Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Pro-kontra sikap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Pro-kontra sikap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Foto ilustrasi kekerasan seksual
Sebuah petisi online yang menentang pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU) PKS menjadi polemik di masyarakat.

Petisi yang muncul di laman change.org sejak 27 Januari 2019 itu sudah nyaris mengumpulkan seluruh target 150.000 tanda tangan.

Mereka yang menandatangani petisi sepakat menyatakan bahwa RUU PKS adalah bentuk lain dari pengesahan “zina”, merujuk pada klausul “hubungan seksual suka sama suka, walau di luar pernikahan, diperbolehkan”.

Petisi berikut klausul tersebut sontak menjadi ramai di masyarakat. Perdebatan muncul.

Padahal, pada awalnya RUU ini mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat karena diyakini sebagai jalan keluar dari momok pidana terhadap kekerasan seksual yang dinilai tak pernah berimbang.

“Korban rudapaksaan akan terlindungi karena sekalipun pelaku mengatakan suka sama suka, tidak membuatnya lepas dari jeratan pidana. Sebagai tambahan, RUU PKS tidak mengatur perzinaan karena sudah ada dalam KUHP,” sebut petisi tandingan yang digagas pendukung penyintas kekerasan seksual, Lentera Indonesia.

Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3) menegaskan, RUU ini bermula dari gagasan masyarakat—khususnya penyintas kekerasan seksual—dan akhirnya berhasil masuk sebagai salah satu Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Munculnya penolakan terhadap RUU ini justru hanya akan melukai korban kekerasan seksual. “RUU PKS lahir dari pengalaman korban yang mengalami penderitaan berkepanjangan tanpa mendapatkan keadilan dan pemulihan karena belum ada payung hukum bagi kasusnya,” ucap Ratna Batara Munti, Koordinator JKP3 dalam laporan tempo.co, Rabu (6/2/2019).

Di samping itu, Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan pemahaman tentang RUU PKS yang banyak beredar di masyarakat luas banyak yang berbalut kebohongan atau hoaks.

Berita bohong itu berbalut pesan-pesan sistematis yang menyatakan bahwa RUU ini melegalkan perzinahan atau seks bebas.

Ada juga hoaks yang beredar seputar orang tua dapat dipidanakan apabila memaksa anaknya memakai jilbab. Perihal ini yang kemudian membuat sikap pro-kontra RUU ini semakin tajam di masyarakat.

“Ada sekelompok orang menyebarkan berita bohong karena yang disampaikan tidak ada dalam RUU,” tegas Ketua Komnas Perempuan Azriana.

Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menduga, pola situasi politik memengaruhi kecenderungan masyarakat untuk menyimpulkan substansi RUU PKS dan lebih mudah untuk dihasut.

“Tiba-tiba karena sibuk pilpres, habis debat capres, tiba-tiba hanya dalam tiga hari itu penolakan tersebar cepat. Bahkan, sebelum ada petisi itu sudah tersebar cepat,” kata Mariana dalam AntaraNews.

Sebab pada Desember 2018, saat dilakukan gerak bersama untuk DPR RI membahas RUU itu, tidak banyak reaksi yang muncul. Begitu pula ketika DPR dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sepakat untuk melakukan pembahasan RUU ini, awal Januari 2019.

“Di saat pilpres, tentu saja efektif untuk memainkan bola panas itu masyarakat,” sambung Mariana.

Secara substansi, ada lima isu penting dalam RUU PKS yang luput dari diskursus yang berkembang di masyarakat. Pertama, RUU ini mengisi kekosongan hukum terkait bentuk-bentuk kekerasan seksual yang selama ini tidak diakui.

Ada sembilan bentuk kekerasan seksual yang dimaksud dalam RUU tersebut, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, rudapaksaan, pemaksaan perkimpoian, pemaksaan pramuriaan, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Kedua, RUU PKS memuat prosedur hukum termasuk sistem pembuktian yang sensitif dan memperhitungkan pengalaman korban. Ketiga, RUU PKS mengatur penanganan hukum yang terpadu dan terintegrasi dengan semua layanan bagi korban.

Keempat, RUU PKS mengakui dan mengedepankan hak-hak korban serta menekankan kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak korban.

Kelima, RUU ini menekankan perubahan kultur masyarakat dalam memandang kekerasan seksual dengan membangun kesadaran masyarakat untuk mencegahnya melalui pendidikan, kebudayaan sosial, ekonomi, dan politik.

Terkait peredaran hoaks itu, Komnas Perempuan menyarankan DPR sebagai penginisiasi RUU PKS untuk membuka ruang dialog untuk pihak yang tidak setuju agar tidak terjadi kesalahpahaman substansi.

"Kami melihat mungkin kelompok yang menolak ingin diajak dialog, ya kami ajak dialog," tutur Azriana.

Terkait peredaran hoaks, Komnas Perempuan menyarankan DPR sebagai penginisiasi RUU PKS membuka ruang dialog untuk pihak yang tidak setuju agar tidak terjadi kesalahpahaman substansi.

Sepanjang 2013-2017, Komnas Perempuan menerima laporan 28.019 kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak-anak yang terjadi di ranah pribadi atau personal maupun komunitas/publik.

Perinciannya adalah 15.068 kasus kekerasan seksual di dalam rumah tangga dan 12.951 kasus kekerasan seksual di ranah komunitas.
Pro-kontra sikap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual


Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...erasan-seksual

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Pro-kontra sikap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Aplikasi order makanan ubah perilaku konsumen Indonesia

- Pro-kontra sikap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual KPK versus Pemprov Papua

- Pro-kontra sikap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Keluhan petani tebu, dari mesin tua hingga banjir impor gula

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
688
1
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread739Anggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.