Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

AryaAfifah321Avatar border
TS
AryaAfifah321
Inner Sanctum (I), Sup Tomat Rahasia
            “Arka, kali ini kita harus melayani para pelanggan lebih baik. Ingat!! Rasa puas dari pelanggan jauh lebih berharga daripada sekedar uang atau tambahan derma yang mereka berikan,” kata-kata itu lah yang selalu terngiang di telinga Arka pagi tadi. Padahal, sudah setiap hari Arka selalu melayani para pelanggan dengan baik, meski selalu dihardik dan tertekan di bawah atmosfer dapur yang begitu menggigit.
            “Tapi Nek, bukan kah kita selalu melayani para pelanggan dengan baik? Bahkan untuk diriku, bukan saja harus berhadapan dengan superioritasmu, tetapi juga keluhan dan sindiran para pelanggan yang begitu menyakitkan telinga. Lantas, mengapa setiap malam dirimu selalu mengatakan hal ini?” tanya Arka dengan penuh ketulusan hati. Sebagai seorang manusia, adalah hal yang wajar bagi dirinya untuk aktif bertanya. Setidaknya, pemikirannya masih bisa digunakan untuk mempertanyakan segala sesuatu secara kritis.
            “Sekedar pengingat,” jawab Nenek Nyon singkat.
            “Sekedar pengingat??”
            “Ya, sekedar pengingat. Sebagai manusia, kita bisa saja melupakan beberapa hal, termasuk hal yang berharga. Nenek mengingatkanmu, berarti nenek mengingatkan diri Nenek sendiri.”
            -----------------------------------------------------------------------------------------------------
            Dengan sigap Arka berjalan di antara sesaknya ruang makan rumah makan ini. Didukung oleh bentuk tubuhnya yang lumayan kecil, dengan cekatan dia berjalan menyelinap di antara sela-sela yang ada. Para pelanggan sering tidak menyadari keberadaan dari bocah ini. Sampai-sampai tercipta rumor bahwa Nenek Nyon, sang koki, memiliki kesaktian memindahkan mangkok-mangkok sup panas secara gaib. Memang aneh dan sangat salah kaprah. Padahal, itu adalah perbuatan Arka. Di tengah-tengah keriuhan (para pelanggan suka sekali berbicara satu sama lainnya dengan suara yang besar), Arka menyelinap sembari menaruh mangkok-mangkok panas itu.
            “Nenek Nyon, segera antarkan tiga mangkok sup tomat panasnya!!! Kami sudah begitu lapar. Saya harap Nenek memahami penderitaan seorang buruh tani yang bekerja terlalu keras di tanah milik majikannya. Jadi, harap dipercepat geraknya!!!” teriak salah satu pelanggan.
            “Iya, sabar lah nak. Sebentar lagi akan segera sampai. Dan aku harap keluhanmu untuk merayuku segera diganti. Aku sudah muak mendengarkan kata-kata menyedihkan itu. Padahal, bisa jadi aku lebih menderita dibanding dirimu. Setiap hari melayani selusin lebih pelanggan nyinyir seperti kalian,” respon Nenek Nyon. Ya, sepertinya dia sudah mulai panas.
            “Hehehe, Nenek Nyon, kami harap kami memang bisa menemukan kata-kata baru.”
            Pembicaraan singkat itu, bagaimanapun juga, berhasil memancing gelak tawa dari seisi ruangan yang kira-kira menampung sekitaran 25 orangan itu. Para bangsawan, para tentara, para petani, para peternak, para cendikiawan, para petualangan dan beberapa penyamun yang menyamar, semuanya ada di ruangan itu. Saling bercampur baur, atau setidaknya berusaha bercampur baur. Para bangsawan, yang tinggal cukup jauh, hanya datang sekedar untuk mencari udara dingin, sengaja mengenakan pakaian ala-ala wong kecil agar pakaian mahalnya tidak rusak. Para tentara tetap gagah dengan pakaian besi mereka (memang seharusnya begitu), meskipun banyak di antara yang terlihat maco itu ternyata bertingkah seperti wanita.
            Sap.... sap..... sap...
            Beberapa meja yang sebelumnya kosong, sekarang telah terhidang beberapa mangkuk sup tomat panas di atasnya. Begitu juga, beberapa meja yang sebelumnya terdapat mangkuk kotor di atasnya, sekarang menghilang begitu saja. Gelak tawa yang begitu riuh itu pun menghilang. Para petani nyinyir itu saling menatap, dan sesekali mencoba menatap pelanggan lain, meski mereka berusaha mengalihkan pandangan. Kejadian aneh itu, ternyata memang terjadi. Dalam pikiran mereka, mereka mesti berkata, “Ternyata desas-desus itu benar. Nenek Nyon bisa mengendalikan sesuatu yang tidak terlihat.”
            ----------------------------------------------------------------------------------------------------
             Perbuktian di sekitar desa TarukoPedang memang menjadi daya tarik bagi para turis, yang biasanya terdiri dari golongan bangsawan atau bagi para penjelajah miskin. Udaranya yang sejuk, ditambah pemandangan hijau dari hamparan pesawahan dan padang rumpur yang luas, ditambah lagi beberapa penampakan domba yahng putih dari kejauhan, semua kombinasi itu cukup untuk membawa para kantong uang untuk datang ke daerah ini. Sektor pariwisata memang menggiurkan, entah itu karena memang eranya demikian atau karena alasan lain.
            Akan tetapi, keadaan demikian tidak selalu membawa kemakmuran yang merata bagi penduduknya. Buktinya saja, desa TarukoPedang, yang seharusnya mengalami pertumbuhan yang pesar sebagai imbas dari arus para wisatawan, justru terkesan stagnan. Para petani terus-menerus menjadi buruh tani yang menyedihkan, ataupun para peternak yang selalu berbicara dengan hewan ternaknya, padahal nanti sore ternak-ternak itu akan diborong para pedagang dengan harga yang murah.
            Sistem kasta, bagaimanapun juga, seakan-akan hadir dan berkembang di daerah ini, meski tidak terlihat secara gamblang. Secara umum, hanya ada dua kasta: orang kaya dan orang miskin. Orang-orang kaya, setidaknya, memiliki penghasilan 1000 lembar kertas negara dalam satu bulan. Berbeda dengan kaum melarat, yang rata-rata hanya menghasilkan 100 lembar kertas negara dalam waktu satu bulan, itu pun yang paling rajin dan hal yang demikian cukup jarang terjadi.
            Tempat tinggal pun “seakan-akan” dipisah berdasarkan “kasta” yang telah ada. Desa ini terbagi menjadi dua, bagian utara dan bagian selatan. Bagian utara, yang lebih dekat dengan gerbang utama selaku satu-satunya pintu masuk formal ke desa ini, dihuni oleh para kaum kaya. Rumah-rumah yang ada di sana pun, dilihat dari sudut pandang manapun, sangat mewah dan begitu bergaya. Tembok dari batu, beberapa jendela kayu dengan kaca yang begitu bening, atap rumah yang ditutupi genteng mahal, dan taman bunga pribadi yang membudidayakan beberapa tanaman langka dan mahal. Sistem drainasenya juga sangat bagus. Selokannya tidak terlalu lebar tetapi kedalamannya cukup untuk menampung air ketika musim hujan datang. Anehnya, tidak tercium bau-bauan apa pun dari selokan itu.
