trifatoyahAvatar border
TS
trifatoyah
Cinta Untuk Rico Nata De Coco
Cinta Untuk Rico Nata de Coco



Mungkin ini yang disebut kejadian langka, aku yang merasa tidak cantik, tidak menarik, bisa mendapatkan suami setampan Rico, kadang aku sendiri tidak tahu, mengapa dia memperlakukan diri ini, yang biasa-biasa saja dengan istimewa.

Rasa percaya diri yang diambang batas kewajaran, membuat aku semakin tersiksa, mengapa bisa tidak mempercayainya seratus persen? Jawabannya adalah jangan pernah mencintai secara berlebihan, begitupun dengan benci, membenci lah sewajarnya. Karena, Rico telah membenciku secara berlebihan.

Dulu setiap kali dia bertemu denganku, bawaannya usil melulu, bikin eneg, ada saja yang dilakukan biar aku marah. Suka ngehina, semena-mena, sama sekali nggak ada manis-manisnya. Mungkin karena nggak pernah pakai pemanis buatan kali. Jadi manisnya memang nggak pernah dibuat-buat.

Semuanya berubah setelah dia berikrar di depan penghulu, bahwa Rico, lelaki yang biasa kupanggil Rico Nata de Coco itu berjanji di depan mama dan papa kalau dia akan menjagaku selamanya.

Akupun baru tahu, mengapa dia membenciku, semua itu karena sahabatnya telah terlebih dahulu mencintai seorang Pipit, wanita yang tidak memiliki kepercayaan penuh terhadap dirinya. Karena merasa kalah cantik dengan mamanya. Akh lucu sekali, mengapa aku harus bersaing dengannya? Padahal dialah wanita istimewa dengan cinta tulusnya.

Berulang kali mama menghiburku, ketika Rico terlambat pulang, tapi rasa curiga terus saja menghantui, takut ditinggalkan dan takut kehilangan, menyelimuti ke dasar hati. Sungguh terlalu.

"Sudahlah, Pit baru juga lewat lima belas menit, kamu udah uring-uringan gitu," kata mama sambil menepuk pundakku, memberikan kekuatan agar aku tenang.

"Mama, gimana aku bisa tenang, Rico itu tampan, banyak duit, cewek mana coba yang nggak ngelirik ke dia?" tanyaku memberikan argumentasi, yang dapat diterima akal dan pikiran.

"Tahu, tapi kamu jangan curiga terus dong sama suamimu."

"Nggak bisa, Ma. Jangankan telat lima belas menit, baru lima menit saja, bayangan dia pergi bareng dengan cewek cantik, menari-nari di pelupuk mata."

"Tuh, orangnya dateng. Ingat, nggak perlu marah-marah, seperti kemarin, mama jadi malu, masak anak Mama bisa ngomel yang melebihi panjangnya rel kereta api."

"Oke, aku coba, Ma."

Mama berlalu ke kamarnya setelah memberikan wejangan untuk putri tercintanya ini. Berusaha menata hati dan menata wajah tentunya.
Rico mengucap salam, yang langsung kujawab sambil pasang senyum, yang sebenarnya sulit untuk terealisasikan dengan manis.

"Sudah pulang, Rico?"

"Belum, masih di Counter," jawabnya sambil mencubit pipiku.

"Ikh, ditanya benar-benar jawabannya nyebelin," kataku dengan cemberut.

"Lha kan udah pulang, ngapain ditanya lagi?"

"Ya, udah. Kalau nggak mau ditanya."

"Ngambek?"

Tak kuhiraukan pertanyaannya, dengan cepat kaki ini melangkah ke kamar, Rico mengekor di belakang, begitu sampai di kamar, dia langsung memelukku dan mencium punggung leher berkali-kali. Rasanya seperti melayang ke langit tujuh, bahagia tiada terperi.

"Aku, masih heran saja, kok kamu tadi nggak marah, padahal aku terlambat lima belas menit lho, biasanya baru lima menit, udah ngomel-ngomel tak karuan."

"Kangen dengan omelan?" tanyanya sambil menjentik hidungku.

Kubalas mencubit perutnya, dia meringis kesakitan, tangannya langsung menggelitik seluruh tubuh, membuat aku kegelian.

"Udah dong Ric, geli tahu. Aku dah insaf dikit."

"Ha? Cuma dikit."

"Lha iya, masak insaf banyak-banyak, entar kamu bisa selingkuh."

"Nuduh! protesnya.

"Udah sana mandi, bau asem gitu!" suruhku sambil memencet hidung.

"Nih juga mau mandi, tapi minta ditemenin."

"Ish, ngeselin deh. Aku udah mandi tahu!"

"Pokoknya temenin, kalau enggak, nggak mandi nih!"

"Iya deh."

"Nah, gitu dong."

***

Ritual mandi sudah selesai, aku langsung turun ke bawah, begitu mendengar suara papa dan mama yang sedikit ribut, ada apa? Tidak biasanya mereka ribut.

"Ada apa sih, Ma?"

"Nih, Papamu. Masak ponakan Mama nggak boleh tinggal di sini, barang satu dua bulan."

"Emang siapa, Ma?"

"Karin, dia pindah kuliah di sini."

"Kenapa juga nggak boleh, Pa?"

"Ya, Papa punya alasan. Tapi, Mama nggak terima. Ya udah, Papa dan Mama jemput Karin sekarang."

"Di mana?" tanyaku lagi.

"Stasiun."

"Boleh ikut?"

