• Beranda
  • ...
  • Music
  • [REVIEW] Global Metal: Ketika Musik Menjadi Senjata Perlawanan

elpxycongrooAvatar border
TS
elpxycongroo
[REVIEW] Global Metal: Ketika Musik Menjadi Senjata Perlawanan

Sumber: Banger Films

Spoiler for Data Film:

Quote:

Sebagai seorang penikmat film sekaligus musik cadas, rasanya saya sudah cukup beruntung menemukan sebuah film dokumenter berjudul Metal: A Headbanger’s Journey. Secara garis besar, film tersebut menceritakan fakta-fakta mengenai musik heavy metal (selanjutnya metal sajal—red) sekaligus mencari tahu mengapa genre tersebut seringkali mendapat stigma negatif.

Namun, kemujuran saya ternyata tak sampai di situ: pria yang bertanggung jawab menciptakan Metal: A Headbanger’s Journey kembali dengan film dokumenter terbarunya, Global Metal. Ia adalah Sam Dunn, seorang sarjana antropologi rangkap metalhead—sebutan untuk para pecinta musik cadas.

Dari kedua film karya Dunn tersebut, entah mengapa saya lebih tertarik mengulas Global Metal daripada satunya. Alasan utama, mungkin karena dalam Global Metal turut membahas mengenai musik metal di Indonesia.

Ya, Dunn terbang ke Jakarta untuk mencari tahu mengapa para anak muda Indonesia menjadikan musik metal sebagai gerakan politik bawah tanah. Selain Indonesia, Dunn juga terbang ke beberapa negara lain yang tak disangka—ternyata—memiliki komunitas metal  yang tak sedikit jumlahnya. Negara-negara tersebut ialah Tiongkok, India, Jepang, Israel, dan Uni Emirat Arab.

Tak lupa, Dunn mengunjungi Brazil, salah satu negara dengan pecinta musik metal termasif. Brazil pun menjadi perhentian pertama Dunn dalam film tersebut. Di Negeri Samba, ia mencoba mencari tahu bagaimana kediktatoran pemerintahan dapat membuat musik metal bisa begitu tenar.

Selanjutnya, Dunn terbang ke Jepang, negara dengan masyarakat yang gila kerja serta sangat taat peraturan. Tentu, tak ada kesan cadas di Negara Matahari Terbit ini. Namun, apa yang terjadi jika semangat pemberontak ala musik metal bercampur dengan budaya Jepang? Jawaban dari pertanyaan tersebut yang dicari tahu Dunn.

Selesai di Jepang, Dunn beranjak ke India. Di negeri Bollywood, ia berfokus menelusuri fakta mengenai hubungan antara musik metal dengan keinginan anak muda di sana yang sudah muak dengan kekolotan dan mencoba terhubung dengan budaya luar.

Dunn kemudian terbang ke Tiongkok. Fakta yang paling mengejutkan saya: sebagai negara yang sangat tertutup dari budaya asing, ternyata musik metal telah berkembang cukup lama di sana. Oleh sebab itu, Dunn mencoba menelusuri bagaimana musik metal bisa tumbuh di Negara Tirai Bambu ini.

Perhentian Dunn selanjutnya adalah Indonesia. Di sini—seperti yang sudah disinggung di atas, Dunn mencoba mengulas mengenai kemiskinan dan kediktatoran Soeharto yang menyebabkan anak-anak muda Indonesia menjadikan musik metal sebagai alat gerakan politik bawah tanah. Tak lupa, Dunn turut membahas mengenai kerusuhan yang terjadi di konser Metallica pada 1993 silam. Bahkan, ia juga mencari tahu bagaimana musik metal bisa bersanding dengan agama Islam di Indonesia.

Dunn selanjutnya terbang ke Israel, negara yang ia sebut sangat identik dengan kebencian. Dunn mencoba menilik bagaimana kekacauan yang acapkali terjadi di Isreal menjadi cerminan dari karya-karya band cadas di sana. Pun, hal tersebut yang dianggap membuat musik metal mudah berkembang.