            Jalannya sudah dipercantik dengan susunan batako yang begitu teratur. Kuda-kuda nyaman berjalan di atasnya, apalagi manusia. Di beberapa tempat, terdapat beberapa lampu penerangan yang dihidupkan ketika senja datang menyapa. Di samping jalanan itu, terdapat tembok setinggi pinggang orang dewasa yang disusun dari susunan batu sungai yang telah dipoles sedemikian rupa. Di luar tembok itu, terdapat padang rumpur hijau yang dijaga ketinggiannya. Di beberapa malam tertentu, terlihat banyak kunang-kunang yang menari-nari di atas rerumputan hijau tersebut. Hal demikian semakin menyemarakkan keindahan bagian utara ini.
            Bagian selatan, bagaimanapun juga, terlihat jauh lebih ngenes daripada bagian utara. Perumahan kumuh; terbuat dari kayu, tidak ada taman bunga, selokan penuh lumut dan berbau tajam, atap jerami yang begitu kering, serta lobang di beberapa bagian tembok yang dianggap sebagai jendela.
            Jalannya masih tanah, tetapi tidak rapi. Terdapat banyak jalan berlubang, sering diisi air ketika musim hujan turun. Beberapa anak-anak ngenes sering menyebtu genangan itu sebagai telaga dewi. Kata mereka, dewi-dewi di kahyangan sudah bosan mandi di pemandian surgawi yang begitu mewah. Sesekali mereka turun dan mencoba pemandian unik di alam manusia. Datang lah mereka ke kubangan lumpur itu. Ketika para bidadari mandi di sana, hujan datang dengan lebat, penanda bahwa mereka tidak ingin diganggu oleh manusia. Ketika mereka merasa begitu nyaman (bidadari-bidadari itu), hujan turun semakin deras. Banjir pun datang. Tandanya para bidadari ingin menikmati waktu lebih lama di negeri itu. Sebuah kisah yang begitu memilukan. Lucunya, para tetua membenarkan pembodohan taik ini.
            Sebagai penghubung, pasar berada di tengah-tengah antara bagian utara dengan bagian selatan. Tempat ini terlihat seperti bundaran. Kasta tidak begitu berlaku di sini. Para pedagang, baik dari kalangan kaya maupun dari kalangan miskin, dibebaskan berdagang di slot tempat penjualan manapun. Akan tetapi, mereka-mereka yahng kaya sering kali berjualan di tempat-tempat yang teduh dan terkesan mewah. Barang jualannya pun juga berada di luar jangkauan orang-orang ngenes. Ada yang menjual barang antik, ada yang menjual bagian tubuh hewan, ada juga yang menjual jimat-jimat penglaris. Sementara itu, para pedagang miskin hanya menjual kebutuhan sehari-hari: beras, telur, daging ayam kalau ada dan hasil buruan dari hutan. Di tengah-tengah pasar, terdapat sebuah pancuran air (fountain) yang sering digadang-gadang sebagai simbolisasi kehidupan sosial di TarukoPedang. Sebuah kolam dengan sebuah tampungan air kecil di atas yang besar. Hal ini melambangkan ketergantungan antar kelas. Yang kaya menyebarkan kekayaan mereka kepada yang miskin. Ketiadaan salah satu menyebabkan kekacauan. Jika tidak ada si kaya, si miskin akan hidup semakin merana. Jika tidak ada si miskin, si kaya bingung mau membuang uangnya kemana.
            ---------------------------------------------------------------------------------------------------
            Hari sudah sore, para pelanggan sudah banyak yang pulang. Beberapa yang tersisa telah menghabiskan sup tomatnya dan merapikan diri dengan segera, penanda bahwa mereka memaklumi keadaan untuk segera pamit dari tempat itu. Masih banyak mangkuk kotor di atas meja, tetapi belum diambil oleh Arka karena dia masih sibuk mencuci dua tumpukan mangkuk kotor di dapur. Toh, hari sudah senja dan tidak ada lagi pelanggan yang datang. Jadi, mengapa harus buru-buru seperti tadi siang?
            “Berapa bayarannya Nek?” tanya pelanggan terakhir.
            “Apa kamu hanya memesan satu mangkuk saja, atau ada tambahan lain?” balas Nenek Nyon.
            “Ah, aku memesan dua mangkuk dan aku juga memesan segelas kopi jahe panas,” ingat pelanggan itu.
            “Semuanya cukup 11 lembar,” ucap Nenek Nyon dengan penuh keramahan kepada pelanggan terakhirnya hari ini.
            Pelanggan itu, setelah meraih uang dari dapat sakunya dan menyisihkan 11 lembaran, dia kemudian menyerahkan uang itu kepada Nenek Nyon.
            “Terima kasih,” ucap Nenek Nyon dengan sederhana.
            -----------------------------------------------------------------------------------------------------
            Suasana dapur, meski telah tutup, masih penuh dengan kesibukan. Bukan karena Nenek Nyon sedang bersiap-siap untuk memasak lagi, tetapi karena Arka yang begitu cepat membersihkan mangkuk-mangkuk tanah liat itu. Tangannya begitu cekatan meski dia seorang pria. “Arka, ketika pekerjaanmu selesai, mari kita berbincang-bincang dulu di luar,” ajak Nenek Nyon. “Baik Nek,” balas Arka singkat.
            Sementara itu, dari kejauhan, terlihat dua orang pengembara yang menutupi tubuh mereka dengan kain yang tahan dingin. Mereka berdua, tampaknya, berjalan dengan terburu-buru.
            “Apakah itu tempatnya?” tanya salah satu pengembara yang lebih pendek.
            “Tidak salah lagi, itu tempatnya!!!” jawab pengembara yang lain yang lebih tinggi.
            -------------------------------------------------------------------------------------------------------
            “Nenek, mengapa kita harus menyediakan sop tomat panas kepada orang-orang itu?? Mengapa kita tidak memikirkan pekerjaan lain yang tidak seribet ini??” tanya Arka dengan polosnya.
            “Heh?! Apa mengantarkan mangkuk-mangkuk itu, kemudian membersihkannya, adalah hal yang memberatkan bagimu? Hahaha, dasar anak muda. Lagipula, pekerjaan macam apa yang menurutmu lebih ringan bebannya?”
            “Bagaimana... hmm.... menjadi para peternak?”
            Nenek Nyon mengangkat salah satu alis matanya. Cukup aneh, seorang bocah memikirkan untuk menjadi seorang peternak. Biasanya, bagaimanapun juga, bocah-bocah dari kalangan kere lebih banyak bercita-cita menjadi antara prajurit atau menjadi pedagang. Kalaupun memang banyak diantara mereka yang harus menjadi peternak atau petani upahan, itu karena nasib tidak memihak kepada mereka.
            “Sudah lah. Cukup aneh bagi kita berdua untuk membicarakan hal ini. Lebih baik, kita nikmati saja sop tomat yang terhidang di hadapan kita masing-masing.”
            Tok... tok... tok...
            Arka, yang baru saja menyuapkan sesendok sop tomat panas ke dalam mulutnya, terperajat dan hampir memuncratkan cairan yang memenuhi mulutnya. “Eh, hal yang aneh. Siapa kira-kira yang menyapa kita pada malam hari begini?” Nenek Nyon keheranan.
            “Arka, lebih baik cepat-cepat kamu buka pintunya!!”
            Lagi-lagi, keadaan terkadang terkesan tidak memihak kepada Arka. Padahal, baru saja dia ingin menikmati semangkuk sop tomat panas yang begitu mengunggah selera. Baru satu suap, gangguan langsung datang.
            “Siapa?? Kenapa begitu malam??”
            Dasar Arka, memang kurang sopan dia kalau sedang merasa terganggu. Nenek Nyon, yang mendengar dengan jelas ketidaksopanan itu, seperti ingin mendamprat bocah itu. Tapi, untungnya Nenek Nyon masih memiliki batas, dia tidak begitu mudah terpancing.