"Nggak usah, temani suamimu saja, dua baru pulang."

"Baiklah."

Papa dan mama berangkat ke stasiun untuk menjemput Karin, ponakan mama yang dulu tinggal di Semarang, sekarang dia kembali ke kota Batik ini, karena kuliahnya pindah.

"Pit, kunci mobil di mana?"

"Nggak, lihat. Memangnya kau ke mana?"

"Ke stasiun, mobil Papa katanya mogok."

"Mungkin di atas TV, coba lihat."

Setelah menemukan kunci mobilnya, Rico pamit pergi ke stasiun. Aku tidak jadi ikut, karena perut tiba-tiba mulas banget, teringat tadi makan rujak yang pedasnya sampai ubun-ubun.

***

Karin memang gadis yang cantik, energik dan tentunya menarik. Lihat saja wajahnya yang semulus jalan tol, membuat dia percaya diri abis. Dua hari dia menjadi bagian dari keluarga ini, membuat aku tidak bisa berhenti mengomel barang sedetik saja pada Rico.

"Terus bantuin, Karin. Nggak tahu apa dah punya istri," sinfirku dengan nada emosi.

"Pipit, dia itu kan adik sepupumu berarti dia adik sepupuku juga."

"Aku nggak mau, kamu merhatiin Karin."

"Yang merhatiin juga siapa?"

"Kamu, lah."

"Sudah nggak usah mulai."

"Gimana nggak mulai, kamu nyuri-nyuri pandang ke dia, ngasih perhatian lebih ke dia."

"Pipit! Bisa nggak, hentikan curigamu itu."

"Enggak!"

Malam itu adalah pertengkaran terhebat selama menjalani pernikahan dengan Rico, dan penyebabnya tidak lain adalah Karin. Aku marah sekali ketika tahu Rico menjemput Karin ke kampusnya.

Apalagi dengan wajahnya yang tanpa dosa tadi siang, dia menghampiri ketika aku baru saja membereskan sisa makan siang.

"Maaf, Mbak Pit. Kalau Mas Rico beliin aku Novel ini, juga beberapa bros cantik ini, beneran aku nggak minta."

"Nggak minta?"

"Iya, Mas Rico yang ngasih. Bahkan katanya uang kembaliannya untukku."

"Ya udah ambil aja."

"Waktu di toko buku tadi, maaf ya mbak. Mas Rico godain cewek. Kasir di toko itu," kata Karin setengah berbisik, sambil bola matanya lirik kanan kiri.

Darahku mendadak naik, mendengar apa yang diucapkan Karin barusan, ternyata di luar sana, Rico tak seperti yang aku kira. Dasar Nata de Coco!

Rupanya ada Karin di rumah ini menguntungkan aku, untuk menjadikan mata-mata bagi Rico. Rasa marahku sepertinya tak terbendung lagi, aku merasa dibohongi mentah-mentah. Bekali-kali mencoba bersabar tapi tak bisa.

"Kalau kamu masih nggak percaya sama aku, biarkan aku pergi dari rumah ini." kata Rico dengan emosi.

"Jadi itu maumu! Udah bosan sama aku," kataku tak kalah emosi.

Dalam kamar yang menjadi saksi bisu cinta kami, tak dapat dihindari lagi, dengan cepat tangan kekar itu memindahkan baju-baju kedalam kopernya, dia telah bulat dengan tekadnya. Meninggalkan aku.

"Ijinkan aku memelukmu untuk yang terakhir kali," ucapnya sambil mendekat ke arah ku.

Air mata mengalir tak dapat dibendung lagi, aku sedih, marah dan kecewa, kubiarkan dia memelukku, walau hati ini tersa sakit luar biasa, seperti ribuan jarum ia tancapkan di dada.

"Maaf, Pit. Aku belum bisa menjadi yang terbaik untukmu. Padahal selama ini aku tengah berusaha, tapi aku gagal."

"Kamu gagal, karena kecantikan Karin, iya 'kan?"

"Apa maksudmu?" tanya Rico perlahan melepaskan pelukannya.

"Kamu sengaja bayarin, Novel, buku-buku dan juga ...."

"Stop!" Jangan lanjutkan."

"Kenapa? Kenapa harus dengan adik sepupuku kamu selingkuh?" tanyaku dengan hati teriris.

"Demi Allah, Pit! Aku tak punya hubungan apa-apa dengan Karin, Kamu salah paham. Aku membayarkan belanjaan Karin, katanya dompet dia ketinggalan, tapi aku tidak membayarkan dengan gratis, melainkan pinjam."

Keterlaluan sekali Karin, dia telah memfitnah Riko, apa maunya gadis sinting itu? Rico berjalan hendak keluar kamar, tangannya tengah memegang handle pintu dengan cepat aku memeluknya dari belakang, berharap Rico mengurungkan niatnya.

"Maafkan aku sayang, berulang kali tidak mempercayaimu, padahal kau tetap Rico yang dulu."

"Aku selalu memaafkanmu, Pipit. Istriku yang telah membawa separuh hatiku."

Duh rasanya malu sekali, padahal dia adalah laki-laki yang setia. Dengarlah janji hatiku, kalau aku akan selalu mencintaimu, walaupun badai dan ombak menerjang. Untukmu, cinta selalu Rico Nata de Coco.
Diubah oleh trifatoyah 25-03-2019 23:21
miniadila
zatilmutie
Rainbow555
Rainbow555 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
3K
28
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThreadā€¢41.6KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
Ā© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.