Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

UpstartFhaGladAvatar border
TS
UpstartFhaGlad
Golput semenjak punya KTP sampai sekarang
Banyak orang bersemangat membahas soal politik kemudian bertanya kepada saya akan memilih siapa, saya ini hidup 30 tahun golput, belum pernah ikut pemilu, foto profil sudah cukup menjelaskan kenapa saya golput. Tidak bisa membaca pesan di foto profil saya? Oke saya bantu, saya jelaskan sesuai pola pikir saya pada saat itu maupun pola pikir saya saat ini mengapa saya selalu memilih untuk golput. Bukan karena saya tidak memiliki rasa nasionalisme, rasa itu tetap ada bahkan saya memiliki harapan kepada negara tercinta ini. Saat memiliki KTP berarti saya sudah memiliki hak untuk menyumbangkan suara, bahkan saat itu saya sudah membayangkan bagaimana rasanya menyumbangkan suara.

1. Pemilu 2009

Kemudian rasa prihatin saya muncul, rasa prihatin saya muncul hanya karena melihat kebanyakan orang selalu lupa dengan kebaikan orang lain, ya walaupun orang yang berbuat baik tersebut tidak mengharapkan balasan dalam bentuk apapun termasuk ucapan terima kasih. Kemudian rasa prihatin saya berkembang ketika saya mengetahui pada akhirnya tidak ada pemimpin indonesia yang dipandang baik, semuanya berakhir dengan cibiran bahkan ada yang dilupakan, sirna dalam sekejab seolah-olah pemimpin tersebut tidak melakukan hal baik dalam bentuk apapun selama menjabat. Sama hal nya ketika sedikit membuat kesalahan kemudian 100% kepercayaan itu hilang, berarti memang sebenarnya dari awal tidak dipercaya atau lebih tepatnya hanya dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan, jika sudah tidak butuh? Saya tidak mau menjadi bagian dari itu.

Sebagian orang (lebih tepatnya kebanyakan orang) menganggap proses itu tidak penting, mereka hanya melihat hasil, apa yang mereka mau harus dikabulkan, padahal yang namanya proses itu tidak mengenal waktu, banyak hal yang terjadi dalam sebuah proses menuju sebuah hasil, ketika tercapai akan muncul keinginan yang lainnya. Hal tersebut membuat saya mengurungkan niat untuk menyumbangkan suara pada tahun 2009 yang seharusnya menjadi sumbangan suara pertama saya untuk negara ini. Saya tidak mau rasa ketidakpuasan atau kecewa muncul dalam diri saya, karena pada saat itu memang kehidupan pribadi saya sudah penuh dengan rasa ketidakpuasan dan kekecewaan, hehe.

2. Pemilu 2014

Saya merasa tidak perlu memilih, cukup harapan melalui doa saja yang perlu saya sumbangkan. Pemilu itu menurut saya lebih mirip dengan orang yang memiliki keinginan kemudian berdoa, bisa dikabulkan sesuai dengan isi doanya, bisa juga dikabulkan dengan cara yang lain misalkan hidupnya dipermudah ataupun semacamnya, belajarlah untuk melihatnya. Kata orang janji itu adalah hutang, tapi ketika ada orang yang berjanji kepada saya kemudian tidak bisa menepati janjinya, saya "fine-fine" saja ketika orang tersebut bisa melakukan hal lain dan hal tersebut berdampak positif kepada saya, lunas dan tidak perlu ada rasa kecewa maupun baku hantam. Bahkan perlakuanNYA terhadap makhluk ciptaannya juga seperti itu bukan?

Saat itu, menurut saya pemilu lebih ke ideologis, bahkan menurut saya nasionalisme muncul dari personal ideology, ketakutan perpecahan suatu kesatuan pun menghasilkan ideologi bangsa yaitu pancasila. Pemilu adalah pilihan masing-masing orang, orang pun memiliki pilihan yang seharusnya tidak bisa dipaksakan, gus dur : "Buat apa repot-repot datang ke TPS kalau tidak ada yang bisa dipercaya, malah nanti kecewa". Dan bagi saya yang golput ini, memilih dalam hal pemilu ini seperti "keluar dari sarang buaya, masuk ke sarang serigala", berbahaya kemudian mencari bahaya yang lain, bukan keluar dari sebuah bahaya. Memilih atau tidak memilih adalah sebuah hak, dan dalam hal pemilu salah memilih sama hal nya dengan melahirkan bandit demokrasi. Ingat, kita yang memilih kemudian harapan kita berada di meja kerja mereka dengan segala ABCDE nya.

