Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

abahekhubytsanyAvatar border
TS
abahekhubytsany
Kejaran Cinta Dunia Gaib (bagian-3)Tamat. Episode: Pesantren Tikungan Indah
Fajar akan segera bertandang, ketika mataku sudah hampir tak kuasa menahan kelopaknya untuk segera mengatup. Lolongan serigala kelaparan pun sudah tak terdengar gemuruhnya. Kokokan ayam jantan dengan sayap yang kuat berkepak, menyeruak keheningan di penghujung malam yang dingin. Lengkingannya saling bersahutan menciptakan nada indah turut menyambut hadirnya sang pagi.

Sejenak suaranya terhenti. Seolah sengaja memberi celah untuk senandung merdu adzan shubuh. Begitu indah nada itu mengalun menyentuh gendang telingaku. Hati tergetar hingga mampu mengalahkan rasa kantuk yang hampir melenakan tubuhku.
Kupandangi wajah Paman yang masih terlihat sangat lesu oleh peristiwa semalam. Perlahan, kugeserkan tubuhku agar tidurnya tak terganggu, meskipun saat itu ada keharusan bagiku, untuk membangunkan beliau demi memenuhi kewajibannya sebagai seorang muslim. Namun, hal itu sengaja kutunda sampai aku pulang dari jamaah shubuh.
Aku sedikit terkaget ketika tanpa kusadari tangan itu menyentuh pundakku mencoba menahan gerak tubuhku yang hendak meninggalkanya. Dengan suara yang masih lemah, beliau berkata,

"Mau kemana, Le?."

"Eh, Paman sudah bangun rupanya. Ini, mau ikut jamaah dulu di surau.
Tak tinggal sebentar ya?" Jawabku sekedar untuk menenangkan kegelisahan beliau.

"Jangan lama-lama ya?"

"Iya! Nanti setelah doa aku langsung pulang. Paman sama Bibi dulu, ya!"

Aku segera berdiri dan melangkah keluar. Suara iqomah dari surau itu, memaksaku mempercepat langkahku. Dalam hati aku merasa prihatin--setelah sampai di teras surau--saat melihat barisan jamaah hanya ada beberapa orang saja.

Seharusnya surau kecil ini penuh, mengingat seluruh warga kampung ini beragama islam. Namun, faktanya hanya beberapa saja yang hadir dalam jamaah shubuh pagi ini.

Ada banyak pertanyaan yang ikut mewarnai lamunanku saat itu.
Mungkinkah warga kampung ini belum mengetahui tentang keistimewaan shalat berjamaah? Terlebih lagi pada pada waktu diawal hari.
Bukankah penjelasan tentang itu --pada jaman digital seperti sekarang ini--sangatlah mudah untuk didapati?
Tapi mengapa mereka lebih memilih terlena dalam buaian mimpi?Ketimbang bangun untuk menunaikan kewajiban secara berjamaah.
Entahlah! Semoga saja nanti ada orang yang bisa membuka pintu hati mereka dalam memahami masalah ini.

Quote:


Lamunanku terhenti, saat kupingku mendengar suara "aamiin" dari barisan jamaah laki-laki. Bergegas aku mendekat dan menyambung shof pada sebelah kiri.

Usai berjamaah dan do'a bersama, aku segera keluar dan bergegas pulang. Masih ada kecemasanku pada kondisi Paman. Kejadian semalam masih begitu melekat dalam ingatan dan menyisakan trauma yang mendalam.
Perasaanku menjadi lega manakala kulihat paman sedang duduk bersila dengan menghadap qiblat.

Aku melangkah perlahan agar tak mengganggu kekhusyu'an beliau. Namun, suara gelas plastik yang mencelat--tanpa sengaja--tersandung kakiku telah mengusik ketenangan Paman.
Perlahan Paman membalikkan badan dan berkata,

"Kamu to,Le? Tak kira siapa."

"Maaf Paman kalau aku mengganggu."

"Kelihatannya kamu ngantuk banget sampai tak melihat ada gelas di situ."

"Hehe ... iya." Jawabku sambil tersenyum malu.

"Ya sudah! Tidurlah sini dekat paman." Ajak Pamanku yang kubalas dengan anggukan tanda setuju.

