- Beranda
- Stories from the Heart
HARIMAU
...
TS
gustinanda
HARIMAU
Selamat berbahagia agan-agan sekalian, ijinkan newbie berbagi kisah pengalaman yang dituangkan dalam bentuk cerita. Cerita ini berdasarkan pengalaman real yang ane alami ketika kecil hingga sekarang, yang mana ane merasakan adanya keanehan dari kejiwaan ane yang mungkin saja disebabkan oleh faktor-faktor mistis/supranatural yang ane alami sewaktu kecil. tidak ada niat untuk berbicara terkait sara dan menyinggung pihak manapun, karena cerita ini ane tulis murni untuk kepentingan hiburan dan sharing semata.
Enjoy gan
Enjoy gan
Spoiler for Part 1: Depersonalisasi:
PART 1: Depersonalisasi
"Pik!"
Bunyi notifikasi chat masuk dari kawan, seorang sarjana psikologi lulusan sebuah kampus besar di Depok yang punya stasiun KRL sendiri.
Dia perempuan, pintar, tapi sedikit aneh. Aku menyadari hal itu ketika ia menggunakan celana parasut jas hujan di kantor dan tak kunjung ia ganti hingga istirahat makan siang.
"Mungkin itu gejala DID kali!" Tulisnya dalam teks chat.
Jujur aku tidak mengerti akronim dalam ilmu psikologi maupun istilah-istilah gangguan mental lainnya. Karena, sebagai seorang lulusan di bidang ilmu pertanian, seumur-umur kuliah aku belum pernah mendengar ada tanaman yang terkena Schizophrenia.
Malam itu aku sedang iseng chat dengannya, berawal dari Aku yang secara random menonton video youtube mengenai jenis-jenis gangguan kejiwaan. Ya, karena dia dulunya anak psikologi, yang sudah pasti tidak mempelajari mengenai bagaimana cara berang-berang ber-reproduksi namun mempelajari ilmu terkait kejiwaan, jadinya kutanya. Kebetulan Aku juga penasaran soal hal-hal yang berbau "Kejiwaan."
"DID apaan? Gue gak paham." balasku 7,24 detik kemudian.
"DID itu kepanjangan dari Dissociative Identity Disorder, penjelasan awamnya itu kepribadian ganda. Lo kayak gitu?"
Panggil saja orang yang menulis text ini Zee.
"Anjir, Zee, gue gak separah itu. Kepribadian gue single!"
Aku memang tidak punya kepribadian ganda. Eh, mungkin pernah saat sekolah dasar. Itupun sepertinya disebabkan karena aku gemar menonton serial kartun Yu-gi-oh.
Kala itu Aku fikir, Aku memiliki sisi lain yang bisa kupanggil sewaktu-waktu untuk menukar kesadaran dan kendali terhadap diriku. Jika Aku sedang dalam kondisi normal, misalnya sedang makan, bermain layangan atau sedang berenang di selokan irigasi dekat rumah, Aku hanya akan menjadi seorang Gusti yang normal.
Namun, jika dalam kondisi dibawah tekanan, seperti mengerjakan pe-er di pagi hari 5 menit sebelum bel masuk berbunyi, mengerjakan soal ulangan matematika yang rumit tentang cara menghitung luas permukaan prisma, atau ketika berpapasan dengan anjing liar di dekat rental playstation favoritku, Aku bisa berubah menjadi "Yami" Gusti yang lebih pintar, lebih kuat dan jauh lebih keren.
Tapi tentunya itu tidak nyata, saat itu Aku hanya menganggap bahwa diriku perlu kepercayaan diri tambahan dalam menghadapi situasi sulit. Seorang bocah yang kebanyakan nonton kartun tidak berarti memiliki kepribadian ganda, bukan?
"Gue masih waras dan belum gila sampai punya kepribadian ganda atau bipolar kayak Marshanda!" Tambahku.
"Terus?" Zee membalas text-ku agak lama, mungkin karena dia sedang menonton video konyol yang tadinya ia rekomendasikan padaku untuk ditonton.
"Dari yang pernah Gue baca, kayaknya Gue mengalami depersonalisasi, perasaan dimana kehidupan kita seakan-akan mimpi atau seakan sedang menonton diri sendiri melakukan aktivitas. Ah, susah ngejelasinnya. Gampangnya gini deh, misalnya Gue power ranger, terus naik megazord, nah si megazord itu adalah tubuh Gue tapi diri gue yang sebenarnya adalah power ranger yang lagi naik di dalamnya, gitu." Aku yakin dia akan lebih bingung dengan penjelasanku yang barusan, sih.
"Anjir, kok serem sih. Lo tau gak penyebabnya apa?"
"Gak tau, eh tau. Mungkin. Cocoklogi sih."
"Hm?"
"Tapi bisa jadi cocoklogi Gue ini hal yang konyol kalo didenger sama orang jakarta."
"Okeee, 'Orang Jakarta'?"
"Iya, atau biasanya kami orang kampung sebut sebagai orang kota."
Ya, aku memang berasal dari kota kecil di daerah Banten, kemudian pada umur 18 kuliah di universitas yang bukan kota besar juga.
----
Depersonalisasi. Aku mengetahui istilah ini kalau tidak salah ketika kuliah, tepatnya pada zaman mengerjakan skripsi, lebih tepatnya lagi zaman mengerjakan skripsi yang sebenarnya malas untuk dikerjakan. Saking nganggurnya saat itu, aku jadi banyak membaca artikel dan tulisan secara random, sampai pada akhirnya mencari tahu apa yang dulu pernah aku rasakan dan bingungkan sewaktu kecil hingga saat ini.
Hidup seakan mimpi.
Bukan kata mutiara atau caption instagram, tapi benar-benar merasa hidup melayang-layang seperti mimpi. Aku seakan tidak bisa mengontrol mulutku sendiri berbicara apa, atau tanganku sedang mengambil apa. Saat terparah adalah ketika kelas 1 SMP. Kala itu aku menonton Uber Cup badminton di tivi. aku merasa pandangan mataku berkabut, tapi bukan putih, melainkan distorsi seperti semut di layar tivi.
Waktu itu aku berteriak ketika atlet bulutangkis Indonesia tidak bisa membalas smash dari Cina. Tapi aneh, aku kok seperti tidak berteriak, ya? tapi aku tahu aku tadi berteriak, bahkan sambil menggaruk kepala karena tegang, soalnya tim Indonesia bisa kalah.
Aku berteriak tapi aku tidak berencana berteriak sebelumnya. Aku menggaruk tapi aku tidak berencana menggaruk. Bahkan, aku mengambil minum di kulkas tapi aku tidak berencana mengambil minum. Saat berjalan aku tidak bisa sepenuhnya merasakan gesekan telapak kakiku dengan lantai keramik. Ada apa ini. Kenapa?
Namun, seiring waktu berjalan, semakin aku sibuk dan aktif beraktivitas, perasaan itu berangsur-angsur hilang. Mungkin hanya teralihkan. Tidak ada waktu juga memikirkannya. Tapi, jika pada suatu malam aku sulit tidur dan ingat kembali sensasinya. Kembali lagi aku mengalami perasaan semacam itu.
"Zee, mungkin lo gak akan setuju dengan pendapat gue. Tapi gue rasa mungkin aja ini ada kaitannya dengan hal mistis."
"Mistis gimana?" Kali ini dia membalas chat agak cepat. Mungkin video konyol yang ia tonton ternyata membosankan?
"Jadi gini, dulu, pas gue kelas 5 SD, yaa sekitar umur 10 tahun, gue pernah mempelajari ilmu kebatinan...."
Bersambung gan
"Pik!"
Bunyi notifikasi chat masuk dari kawan, seorang sarjana psikologi lulusan sebuah kampus besar di Depok yang punya stasiun KRL sendiri.
Dia perempuan, pintar, tapi sedikit aneh. Aku menyadari hal itu ketika ia menggunakan celana parasut jas hujan di kantor dan tak kunjung ia ganti hingga istirahat makan siang.
"Mungkin itu gejala DID kali!" Tulisnya dalam teks chat.
Jujur aku tidak mengerti akronim dalam ilmu psikologi maupun istilah-istilah gangguan mental lainnya. Karena, sebagai seorang lulusan di bidang ilmu pertanian, seumur-umur kuliah aku belum pernah mendengar ada tanaman yang terkena Schizophrenia.
Malam itu aku sedang iseng chat dengannya, berawal dari Aku yang secara random menonton video youtube mengenai jenis-jenis gangguan kejiwaan. Ya, karena dia dulunya anak psikologi, yang sudah pasti tidak mempelajari mengenai bagaimana cara berang-berang ber-reproduksi namun mempelajari ilmu terkait kejiwaan, jadinya kutanya. Kebetulan Aku juga penasaran soal hal-hal yang berbau "Kejiwaan."
"DID apaan? Gue gak paham." balasku 7,24 detik kemudian.
"DID itu kepanjangan dari Dissociative Identity Disorder, penjelasan awamnya itu kepribadian ganda. Lo kayak gitu?"
Panggil saja orang yang menulis text ini Zee.
"Anjir, Zee, gue gak separah itu. Kepribadian gue single!"
Aku memang tidak punya kepribadian ganda. Eh, mungkin pernah saat sekolah dasar. Itupun sepertinya disebabkan karena aku gemar menonton serial kartun Yu-gi-oh.
Kala itu Aku fikir, Aku memiliki sisi lain yang bisa kupanggil sewaktu-waktu untuk menukar kesadaran dan kendali terhadap diriku. Jika Aku sedang dalam kondisi normal, misalnya sedang makan, bermain layangan atau sedang berenang di selokan irigasi dekat rumah, Aku hanya akan menjadi seorang Gusti yang normal.