Padi ditanam rumput ikut tumbuh, rumput ditanam belum tentu ada padi yang tumbuh. Saat itu ABCDE yang saya lihat adalah masalah korupsi, alam dan urusan publik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, infrastruktur, kenyamanan, dan sebagainya. Salah memilih berarti gunung dibedah demi tambang, hutan-hutan digunduli dan dialihfungsikan menjadi area industri pertambangan, kampung-kampung distempel kumuh dan tak layak huni lalu digusur demi berdirinya jalan tol, hotel, pusat perbelanjaan, bandara, pabrik, dan sebagainya. Silakan ditambahkan sendiri persoalan publik lainnya jika masih ada. Pilihan kita benar? Bukan berarti tidak ada keburukan, kembali baca kalimat pertama di paragraf ini. Pemikiran tersebutlah yang membuat saya tidak menyumbangkan suara saya pada tahun 2014.

3. Pemilu 2019

Ketika melihat debat yang pertama maupun debat yang kedua, kedua kandidat adalah kandidat yang seragam. Walaupun terlihat mana yang lebih unggul tetap saja keduanya dimata saya selalu berusaha lihai dalam menyusun, memoles, dan menawarkan visi-misi juga program kerja. Para kandidat juga sama-sama disokong partai politik yang meskipun beda partai tapi wujud aslinya mirip.

Saya tidak mengetahui siapa pemodal politiknya dan apa konsesi yang bakal diberikan kepada si pemodal politik ketika seorang calon terpilih? Menurut saya mungkin kemudahan perizinan, kemudahan akses menjabat di pemerintahan, kemudahan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, keamanan dalam menjalankan bisnis, dll. Loh kok jadi begini? Rakyat yang mengangkatnya dengan memberikan suara hanya mendapatkan klepretannya (istilah jawa). Klepretan tersebut berasal dari elite negara untuk menghasilkan "ekonomi negara" yang lebih baik. Contohnya, seperti tol dibangun kemudian warga mendapatkan klepretan seperti mendapatkan akses jalan dikampung yang lebih baik dari sebelumnya, slogan membantu perekonomian rakyat kemudian mereka menjadi pengepul dan mengharuskan kita menjual hasil kepada mereka dengan harga yang mereka tentukan/yakinkan, secara langsung maupun tidak langsung mendidik dan memberitahu penjual adanya marketplace online kemudian dikenakan pajak.

Oke, kenapa saya tidak mengikuti suara sesuai dengan anjuran orang yang lebih mengerti? Saya tau, ada yang memilih karena ikut suara sesepuh, ulama, kiai, pendeta atau katakanlah pemimpin agama. Apa bisa jadi jaminan? Belum tentu. Toh, kandidat yang saling baku hantam pun sama-sama didukung pemimpin agama. Misalnya, satunya mengaku dapat restu dari poros ulama, satunya mengaku memperoleh dorongan dari ulama yang mendapatkan restu langit, satunya lagi mendeklarasikan telah mengantongi tanda tangan para pewaris nabi. Jadi sebenarnya keduanya sama? Tidak, tahanan politik yang berada dipenjara pun saya yakin dulunya juga didukung para ulama, ketika pemilihan juga direstui bahkan dibantu oleh para tokoh agama. Namanya adalah ijtihad, dan ijtihad itu bisa keliru, tapi bisa juga tepat.

Saya golput, kalau ditanya soal pilihan sebenarnya saya memiliki pilihan walaupun hanya sebatas berandai-andai. Saya juga mengikuti alur baku hantam yang akhirnya saya ikut mengomentari dan mengkritik sama hal nya dengan orang yang menyumbangkan suaranya di TPS, hingga saat ini belum ada yang berhasil membuat saya tertarik untuk menyumbangkan suara. Suatu saat, saya akan menyumbangkan suara, lebih tepatnya bukan disebut sumbangan suara tetapi lebih layak untuk disebut sumbangan ucapan terima kasih banyak karena telah memimpin dan membawa negara ini menjadi lebih baik, kapan? Tidak tau.
Polling
0 suara
Ente golput apa gak gan?
0
1.2K
4
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.9KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.