Di akhir perjalanannya, Dunn berencana mengunjungi Iran. Namun dikarenakan ketegangan yang sedang terjadi di sana, visanya ditolak. Alhasil, ia pergi ke Uni Emirat Arab dan mengunjungi Rock Desert, satu-satunya festival musik metal yang ada di Timur Tengah. Di situ, ia bertemu dengan banyak penikmat musik cadas dari berbagai negara di Timur Tengah.

Dunn kemudian menemukan fakta bahwa keotoriteran pemerintah dan konservatisme keagamaan membuat musik metal begitu terisolasi di negara-negara Timur Tengah. Hal tersebut menyebabkan musik metal memiliki stigma yang sangat negatif. Bahkan, seorang dapat ditahan polisi karena memiliki rambut gondrong atau sekedar memakai kaus dari band metal.

Perjalanan Dunn pun berakhir di Uni Emirat Arab. Namun, sebelum itu ia kembali ke India untuk melihat konser Iron Maiden, yang menjadi festival musik heavy metal besar pertama di India. Kemeriahan dan atmosfer menakjubkan dari para penonton menjadi klimaks dari film dokumentasi ini.


Sumber: Banger Films

Masih teringat, hingga beberapa detik setelah film ini berakhir, saya masih tersenyum puas mencerminkan betapa menakjubkannya film ini. Dunn—secara cerdik—dapat memilih dan mengangkat topik menarik untuk dibahas di setiap negara.

Tak pernah terpikirkan sebelumnya—setidaknya bagi saya—bagaimana hal-hal kontekstual seperti politik, budaya, dan agama dapat berpengaruh besar kepada selera musik—dalam hal ini metal. Ya, saya rasa gelar sarjana antropologi Dunn benar-benar terpakai di film ini.
Menarik rasanya melihat Dunn mewawancarai banyak pelaku musik serta penikmat musik cadas dari berbagai negara untuk mendeskripsikan fenomena musik metal di sana. Rasa kesal, bangga, maupun emosional dapat dirasakan dari setiap sesi tanya jawab tersebut. Tak lupa, Dunn juga duduk bersama para ahli untuk mendapatkan data yang lebih akurat.

Wajah-wajah yang—mungkin—sudah tak asing bagi para penikmat musik cadas ikut tampil di film ini. Sebut saja Tom Araya dari Slayer, Max Cavalera dari Sepultura, serta Bruce Dickson dan Dave Murray dari Iron Maiden.

Ya, secara keseluruhan Global Metal merupakan sebuah dokumentasi yang akurat dan mendalam. Tak hanya informatif, namun juga menghibur: disela-sela wawancara banyak ditampilkan cuplikan konser-konser dari band para band lokal maupun internasional.

Di atas itu semua, tentu yang paling istimewa dari Global Metal adalah sajian musiknya. Musik dari berbagai band metal yang muncul di hampir setiap adegan membuat kepala saya rasanya ingin terus mengangguk-angguk.

Dunn telah berhasil memperlihatkan sebuah dokumentasi yang informatif, menghibur, dan membuka mata. Bagi saya, film ini bukan sebuah film dokumenter yang secara spesifik ditujukan untuk para penikmat musik metal, namun untuk penikmat musik kesuluruhan.

Global Metal menunjukkan bagaimana berpengaruhnya musik di kehidupan seseorang. Lewat bahasa universalnya, musik tak memandang identitas, melainkan memberikan identitas. Hal tersebut membuat musik dapat beradaptasi di berbagai budaya.

Secara khusus: musik metal acapkali digunakan untuk mengekpresikan kemuakan dari sebuah budaya, ketidakpuasan dari suatu rezim pemerintahan, dan alat melawan konservatisme agama arus utama.

Lewat 93 menit dokumentasinya, Dunn berhasil membuktikan bahwa musik bisa menjadi budaya, pandangan politik, bahkan agama untuk banyak orang. Layaknya langit di atas kita, musik ada untuk semua orang.

Quote:

emoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Gan emoticon-Cendol Gan
6
6K
54
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Music
MusicKASKUS Official
19.7KThread8.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.