Kurebahkan tubuhku pada kasur busa tipis di sebah paman. Sejenak kemudian, tubuh terlena dalam kenikmatan tidur yang tak terbandingkan dengan apapun.

Quote:


****

Tiga hari sudah aku meninggalkan tempat kerja. Ada perasaan malu pada teman sepekerjaanku. Namun, karena situasi dan kondisi paman yang menghawatirkan--menurutku--memaksaku--untuk sementara waktu--meninggalkan tugas-tugasku.

Kini, kondisi paman sudah pulih seperti semula, bahkan menjadi lebih baik dari apa yang selama ini aku ketahui. Perubahan itu sangat jelas terlihat pagi ini. Dengan penampilan yang sangat berbeda dari biasanya yang setiap jalan-jalan pagi selalu memakai kostum olah raga dengan handuk kecil tergantung di leher, saat ini Paman memakai pakaian seperti layaknya seorang ulama' besar--jubah putih, berkalung sorban, dengan lingkaran butir tasbih yang selalu berputar di tangan--pengasuh pondok pesantren.

Perubahan paman yang demikian itu, memberi kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagiku juga Bibi. Bagaimana tidak? Karena sebagai layaknya seorang yang beriman pada Tuhan, keadaan paman sepeti saat ini adalah suatu hal yang selalu diharapkan dan diusahakan setiap insan beragama. Namun rasa kebahagiaan dan kebanggaanku terusik oleh kehadiran mbah Kiyahi yang mengatakan padaku tentang kondisi Paman yang sebenarnya.

"Le! Apa yang kau rasa tentang perubahan pamanmu itu?"

"Aku gak paham dengan yang mbah Kiyahi maksutkan. Bukankah setiap insan selalu mengharapkan perubahan seperti yang dialami Paman?" tanyaku dan berharap mbah Kiyahi berkenan menjelaskan.

"Itu memang benar, jika perubahan itu memang berasal dari diri sendiri. Tapi berbeda dengan perubahan pamanmu."

" Maksut mbah Kiyahi paman masih dalam pengaruh makhluk gaib, begitu?"
Dengan rasa yang tak percaya aku menanyakan itu.
Sebenarnya, aku tak seharusnya meragukan mbah Kiyahi tentang masalah Paman. Mengingat beliau adalah sosok panutan warga kampung ini. Terlebih lagi karena pertolongan beliaulah Paman terbebas dari cengkeraman putri penunggu lautan juga Putri Slenggrong dari istana Teluk Pampang. Namun, karena perubahan sifat dan sikap Paman saat ini adalah berbeda dengan kejadian sebelumnya, membuatku tak mampu memahami bahwa ada sesuatu yang terjadi dibalik kejadian tersebut.

"Begini, Le! Tadi aku sempat jagonganberdua dengan pamanmu. Sikap dan sifat pamanmu sangatkah berbeda dengan yang pernah aku kenal sebelumnya. Biasanya pamanmu suka menyapa pada siapa saja yang dia temui. Tapi saat ini dia cenderung tak banyak bicara. Kalaupun menyapa, paling hanya sekedarnya saja. Selebihnya, pamanmu hanya mengucapkan kalimah toyyibah dengan suara yang seperti berbisik. Sorot matanya pun sangat tajam dan terlihat berwibawa. Jelas sekali bahwa itu bukanlah pamanmu." Jelas mbah Kiyahi yang semakin menambah rasa kepenasaranku.

"Lalu siapa sebenarnya yang tengah menguasai tubuh Paman, Mbah?"

"Aku belum tahu secara pasti siapa dia,Le. Tapi yang pasti dia adalah ulama' besar dari bangsa jin. Bisa jadi dia adalah kiyahi pengasuh pondok pesantren gaib di Kucur."

"Kenapa mbah Kiyahi berpikiran seperti itu? Apakah njenengan sudah mengenal ulama' bangsa jin tersebut?" Tanyaku setengah menyelidik.

"Dibilang kenal, tidak juga. Tapi aku pernah bertemu dengan beliau didalam mimpiku dan gaya bicaranya persis seperti pamanmu saat ini."

"Lalu sekarang, apa yang kita lakukan Mbah?"