Namun, jika dalam kondisi dibawah tekanan, seperti mengerjakan pe-er di pagi hari 5 menit sebelum bel masuk berbunyi, mengerjakan soal ulangan matematika yang rumit tentang cara menghitung luas permukaan prisma, atau ketika berpapasan dengan anjing liar di dekat rental playstation favoritku, Aku bisa berubah menjadi "Yami" Gusti yang lebih pintar, lebih kuat dan jauh lebih keren.
Tapi tentunya itu tidak nyata, saat itu Aku hanya menganggap bahwa diriku perlu kepercayaan diri tambahan dalam menghadapi situasi sulit. Seorang bocah yang kebanyakan nonton kartun tidak berarti memiliki kepribadian ganda, bukan?
"Gue masih waras dan belum gila sampai punya kepribadian ganda atau bipolar kayak Marshanda!" Tambahku.
"Terus?" Zee membalas text-ku agak lama, mungkin karena dia sedang menonton video konyol yang tadinya ia rekomendasikan padaku untuk ditonton.
"Dari yang pernah Gue baca, kayaknya Gue mengalami depersonalisasi, perasaan dimana kehidupan kita seakan-akan mimpi atau seakan sedang menonton diri sendiri melakukan aktivitas. Ah, susah ngejelasinnya. Gampangnya gini deh, misalnya Gue power ranger, terus naik megazord, nah si megazord itu adalah tubuh Gue tapi diri gue yang sebenarnya adalah power ranger yang lagi naik di dalamnya, gitu." Aku yakin dia akan lebih bingung dengan penjelasanku yang barusan, sih.
"Anjir, kok serem sih. Lo tau gak penyebabnya apa?"
"Gak tau, eh tau. Mungkin. Cocoklogi sih."
"Hm?"
"Tapi bisa jadi cocoklogi Gue ini hal yang konyol kalo didenger sama orang jakarta."
"Okeee, 'Orang Jakarta'?"
"Iya, atau biasanya kami orang kampung sebut sebagai orang kota."
Ya, aku memang berasal dari kota kecil di daerah Banten, kemudian pada umur 18 kuliah di universitas yang bukan kota besar juga.
----
Depersonalisasi. Aku mengetahui istilah ini kalau tidak salah ketika kuliah, tepatnya pada zaman mengerjakan skripsi, lebih tepatnya lagi zaman mengerjakan skripsi yang sebenarnya malas untuk dikerjakan. Saking nganggurnya saat itu, aku jadi banyak membaca artikel dan tulisan secara random, sampai pada akhirnya mencari tahu apa yang dulu pernah aku rasakan dan bingungkan sewaktu kecil hingga saat ini.
Hidup seakan mimpi.
Bukan kata mutiara atau caption instagram, tapi benar-benar merasa hidup melayang-layang seperti mimpi. Aku seakan tidak bisa mengontrol mulutku sendiri berbicara apa, atau tanganku sedang mengambil apa. Saat terparah adalah ketika kelas 1 SMP. Kala itu aku menonton Uber Cup badminton di tivi. aku merasa pandangan mataku berkabut, tapi bukan putih, melainkan distorsi seperti semut di layar tivi.
Waktu itu aku berteriak ketika atlet bulutangkis Indonesia tidak bisa membalas smash dari Cina. Tapi aneh, aku kok seperti tidak berteriak, ya? tapi aku tahu aku tadi berteriak, bahkan sambil menggaruk kepala karena tegang, soalnya tim Indonesia bisa kalah.
Aku berteriak tapi aku tidak berencana berteriak sebelumnya. Aku menggaruk tapi aku tidak berencana menggaruk. Bahkan, aku mengambil minum di kulkas tapi aku tidak berencana mengambil minum. Saat berjalan aku tidak bisa sepenuhnya merasakan gesekan telapak kakiku dengan lantai keramik. Ada apa ini. Kenapa?
Namun, seiring waktu berjalan, semakin aku sibuk dan aktif beraktivitas, perasaan itu berangsur-angsur hilang. Mungkin hanya teralihkan. Tidak ada waktu juga memikirkannya. Tapi, jika pada suatu malam aku sulit tidur dan ingat kembali sensasinya. Kembali lagi aku mengalami perasaan semacam itu.
"Zee, mungkin lo gak akan setuju dengan pendapat gue. Tapi gue rasa mungkin aja ini ada kaitannya dengan hal mistis."
"Mistis gimana?" Kali ini dia membalas chat agak cepat. Mungkin video konyol yang ia tonton ternyata membosankan?
"Jadi gini, dulu, pas gue kelas 5 SD, yaa sekitar umur 10 tahun, gue pernah mempelajari ilmu kebatinan...."
**********
Bersambung gan
Diubah oleh gustinanda 30-01-2019 14:11
tien212700 dan anasabila memberi reputasi
2
1.2K
Kutip
8
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya