- Beranda
- Berita dan Politik
Fenomena Pasangan 'Dildo', Lucu-lucuan atau Bentuk Kekecewaan?
...
TS
kingdorifto
Fenomena Pasangan 'Dildo', Lucu-lucuan atau Bentuk Kekecewaan?
Quote:
Jakarta - Pasangan capres-cawapres fiktif Nurhadi-Aldo (Dildo) jadi fenomena baru di jagat media sosial Indonesia. Akunnya di berbagai platform media sosial ramai pengikut.
Sebagian besar pengikutnya merayakan posting-posting Dildo dengan satire terhadap jalannya pemilu. Pasangan ini sekadar guyonan atau bentuk kekecewaan terhadap jalannya Pilpres 2019?
Hanya dalam dua pekan setelah diluncurkan, akun Nurhadi-Aldo di Facebook telah punya lebih dari 81.000 pengikut, 18.600 di Twitter, dan 73.000 di Instagram. Angka itu terus bertambah.
Foto dan meme Nurhadi-Aldo dibagikan berulang kali di media sosial. Sebagian besar posting-an Nurhadi-Aldo di media sosial mendapat tanggapan meriah berupa ratusan komentar dan reaksi.
Akun ini tak ingin sekadar menjadi akun shitposting, tapi juga punya tujuan. Shitposting adalah aktivitas online yang awalnya dikenal sebagai posting konten yang mengejutkan atau ofensif. Shitposting bisa juga dipakai untuk konten yang 'tidak berfaedah'. Kampanye Nurhadi-Aldo adalah cara mereka menyampaikan kritik untuk pemerintah dan politikus di Indonesia.
Pengamat komunikasi digital Dr Firman Kurniawan, MSi, menilai munculnya capres-cawapres fiktif Nurhadi dan Aldo sebagai fenomena resistensi terhadap hegemoni situasi pra-pemilihan di Indonesia.
Resistensi terhadap situasi pra-pemilihan muncul sejak dipasangnya spanduk atau baliho kampanye. Resistensi muncul karena umumnya pemasangan alat-alat peraga kampanye itu tak mempertimbangkan aspek estetika.
"Di setiap event pra-pemilihan pula, tak terlewatkan, setiap calon berlomba-lomba mendekati konstituen, menawarkan janji perbaikan nasib, janji perbaikan fasilitas publik, dan janji-janji perubahan pemikat hati konstituen. Apa kabar ketika telah terpilih? Telah pula disusun argumentasi canggih untuk menghindar dari keharusan mewujudkan janji," kata Firman saat berbincang, Sabtu (5/1/2019).
"Dan ini, tak pernah ketinggalan di setiap event pra-pemilihan, selalu diajukan gagasan populis dalam bentuk pesan terkemas dalil agama. Para dai dan pemuka agama dikerahkan seraya dilantunkan kutipan ayat-ayat suci, yang menegaskan bahwa menentukan pilihan yang benar memiliki konsekuensi dunia-akhirat. Khusus untuk event pemilihan 2 tahun ini, Pilkada DKI 2017 hingga pemilihan raya 2019, porsi pemanfaatan jargon dan atribut agama kian kencang," sambungnya.
Keadaan yang dijabarkan di atas, kata Firman, menghegemoni dan menempatkan publik sebagai pemilik hak suara seakan khalayak yang tak paham terhadap apa yang harus dilakukannya. Publik adalah subjek yang harus dituntun dalam melangkah, diayomi, dan diarahkan kembali jika pilihannya berpotensi tidak tepat.
"Bahkan untuk mengarahkannya, publik harus dicekoki hoax agar sistem berpikirnya selalu tercekam ketakutan. Publik yang tercekam akan butuh pahlawan yang tepat untuk melindungi. Pahlawan inilah, calon yang harus dipilih dalam perhelatan pemilihan nantinya," ulas Firman.
Tentu saja, dia melanjutkan, tak semua publik pemilik suara menerima hegemoni institusi politik semacam itu. Muncul resistensi yang sama sekali bukan didasari kekecewaan.
"Resistensi lebih sebagai upaya komunikasi untuk menyatakan 'wahai elite politik, ketika Anda menganggap kami publik yang pasif, yang senantiasa diarahkan untuk menentukan pilihan kami sendiri, yang Anda cekoki dengan janji-janji dan kabar bohong, pernahkah Anda berkaca? Jika Anda membutuhkan kaca, lihatlah cermin yang kami bawa: parodi capres-cawapres fiktif Nurhadi-Aldo atau Dildo. Pilihan brand Dildo memiliki makna semiotis: alat pemuas, namun fiktif. Dildo, itulah cermin Anda, yang menganggap kami publik yang tidak paham hasrat kuasa Anda," pungkasnya.
