Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

shochateyoAvatar border
TS
shochateyo
Detective Fibonacci's "Patung Bernyawa"
Detective Fibonacci's "Patung Bernyawa"

https://my.w.tt/RnvX7h9WVT

Buku ke 2 Detective Fibonacci's menceritakan tentang "Patung Bernyawa" yang ada dikantor kepala sekolah.

"Saya menduga patung itulah yang membunuh Pak Efrin Hasra...! Patung itu bergerak, jelas bergerak... Tidak ada yang memungkiri kata kata ku ini." -Mahmud (penjaga sekolah)

"Saya rasa Pak Efrin dibunuh oleh patung itu...!" Sambil menunjuk objek tanpa pandangan melihat kepadanya. Pernah aku melihat patung itu menari nari sendiri... uuuh jadi merinding kalau ingat itu...!" -Nanda (penjaga sekolah)

Itulah 2 pengakuan dari beberapa pengakuan yang ada.

Bagaimana Fibonacci bersaudara memecahkan kasus ini...?!"

Ikuti aksi Detective Fibonacci's dalam memecahkan misteri "Patung Bernyawa".


Misteri Patung Bernyawa.


>Sudut Pandang Sang Pemuda<

Ini adalah kasus ke 2 dari 9+2 kasus yang dirangkum dalam satu file bertajuk "Hesa&Heca". Tertulis dengan jelas "Kasus Tahun 2018".

Mengapa 9+2..?

Oh, itu karena 2 kasus ternyata tak bermakna (tak dianggap) special dimata Hesa Fibonacci, akan tetapi bermakna special dimata Heca Fibonacci. Rangkuman kasus diurutkan berdasarkan kasus yang paling mudah (biasa) sampai kepada kasus yang paling sulit (rumit).

Mengapa dari kasus yang paling mudah...?

Menurut Heca, Ia merangkum kasus yang paling mudah (biasa), sampai kepada kasus yang paling sulit (rumit) dikarenakan di dua kasus yang paling rendah itu, dia menemukan orang yang sulit ditebak, dan sulit dimengerti, serta sulit dipahami. "Sepertinya Aku tersindir, dipernyataan ini."

Sebagai Contoh "Jeritan Tanpa Asal", kasus yang membuat Booming nama Fibonacci Bersaudara 4th silam, berada diurutan ke 5. Sedangkan "Palu dan Arit yang Tercecer", berada diurutan 1.

Tapi bagaimana pun semua kembali kepada hak Hesa dan Heca untuk menentukan, yang mana didahulukan.

Dari 11 kasus yang dirangkum, Aku baru mengerti bahwa apapun jenis kejahatannya, pasti meninggalkan jejak. "Sudahkah membaca tentang 'Palu dan Arit yang Tercecer?', Bila ternyata belum, maka sudah selayaknya kalian membacanya terlebih dahulu. Intuisimu akan terasah, naluri kepekaanmu akan bertambah, dan setiap fakta yang terungkap, akan melekatkan pemikiranmu atas kepraktisan teori-teori Heca, serta Kecemerlangan metode-metode Hesa. Dan kurasa setiap kasus memiliki tingkat kesulitannya masing-masing.

Kasus yang akan dipublikasikan kali ini, berjudul "Misteri Patung Bernyawa". Aku 'dipaksa' untuk menuliskan cerita ini, menurut sudut pandangku dan mungkin karena aku terlibat didalam cerita ini.

1 bulan yang lalu, tepatnya tanggal 2 Desember 2018. Heca menelponku, dan membeberkan duduk perkara sebenarnya dari kasus itu. Sebelumnya, aku berfikir kasus ini adalah kasus yang terlalu mudah untuk diserap oleh imajinasi, orang awam sekalipun. Kasus yang tidak mengejutkan dan jauh dari irasional. Bayangkan saja, masyarakat yang menonton televisi ataupun membaca disurat kabar, pastilah menyatakan bunuh diri, termasuk aku juga merasa demikian. Keganjilan terungkap dari 2 saksi, tak bisa mengubah paradigma masyarakat. Maklum saja, mediapun menggiring opini bahwa kasus ini sah bunuh diri. Aku awalnya menilai, bahwa kasus ini hanyalah kasus yang kemudian akan tenggelam, dan menghilang dengan sendirinya. Pemikiranku ini berdasar kepada penyidikan dari pihak yang berwajib, yang menyatakan kasus ini 'Murni Bunuh Diri", karena tidak ditemukan kejanggalan, baik dari otopsi, maupun sidik jari dan sebagainya. Seperti kasus Korupsi yang melibatkan beberapa nama besar di Republik ini, terasa tak ada bukti, maka bebas dari segala tuduhan.

Tapi setelah mendengar keterangan dari Heca. Barulah aku menyadari bahwa setipis dan secuil apapun, kesaksian tak boleh diabaikan. Adalah kesaksian dari 2 orang penjaga sekolah, memang begitu kabur dan tak jelas, akan tetap perlu pengembangan dalam hal penyidikan untuk mencari kebenarannya. Itulah hebatnya pemikiran dari Fibonacci bersaudara.

Baiklah, sekarang aku akan menceritakan kejadian itu sesuai dengan sudut pandangku. Maafkanlah bila ternyata banyak ditemukan kekurangan didalam penulisanku ini. Karena, jujur aku belum banyak kosakata, tapi akan aku coba sebaik mungkin.

Ketika kasus ini diterima, Hesa Fibonacci berada di Aussie untuk liburan bersama teman kuliahnya. Beberapa dari mereka adalah Dewi Nofi Yurika, sekarang kita panggil saja "Dewi". Dan Bethi Rosalita Fachril, terbiasa Hesa memanggilnya "Tata", serta teman terbaik Hesa yaitu "Deni", nama lengkapnya Deni Muhasia. Sedangkan Heca Fibonacci masih asyik membaca novel "If Only You've Still Need Me..." Dan Aku pun masih sibuk dengan kegemaranku membaca novel Sherlock Holmes.

Sepucuk surat diterima Adriani Bayer (Ibu Fibonacci Bersaudara). Surat yang tertulis untuk Detective Fibonacci. Surat berlabel surat kilat 'sangat rahasia'. Surat dari pengirim... 'SD KARTIKA II-2'.

Surat inilah yang ditunjukkan Heca dan dibacakannya untukku. Aku sengaja menyuruhnya membacakan untukku, karena aku ingin melihat bagaimana seorang detective membaca, apakah sama dengan orang biasa. -Hahaha, tentulah sama, toh detective juga manusia.-

Inilah isi surat yang dibacakan Heca kepadaku:

Palembang, 2 Desember 2018
Teruntuk Detective Fibonacci Bersaudara,

Kejadian aneh terjadi lagi di SD kami, tempatnya sama persis dengan tempat dimana Pak Efrin ditemukan tak bernyawa. Waktu kematian Pak Efrin, 2 Petugas penjaga sekolah memberikan kesaksian yang kami tolak mentah-mentah, karena masalah tahayul, klenik, hantu dan apapun itu, bagi kami tak ubahnya dongeng untuk menakut nakuti anak kecil saja. Apalagi memang semua guru disini tahu bahwa, Pak Efrin adalah guru yang memang pemurung dan tertutup, jadi kesimpulan kami adalah bisa jadi memang bunuh diri karena depresi.

Tapi hari ini kami kembali dihadapkan dengan temuan mayat, Deden Sunarya. Ia adalah guru yang sering mengajak bicara Pak Efrin. Ia lelaki yang aktif, supel dan berwawasan tinggi, jadi kami tak percaya bila Ia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Sekarang, kami guru-guru mulai khawatir akan keselamatan kami. Dan jelas menimbulkan kegelisahan dan praduga-praduga, jangan-jangan memang berhubungan dengan 'hantu'.

Kami memohon kepada Detective untuk datang dan melihat jelas kasus ini. Ketika surat ini kami tuliskan, pihak keamanan belum hadir.

Salam dari kami yang mengharap dengan sangat, agar Detective bisa meluangkan waktu padatnya untuk datang dan menyelesaikan kasus ini. Kami tidak merasa tenang jika Detective belum menyimpulkan kasus ini.