            “Mohon maaf, mohon maaf, mohon maaf sekali lagi. Perkenankanlah kami dua orang pengembara yang sudah susah payah mencari lokasi ini. Kami datang dari tempat yang jauh. Oh, kasihanilah kami. Setelah berjalan cukup jauh, mohon kiranya beri kami kesempatan untuk mencicipi sop tomat yang terkenal itu,” pinta pengembara yang ternyata merupakan orang yang sama dengan yang bergegas datang ke tempat Nenek Nyon.
            “Eh, bagaimana? Tunggu dulu. Aku masih terlalu muda untuk memahami perkataanmu. Bisa diulangi lagi? Lebih lambat lebih dihargai. Aku juga minta belas kasihan darimu. Toh, aku tidak memahami perkataan Tuan barusan.” Arka, oh, Arka! Sungguh! Dia terlihat seperti seorang penjahat yang memintah belas kasihan kepada penegak hukum tadi.
            Nenek Nyon yang melihat hal itu, begitu terkejut sekaligus terheran-heran dengan kepolosan cucu satu-satunya. Dengan sigap, meski sudah cukup tua, nenek Nyon tiba-tiba berjalan menuju pintu. Arka masih berkeringat dingin, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
            “Eh, tuan muda? Apa maksudmu? Mengapa kau begitu kebingungan begitu?” tanya pengembara yang lebih pendek.
            “I... i... i... ini cukup a.. a... aneh. Mengapa Anda be... be... be... begitu gegapan kaya gitu? To... tolong buka kan pintu. Itu saja!” lugas pengembara yang lebih tinggi.
            “Sial!!! Tampaknya kami (berdua) sedang menghadapi keadaan yang begitu buruk,” pikir pengembara yang lebih rendah.
            Pintu kayu itu, yang sedari tadi ditatapin oleh kedua pengembara kedinginan itu, terbuka. Terlihat nenek Nyon dengan Arka yang ketakutan di belakangnya. Arka, dia kelihatan begitu pucat. Dengan erat dia memegangi neneknya itu. Keringat dingin masih berkucuran deras dari kulitnya.
            “Silahkan masuk. Maafkan kepolosan cucuku ini. Kami selalu terbuka untuk pengembara, kapanpun itu.”
            “Ah, baik, terima kasih. Maaf merepotkan.”
            Dengan demikian, akhirnya, kedua pengembara itu bisa merasakan kehangatan dari tempat perapian kedai nenek Nyon.
            “Syukurlah. Akhirnya kita merasakan kehangatan setelah beberapa lama, Kakak!” ucap pengembara yang lebih rendah.
            “Iya, pada akhirnya, kita memiliki tempat untuk berteduh.”
            ---------------------------------------------------------------------------------------------------
            50 km dari arah tenggara, terdapat banyak panji yang dibawa oleh tentara-tentara. Mereka, bagaimanapun juga, terlihat aneh dengan baju besi bewarna hitam. Apa bisa besi-besi itu menjadi hitam?? Entah lah, yang jelas mereka terlihat begitu menakutkan.
            Tombak-tombak yang dibawa barisan tentara itu, terlihat begitu menjulang seakan-akan ingin menusuk langit. Hari juga sedang mendung, gerombolan pasukan dalam jumlah besar itu terlihat begitu gelap. Ketakutan, bagaimanapun juga, begitu terasa dan menjalar ke seluruh makhluk yang berada di sepanjang jalur yang ditempuh pasukan itu.
            Tidak ada makhluk yang tersisa di sepanjang jalan, di sepanjang padang rumput yang sudah mengering ini. Bukan karena fisik mereka sudah mati, tetapi semangat mereka yang begitu terintimidasi oleh keberadaan pasukan hitam itu. Kalaupun masih ada, palingan hanya beberapa gagak yang berkoak-koak di atas pasukan itu, seakan-akan ikut meriuhkan suasana menakutkan itu.
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
574
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.