Mbah Kiyahi sejenak terdiam. Kemudian tangannya meraih pena dan selembar kertas yang kebetulan ada di atas meja tak jauh dari tempat kami duduk berbincang. Terlihat beliau menuliskan sesuatu--bukan tulisan arab--dan memberikannya padaku.

"Nanti malam--setelah shalat tahajud--baca surat Al-qur'an ini. Jangan lupa, baca juga wirid yang kemarin kuberikan. Aku juga akan bermunajah pada Allah untuk memohon jalan keluar untuk masalah pamanmu. Besok pagi setelah shubuh, kita hadapi masalah ini bersama-sama. Dan ingat! Jangan beritahu dulu Bibimu. Aku takut dia bersedih kembali."

"Iya, Mbah. Aku juga gak tega melihat kesedihan Bibi."

"Yo wis! Aku pulang dulu. Sampaikan salamku pada bibimu. Kamu yang sabar ya, Le. Yakinlah semua ini akan berahir dengan ijin Allah."

Aku hanya bisa menganggukkan kepala dengan lesu. Aku tak habis pikir kenapa ujian-ujian ini terus beruntun menimpa Paman? Apakah ada kesalahan-- yang tanpa disadari telah dilakukan Paman sehingga Allah menurunkan peringatan ini?
Entahlah! Aku juga tak tahu.
Saat ini yang kuinginkan hanyalah ketenteraman keluargaku. Siapapun yang telah merasuki Paman, kenyataannya telah mengusik kedamaian Paman dan Bibiku, dan aku harus bisa mengembalikan kedamaian itu.

***

Pagi itu--setelah kepulanganku dari jamaah shubuh--mbah Kiyahi sudah duduk di ruang tamu bersama Paman dan Bibi. Terdengar olehku, perdebatan yang cukup sengit--antara Paman dan mbah Kiyahi--dari luar luar rumah. Aku segera masuk dan itu sempat menjeda perdebatan tersebut. Terlihat wajah Bibi yang sedang menangis sambil memegang tangan Paman yang saat itu sedang duduk dengan bersila di atas kursi.

"Duduklah, Le!"
Terdengar suara mbah Kiyahi yang menyuruhku untuk duduk di kursi sebelah beliau.

Sejurus kemudian perdebatan itu berlanjut kembali. Ada api amarah yang terlihat jelas dari wajah mbah Kiyahi.

"Njenengan adalah sosok ulama' besar yang dihormati oleh bangsamu. Tapi mengapa bisa melakukan hal yang sangat jelas keluar dari norma agama dan merusak hubungan antar sesama makhluk?"

Mendengar perkataan itu, Paman terdiam sesaat. Ada amarah yang tersembunyi dibalik wajah Paman.
Kemudian dengan emosi yang ditahan, Paman menjawab pertanyaan mbah Kiyahi.

"Aku bertanggung jawab penuh pada kelangsungan pesantren 'Tikungan Indah' yang sudah aku rintis ratusan tahun lalu. Aku tak mungkin membiarkannya terbengkalai tanpa penerus. Sedangkan aku hanya mempunyai seorang putri. Oleh karena itu, aku harus menikahkan putriku dengan sosok yang bisa memenuhi keinginanku demi keberlangsungan syiar islam pada bangsaku, dan pilihanku adalah orang ini. Lalu menurutmu, di mana letak kesalahanku?

" Letak kesalahanmu adalah memaksakan sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi hakmu. Dengan memaksa menyatukan dua makhluk yang berbeda alam dalam satu ikatan pernikahan adalah sesuatu yang tak boleh dilakukan. Terlebih lagi saudaraku ini sudah punya istri. Tidakkah terpikir olehmu bagaimana nasib istrinya jika hal itu terjadi?" Jelas mbah Kiyahi.

"Aku tak peduli dengan apa yang kau katakan. Aku juga tak peduli dengan nasib istri orang ini. Bagiku yang terpenting adalah bagaimana pesantrenku bisa tetap ada dan keinginanku bisa terlaksana."

Mendengar jawaban itu, mbah Kiyahi semakin menampakkan kemarahannya. Dengan cepat beliau berdiri dan mengangkat kursi yang didudukinya sedari tadi. Wajahnya merah padam dan bermaksut memukulkan kursi itu pada Paman yang tak bergeming sedikit pun.

Menyadari hal yang saat itu terjadi, aku yang sedari tadi hanya terdiam segera bangkit dan menahan tangan mbah Kiyahi. Aku tak ingin tindakan mbah Kiyahi,bisa melukai Paman meskipun aku tahu, itu bukanlah tujuan beliau.

"Diam kamu,Le! Tetaplah duduk di situ." Bentak mbah Kiyahi padaku.

Kemudian melanjutkan perkataan dengan armarah yang semakin meruah.

"Aku tahu apa yang harus kulakukan mengatasi makhluk yang tak tahu malu ini. Mengaku sebagai ulama' besar tapi pola pikirnya lebih rendah dari pencuri ayam."

Sekilas aku melihat wajah Paman sedikit tertunduk dan tasbih yang selalu di tangan, dia letakkan di atas meja. Dengan sedikit bergetar Paman berkata,

"Aku tak pernah takut pada siapa pun. Jika aku harus mengurungkan keniatanku untuk menikahkan putriku dengan orang ini, itu karena kebenaran yang telah kau sampaikan padaku. Dan aku berterima kasih untuk itu."

Mendengar jawaban itu, mbah Kiyahi menurunkan kursi yang tengah diangkatnya. Beliau kembali duduk dengan raut wajah yang terlihat sedikit lega. Lalu, dengan menggerakkan tangan, mbah Kiyahi memberi isyarat pada Paman untuk melanjutkan perkataannya.

"Baiklah Kiyahi! Aku akan kembali ke alamku dan melanjutkan tugasku di pesantren 'Tikungan Indah'. Tapi aku masih berharap pada saudaramu ini mau membantu perjuanganku di pesantrenku, meskipun bukan sebagai menantuku. Jadi, setiap saat dia bisa datang dan pulang tanpa harus tinggal di alam bangsa jin."

"Kalau masalah itu, nanti bisa aku bicarakan dengan saudaraku ini. Yang penting dan harus disadari adalah kita harus tetap saling menghormati dan menghargai hak dan kewajibank kita masing-masing. Baik kau sebagai bangsa jin dan aku sebagai manusia, memiliki tugas yang sama pada Tuhan Yang Maha Esa yakni beribadah kepada-Nya."

"Iya, Kiyahi. Terima kasih telah mengingatkan dan ... maafkan atas kekhilapanku. Aku pamit dulu. Assalamualaikum warahmatullah."

"Waalaikumussalam warahmatullah wabarakaatuh."

Setelah itu, mata Paman terpejam. Sesaat kemudian Paman tersadar dan membuka mata perlahan.
Bibi segera mendekati Paman dan merangkul tubuh paman dengan tangisan kebahagiaan.

"Alkhamdulillah, njenengan sudah sadar Kang. Terima kasih mbah Kiyahi. Untuk yang kesekian kalinya njenengan sudah menyelamatkan suamiku."

"Iya, Ndok. Sama-sama. Sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk saling tolong-menolong antar sesama."

"Iya, Mbah Kiyahi." Jawab Bibi sambil terus memeluk tubuh paman yang masih terlihat lemah. Dengan perlahan , Bibi menurunkan kaki Paman yang sedari tadi bersila.
Terdengar rintihan kecil dari mulut paman saat kakinya di turunkan.

Bersamaan dengan itu, Mbah Kiyahi berdiri berdiri dan pamit.

"Kalau begitu aku pamit dulu. Aku takut nanti mbahmu wedok nggoleki, karena tadi aku gak sempat pamitan.
Semoga kita semua bisa mengambil hikmah baik dari semua kejadian ini."

Aku dan Bibi mengamini apa yang disampaikan mbah Kiyahi.
Yah, ... memang begitulah kehidupan. Seringkali kita harus menjalani apa yang tak pernah kita rencanakan dan kita inginkan. Karena pada hakikatnya, kita hanya bisa berencana dan berusaha dengan tak lupa selalu bedoa. Namun, Allah juga yang berhak menentukan segalanya.

*** TAMAT ***

Koirul Anam
Serutim Kobi 21 Maret 2019

Di tulis untuk Kaskus dan untuk mengikuti clue dari group Pena Friends.
Diubah oleh abahekhubytsany 21-03-2019 07:26
pulaukapok
pulaukapok memberi reputasi
10
3K
31
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.