Tertanda
Kepala Sekolah
Jimmy Adrian, S.Pd

Aku diminta Heca untuk menemaninya ke TKP. -awalnya aku tidak mau, karena aku bukanlah detective, jadi tidak ada sangkut pautnya dengan aku. Tapi ia memohon kepadaku, jadi baiklah aku turuti apa maunya-. Tapi kali ini pergi bukan menggunakan motorku, tetapi menggunakan mobilnya, dan ia yang menyetir. -aku tidak bisa nyetir-.

Sebelum berangkat ke TKP, aku menyempatkan diri untuk meminum kopi yang dibuatkan Hesa. Kopi manis, yang manisnya terasa sampai-sampai indera pengecap tak bisa membedakan rasa lain, kecuali hanya satu rasa, yaitu rasa manis saja. Bukan tak berterima kasih, tapi ini bisa disebut teori penyiksaan namanya. Orang yang anti gula -sedikit anti gula, karena takut diabetes- disuguhkan minuman mengandung gula yang banyak. Apa tidak dianggap menyiksa...?!

Oh, iya. Tadinya kubayangkan Hesa akan bergegas ke TKP dengan ngebut dijalanan, meng-klakson kendaraan lain untuk menepi, seperti mobil ambulance yang sedang membawa pasien gawat darurat. Tapi, pikiranku ternyata salah. Hesa masih sempat membuatkanku kopi dan menyiapkanku sepotong roti panggang dengan parutan keju dan selai coklat serta lumeran susu. Ia pun kini masih menyempatkan diri berlama lama dikamarnya. Entah mengerjakan apa...?

Terkadang aku berpikir, Hesa lebih pantas menjadi Ibu rumah tangga yang hanya menyibukkan diri dirumah, menunggu sang suami pulang kantor, melayani keperluan suami dan anak, bercengkrama sambil menonton televisi dan lainnya. Jiwa detective-nya tidaklah sesuai dengan ekspektasi-ku yang biasa membaca kisah Sherlock Holmes yang Jenius, ataupun Hercule Poirot yang sedikit dibawah Holmes.

Lamunan singkatku tersadar. Heca telah berdiri dihadapanku. Dengan tampilan terkesan formal dan professional namun terlihat santai. Ia menguraikan rambutnya dengan gaya Bohemians Waves, memakai jam tangan Cartier La Dona ditangan kanannya, perpaduan blouse dan skinny pants serta bagian alas kaki memakai ankle strap pumps, menjadikan dirinya terlihat feminin, ceria dan pekerja keras yang profesional.

"Ayo, ikut ke kamar kakakku...! Kau akan ku make-over. katanya sembari mencoba menggapai lengan tanganku, yang berhasil aku jauhkan dari tangkapan tangannya.

"Aku tak akan ikut denganmu, jika kau mau mengatur gaya ku berpakaian,Ca.!"

"Ayolah...?! sebentar saja...!" Aku melihat raut harap diwajahnya. Namun aku tetap tak mengindahkan kata-katanya. Bagiku inilah aku. Egois...? Mungkin demikian yang terpikir dari sudut pandang orang, yang tak kenal diriku dengan baik.

"Tidak!." Kataku dengan tegas. "Jika kau masih memaksa..." kata-kataku terputus. Sorot mata Heca memandangku dengan pandangan yang tak bisa aku rincikan. Namun intinya sorot mata terpesona. -itu menurutku.-

Heca tak menganggap kata-kataku. Ia hanya diam dan berlalu. Melangkah menaiki anak tangga dan sampai kekamar kakaknya. Aku mengetahui itu karena setelah ia turun, ia langsung menyodorkan Mastermind Japan Biker Jacket yang harganya berkisar 178 jutaan. -Aku mengetahui jenis jaket serta harganya setelah browsing di google.-

"Paling tidak, kau tak akan menolak memakai jaket ini, kan...?!" Katanya kepadaku.

Aku menyambut jaket itu dan bersegera memakai, tanpa menyatukan resletingnya. Sedikitpun tak terlihat bahwa dia adalah seorang detective. Lihatlah wajahnya yang putih bersih, tak layak rasanya bila harus berhadapan dengan tindak kriminalitas, apalagi harus mengungkap sebuah kejahatan.

Sebenarnya setelah misteri 'Palu dan Arit yang Tercecer', aku semakin akrab dengan keluarga Fibonacci, khususnya dengan Hesa, kakak dari Heca. Aku beberapa kali melihat metode-metodenya, yang Ia tulis dan gambar dibuku yang tebalnya 6 cm, dan sampai saat ini pun, penjelasan darinya atas metode-metode yang kutanyakan, tak jua melekat sedikitpun diotakku. Terlalu banyak rumus. Terlalu banyak diagram. Dan pastinya rumus fibonacci. Sungguh berat untuk orang sepertiku, dan sepertinya butuh 50 tahun untuk menguasainya. Hampir tiap malam, aku harus pulang diatas jam 12, tertidur karena kelelahan berpikir. Pernah suatu hari, aku dibiarkan tidur pulas dan baru terbangun jam 05:45 pagi, dengan hilangan 'omelet telur' beserta lauk pauk, nasi dan tak lupa secangkir kopi hangat sudah tersedia diatas meja kerja Hesa. Hesa mengatakan bahwa itu spesial dibuat Heca untukku, dengan sepenuh hatinya. Terlalu berat lelucon itu untukku terima.

"Halo... Kak." ponsel berbunyi dan kini diangkat olehnya. Suara terdengar sayup-sayup dari sang penelepon. Mereka bercerita panjang lebar, bersahut menyahubat dan berbalas balasan kata bergantian. Celoteh ringan dan guyonan terlontar sesekali. Terkadang kalimat sayang dan kangen terdengar lepas begitu saja. Wajah cerah nan ceria, berhimpun dengan cengiran manja terlihat diraut Heca, dan begitu pulalah yang terasa ditutur kata sipenelepon.

"Nanti aku ceritain, kak. Panjang ceritanya... " ia tersenyum dan melirik kepadaku. "sudah... sudahlah kak, nanti yang bersangkutan dengeeer, nanti wajahnya berubah jadi ganaaas. Nanti dianya makan aku... Udah ya kak, nanti aku kirim filenya melalui email aja..." ia memutus sambungan telepon dari kakaknya.

Ia berpindah duduk dari sofa depan televisi, dan sekarang berada disampingku. Ia bertingkah aneh, senyum sumbringan, khas anak kecil ketika diberi permen. Gurat wajahnya ceria. Ekspresi bahagia nampak jelas terlihat. "Kamu ngga denger apa-apa, kan...? Katanya.

Aku hanya tersenyum kecil tanpa paham apa yang dimaksudkannya. Ku tanyakan padanya prihal isi telepon dari kakaknya itu. Ia pun nyerocot menjadi jadi menceritakan semua yang ia bicarakan dengan kakaknya. Bagaikan seorang dosen yang killer, tak memberi kesempatan mahasiswanya untuk menjeda ucapannya, apalagi mendikte setiap kesalahannya, Namun sepertinya tak semua diceritakan padaku, karena tak ada tentangku disebut. Padahal aku mengetahui dengan pasti, bahwa sayup terdengar bahwa Hesa mengolok-olok adiknya, dengan mengaitkan diriku.

"Oke... berarti Hesa kemungkinan besok siang sudah sampai. Berarti tugasku berakhir dong...?! Kataku dengan santai.

Raut muka ceria itu, kini berganti gumpalan rasa kesal dan kecewa. Sorot mata yang sedari tadi memandang  dengan suka, berubah tatapan sayu nan tak rela.-ini menurutku, karena jika nanti Heca membaca tulisan menurut sudut pandangku ini dan meralat, akupun tak bisa menghalanginya. Toh... dia yang lebih tahu tentang sikapnya kala itu.-

"Hesa berharap banget kamu juga ikut terlibat. Dia pesan gitu sama aku, ditelepon tadi. Kalau ngga percaya...? niih telpon aja...! Ucapnya sembari menyodorkan ponselnya kepadaku. Ia terus meyakinkanku bahwa perkataannya benar.