(tor/fdn)
Sebagian besar pengikutnya merayakan posting-posting Dildo dengan satire terhadap jalannya pemilu. Pasangan ini sekadar guyonan atau bentuk kekecewaan terhadap jalannya Pilpres 2019?
Hanya dalam dua pekan setelah diluncurkan, akun Nurhadi-Aldo di Facebook telah punya lebih dari 81.000 pengikut, 18.600 di Twitter, dan 73.000 di Instagram. Angka itu terus bertambah.
Foto dan meme Nurhadi-Aldo dibagikan berulang kali di media sosial. Sebagian besar posting-an Nurhadi-Aldo di media sosial mendapat tanggapan meriah berupa ratusan komentar dan reaksi.
Akun ini tak ingin sekadar menjadi akun shitposting, tapi juga punya tujuan. Shitposting adalah aktivitas online yang awalnya dikenal sebagai posting konten yang mengejutkan atau ofensif. Shitposting bisa juga dipakai untuk konten yang 'tidak berfaedah'. Kampanye Nurhadi-Aldo adalah cara mereka menyampaikan kritik untuk pemerintah dan politikus di Indonesia.
Pengamat komunikasi digital Dr Firman Kurniawan, MSi, menilai munculnya capres-cawapres fiktif Nurhadi dan Aldo sebagai fenomena resistensi terhadap hegemoni situasi pra-pemilihan di Indonesia.
Resistensi terhadap situasi pra-pemilihan muncul sejak dipasangnya spanduk atau baliho kampanye. Resistensi muncul karena umumnya pemasangan alat-alat peraga kampanye itu tak mempertimbangkan aspek estetika.
"Di setiap event pra-pemilihan pula, tak terlewatkan, setiap calon berlomba-lomba mendekati konstituen, menawarkan janji perbaikan nasib, janji perbaikan fasilitas publik, dan janji-janji perubahan pemikat hati konstituen. Apa kabar ketika telah terpilih? Telah pula disusun argumentasi canggih untuk menghindar dari keharusan mewujudkan janji," kata Firman saat berbincang, Sabtu (5/1/2019).
"Dan ini, tak pernah ketinggalan di setiap event pra-pemilihan, selalu diajukan gagasan populis dalam bentuk pesan terkemas dalil agama. Para dai dan pemuka agama dikerahkan seraya dilantunkan kutipan ayat-ayat suci, yang menegaskan bahwa menentukan pilihan yang benar memiliki konsekuensi dunia-akhirat. Khusus untuk event pemilihan 2 tahun ini, Pilkada DKI 2017 hingga pemilihan raya 2019, porsi pemanfaatan jargon dan atribut agama kian kencang," sambungnya.
Keadaan yang dijabarkan di atas, kata Firman, menghegemoni dan menempatkan publik sebagai pemilik hak suara seakan khalayak yang tak paham terhadap apa yang harus dilakukannya. Publik adalah subjek yang harus dituntun dalam melangkah, diayomi, dan diarahkan kembali jika pilihannya berpotensi tidak tepat.
"Bahkan untuk mengarahkannya, publik harus dicekoki hoax agar sistem berpikirnya selalu tercekam ketakutan. Publik yang tercekam akan butuh pahlawan yang tepat untuk melindungi. Pahlawan inilah, calon yang harus dipilih dalam perhelatan pemilihan nantinya," ulas Firman.
Tentu saja, dia melanjutkan, tak semua publik pemilik suara menerima hegemoni institusi politik semacam itu. Muncul resistensi yang sama sekali bukan didasari kekecewaan.
"Resistensi lebih sebagai upaya komunikasi untuk menyatakan 'wahai elite politik, ketika Anda menganggap kami publik yang pasif, yang senantiasa diarahkan untuk menentukan pilihan kami sendiri, yang Anda cekoki dengan janji-janji dan kabar bohong, pernahkah Anda berkaca? Jika Anda membutuhkan kaca, lihatlah cermin yang kami bawa: parodi capres-cawapres fiktif Nurhadi-Aldo atau Dildo. Pilihan brand Dildo memiliki makna semiotis: alat pemuas, namun fiktif. Dildo, itulah cermin Anda, yang menganggap kami publik yang tidak paham hasrat kuasa Anda," pungkasnya.
(tor/fdn)
7
11.9K
Kutip
58
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
671.3KThread•41.1KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru