau sebuah Commuter Line tujuan Bogor sudah masuk stasiun dan kini pintu gerbongnya sudah terbuka lebar. Rani yang sedang bersandar kemudian menegakkan tubuhnya seolah bersiap ingin naik. Namun entah kenapa kakinya enggan melangkah.

Mungkin nyawanya belum terkumpul setelah melamun tadi jadi ia hanya menatap pintu otomatis yang perlahan tertutup. Lagi-lagi ia kembali melihat adegan yang baru beberapa menit lalu tersaji di hadapannya. Ia melihat karyawati lain yang gagal masuk ke dalam gerbong setelah berlari-lari dan hanya berakhir dengan terengah-engah tanpa hasil yang diinginkan.

“Ah aku paham.” Tiba-tiba Rani berseru agak keras hingga seorang pria di sebelahnya menoleh ke arahnya karena terkejut.

Laki-laki itu seperti kereta api. Kereta yang memiliki tujuan. Tujuan itulah yang disebut sebagai wanitanya. Jika jiwa petualang laki-laki belum sampai pada tujuannya ia akan terus hanya singgah di stasiun pemberhentian yang dilewatinya, hingga kemudian pada akhirnya ia akan berhenti di stasiun tujuannya.

Kereta tak mungkin dikejar, jika ia pergi maka biarkan saja, mungkin kereta itu tidak menjadikanmu sebagai tujuannya, mungkin pula akan datang kereta lain yang membawamu pada kebahagian. Jika memang itu yang ibunya maksud, Rani sepertinya mengerti kenapa selama ini ibunya begitu tegar meskipun ia sempat meraung di hari terakhir ayahnya mengunjungi rumah mereka bersama si wanita dengan seringai iblis itu.

Ibunya menganggap ayahnya sebagai kereta api. Kereta api yang telah melewati mereka berdua dan menuju pemberhentian lain. Kereta yang tak mungkin keduanya kejar. Terlalu melelahkan, lebih baik diikhlaskan. Bukannya menyerah pada keadaan, hanya saja terasa tak ada untungnya mengejar sesuatu yang bahkan tidak mengharapkan kehadiran keduanya.

Senyum menghiasi wajah Rani. Ia merasa bangga dengan keteguhan hati ibunya. Rani kini sudah berhenti mengenang. Ia melihat sorot lampu Commuter Line tujuan Bogor yang berikutnya. Ia bersiap untuk naik kereta ini dan kebetulan di sampingnya berdiri karyawati yang beberapa saat lalu gagal naik kereta sebelumnya.

“Lain kali jangan dikejar mbak, bahaya, apalagi pakai heels begitu.” Rani tersenyum pada karyawati itu.

“Ah iya mbak, saya terlalu semangat kayaknya.” Karyawati itu hanya tersipu malu mendengar kalimat Rani.

Pintu gerbong terbuka, ajaibnya Commuter Line yang baru datang ini tidak sepadat yang sebelumnya. Mungkin karena jarak kedatangannya kedua kereta ini tidak terlalu jauh. Rani dan karyawati itu bahkan bisa berdiri nyaman dan tidak terdesak penumpang lainnya.

“Nah mungkin kebahagian memang akan datang jika kita mengikhlaskan yang sudah lewat.” Rani bergumam dalam hati sembari menatap pantulan bayangannya di kaca jendela gerbong kereta yang ia tumpangi. Entah kenapa hatinya tiba-tiba terasa ringan. Mungkin karena telah berhasil memahami apa yang dirasakan ibunya selama ini.

emoticon-Big Kissemoticon-Rate 5 Staremoticon-Cendol Ganemoticon-Peluk

 

Quote:
Diubah oleh kaniarf 06-08-2019 04:49
nitajung
anwarabdulrojak
blank.code
blank.code dan 29 lainnya memberi reputasi
30
9.6K
83
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.