"kamukan sedang libur... jadi bisalah bantu kami. Kalau ngga mau...?! aaah pastilah mau!. Kamukan tahu bahwa ini menyangkut nyawa orang. Ngga mungkin dong kamu ngga ada empati... iyaa, kan?! Aku janji deh cuma 3 hari aja... kalau lewat dari hari minggu, aku ngga akan tahan kamu deeh. Lagian kamu senin ini kan udah ngga libur lagi."

Angin apa yang masuk ke otakku, sehingga tanpa sadar aku mengangguk. Ia seolah mendapat jackpot, dari anggukan kepalaku. Geliat kemenangan besar terpatri dari senyum genitnya. Senyum manis itu terpancar lagi diwajahnya. Pagi ini saja, sudah puluhan kali senyumannya terlontar padaku. -Mungkin senyum inilah yang membuat Hesa tak pernah menolak apapun keinginan dari Heca.

"Habisin dulu kopi dan rotinya... kalau sudah habis kita, go." Katanya demikian.

Aku menghabisi roti yang telah dingin. Merobek dan mengunyahnya menggunakan susunan gigi yang kuat. Melumat sampai tak tersisa sedikitpun. Aku ragu untuk menyerubut kopi yang super manis ini. Rasanya sangat mencekik ditenggorokanku. Jikalau ku habiskan, mungkin saja aku terbatuk batuk atau lebih parahnya adalah memuntahkan semua isi diperutku. Bagai anak kecil yang pura-pura tak bersalah, aku bangkit dari sofa dan mengajak Heca pergi.

"Ayo... sudah selesai."

"kopinya...?! Ia membaca ekspresiku dan menjulurkan tangannya ke gagang cangkir kopi, dan menyerubut sekali tegukan saja. Aku berpikir bahwa sebentar lagi akan terjadi perang urat syaraf dari Heca kepadaku. Aggh ternyata anggapanku tak terbukti. Ia melemparkan senyum. "Lain kali kalau kemanisan jangan lihat muka ku ya...! Lain kali bilang kalau ngga suka manis." Katanya dengan senyuman hangat.

Ia melangkah ke dapur untuk mencuci cangkir kopi, dan piring dimana roti tadi ditempatkan. Seakan sudah terbiasa, pastilah demikian, karena beberapa menit saja berlalu, dan sekarang Ia sudah berada didepanku, dengan segelas air putih.

"Minumlah dulu... nanti aku bisa dimarahi Hesa, bila tak membuatmu nyaman dirumah ini. Lagiaaan, cuma ular yang makan ngga pakek minuuum, Hahahaaa. Tawanya menggema seakan puas melihat aku mematung tak berkata apa-apa.

Kuserubut air putih yang Ia berikan. Kuberikan lagi kepadanya dengan keadaan kosong kerontang. Dan kami pun melangkah kearah mobil, masuk kemobil dan melaju ringan ke TKP.

_____

Heca memarkir mobilnya 200 meter dari TKP. Aku bersikeras menyuruhnya untuk memarkir saja didalam halaman sekolah. Ia menolak, lalu bergegas turun. Ku beri pemahaman lagi kepadanya, dari segi keamanan pun, tempat mobil yang ia parkir tidaklah terjamin. Kalaupun aman, pastilah melelahkan bila seorang wanita harus berjalan kaki, 200 meter jaraknya. Ia tetap tak menerima penjelasanku. Katanya, ini adalah cara kakaknya dalam mencari bukti, karena dari tempat yang tak disangka pun, bukti bisa saja didapat. Aku menyerah, lalu mengikutinya berjalan kaki, menyusuri jalan yang dipadati kendaraan lalu lalang, maklum saja ini jalan dua arah. Tak bisa lengang disini, karena berada dipinggir jalan besar yang saling berhubungan.

Heca seolah menikmati langkahnya. Berjalan melenggang riang. Panas matahari dijam 10 pagi tak dihiraukannya. Wajah dan kulit putih bersih itu, kini mulai terlihat memerah, karena dipanggang cahaya hangat matahari. Panas saat ini seolah tak dirasakannya, bak turis dipantai yang sengaja berjemur untuk menghasilkan efek sehat pada tubuhnya. Keringat yang mengucur deras disekanya dengan sapu tangan warna hijau, yang ia bawa. -Persiapan yang matang, tampaknya sudah biasa ia lakukan.-

Aku lagi-lagi berusaha memaksanya untuk memakai topi dan jaket yang kugunakan. Aku tak tega, bagaimana bisa tega melihat wanita terpanggang didepan mataku. Terpanggang oleh sinar matahari, sedangkan aku tak bisa berbuat apa-apa. Ia selalu menolak dengan kata-kata ringan, bahwa ia sudah terbiasa bermain main dibawah terik matahari.

"Lihat mereka..." katanya sambil menunjuk kearah dua orang yang menunggu didepan pagar sekolah. "kau tau siapa mereka...?"

"orang tua murid ya...?" Jawabku. "Oh.. aku tau... itu pasti kepala sekolah dan wakilnya, mereka pasti panik karena kita belum datang. Iyakaaan, Cha...?!

Wajah yang memerah itu tersenyum lebar. Keringat diwajahnya berpadu dengan debu dari knalpot kendaraan, yang lalu lalang. Terlihat sapu tangan hijaunya menjadi basah dan dipenuhi bercak abu abu tak menentu, waktu ia menyeka keringatnya kembali. "yeee... salah dong... 2 kali salah... kok bisa siih..." di iringi tawa sekedarnya. "Itu pastilaah Pak Mahmud dan Pak Nanda, mereka penjaga sekolah yang memberi kesaksian dalam kematian pertama. Kematian Pak Efrin."

Aku kagum dengan keyakinannya yang tak tergoyahkan. Apalagi ketika ia mengatakan penilaiannya dari cara bicara 2 orang saksi tersebut. Ketika ia mengatakan bahwa Pak Mahmud adalah orang yang tinggi jangkung dan mudah panik. Mengapa bisa tahu? Dia jawab karena orang yang tinggi suka menduga duga, karena posturnya yang tinggi sehingga dia mudah panik. Ia juga menjelaskan pengakuan Pak Mahmud itu hanya dugaannya saja. Tinggi Pak Mahmud 175cm sedangkan patung yang ia lihat tingginya 135cm, ia harus menundukkan pandangannya kebawah, bila melihat patung itu. Patung itu menurutnya bergerak, dan mencoba meyakinkan dirinya maupun orang lain, dengan mengucapkan kalimat "jelas bergerak". Itu kelakuan konyol yang dimiliki orang yang dirinya mudah panik.

Dan yang membuatku lagi-lagi kagum kepadanya adalah ketika ia mengatakan Pak Nanda itu pastilah pendek dan tubuhnya gemuk. Karena terpancar dari cara dia menilai patung. Ia menunjuk patung tanpa pandangan melihat kepadanya, karena itu caranya mengendalikan ketakutannya. Dan bagi orang yang mengendalikan diri dengan menundukkan muka, bayanganlah yang dilihatnya seolah fakta yang ada.

Didepan sekolah yang berpagar geser. Terlihat dua orang pria. Seorang berbadan tambun, berkepala plontos dan tinggi berkisar 155cm. Dan satunya lagi, seorang pria jangkung, bermata menjorok keluar, berhidung mancung dengan patahan sedikit diujung hidungnya. Ia berjalan mondar mandir. Kecemasan terlihat nyata diwajahnya. Ia tak seperti lelaki tambun yang bersamanya. Lelaki tambun itu lebih tenang, dia sesekali berdiri dan selebihnya cuma duduk sembari menggerakkan penanya diatas meja. Entah apa yang ditulisnya, karena jarak kami dengannya kini berjarak sekitar 10 meter.

Tak terasa perjalanan yang dirasa begitu melelahkan dan menjenuhkan, menjadi indah dan menggembirakan. Bagaimana tidak indah, jikalau aku sekarang menyadari bahwa Heca memanglah seorang detective handal walau dengan gaya yang keibuan. Dan bagaimana tidak gembira, jikalau kini kusadari bahwa aku berteman akrab dengan dua detective yang luar biasa. Hesa dengan kejeniusan dan keberaniannya. Heca dengan ketelitiannya dan kelincahannya.

_____



Kelanjutannya di aplikasi wattpad ya. https://my.w.tt/lBbVKuKXVT
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
531
0
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.