riandyogaAvatar border
TS
riandyoga
Cukupkah Dengan Teknologi Dapat "Menahan" Tsunami?
Quote:

Hallo GanSis!! Indonesia kembali berduka setelah baru-baru ini terjadi Tsunami di selat Sunda. Sekalipun negara kita sudah akrab dengan bencana alam termasuk Tsunami. Namun Tsunami kali ini benar-benar bikit kaget.

Tanpa tanda yang nyaris tak terdeteksi. Tsunami yang terjadi diantara Banten dan Lampung itu seakan datang dalam senyap.

Berbeda dengan peristiwa Tsunami yang sebelumnya pernah terjadi di Indonesia. Dimana biasanya Tsunami diawali gempa Bumi dulu. Tsunami di selat Sunda diduga kuat dipicu dari aktivitas vulkanik Anak Gunung Krakatau. Peristiwa yang masih terbilang baru di Indonesia.

Banyak pihak yang menyayangkan mengapa bencana tsunami selat Sunda menelan banyak korban. Seharusnya tsunami tersebut bisa diantisipasi lebih baik lagi.

Minimnya teknologi yang ada saat ini diduga membuat antisipasi bencana alam tidak maksimal. Seperti berita yang selama ini beredar juga, Indonesia belum memiliki alat teknologi pendeteksi tsunami yang diakibatkan aktivitas vulkanik dan longsoran dalam laut.

Pertanyaannya sekarang, apa dengan teknologi saja menjadi jaminan terhindar dari musibah bencana alam? Maksudnya menekan seminimal mungkin dampak yang ditimbulkan.

Nyatanya bencana alam di Indonesia merupakan keniscayaan. Kita semua tidak bisa lari dari kenyataan bahwa negara kita ini memang rawan terjadi bencana alam.

Namun tetap perlu berusaha meminimalisir dampak bencana. Di pulau Jawa sendiri tingkat kerawanan bencana alam tergolong lebih rendah dibanding wilayah Indonesia Timur. Sekalipun dibandingkan Sumatra, tingkat kerawanan bencana alam di pulau Jawa masih lebih rendah.

Nampun tingkat kepadatan penduduk di Jawa membuat resiko korban jiwa dan kerusakan akibat bencana alam menjadi salah satu paling tinggi di Indonesia.

Bukan bermaksud menduga-duga mengapa tsunami selat Sunda menelan banyak korban. Barangkali faktor kepadatan penduduk menjadi salah satu sebabnya.

Teknologi dan bencana alam

Soal teknologi antisipasi bencana alam, aspek yang satu ini sebenarnya belum menjamin kita semua terhindar dari bencana alam.

Bencana alam dan teknologi, maka saat ini katakanlah kita berkaca pada Jepang. Indonesia dan Jepang ini bisa dibilang "bersaing" dalam kerawanan bencana alam. Meski dalam teknologi negara Matahari Terbit tersebut lebih maju.

Namun sekalipun majunya teknologi dan segenap upaya yang dilakukan Jepang mengantisipasi bencana alam. Merekapun masih kecolongan.

Mengutip data tahun 2016, tepat 5 tahun setelah Tsunami setinggi sekitar 10 meter di prefektur Miyagi dan sekitarnya.

Quote:


Strategi mitigasi Jepang sebenarnya bukanlah gagal. Hanya saja belum cukup. Belajar dari pengalaman, kata itu mungkin yang tapat.

Sebelumnya, pemerintah Jepang menggunakan konsepsi tsunami countermeasure. Konsepsi mitigasi ini mengandalkan keberadaan struktur rigid berupa tembok laut di hampir sepanjang pesisir Jepang terutama di kawasan Tohoku (Utara-Timur) Pulau Honsu dan breakwater atau pemecah gelombang di mulut teluk-teluk di kawasan tersebut.

Pemerintah Jepang pernah membuat tembok laut setinggi 4 meter. Namun tembok tersebut seakan "dipecundangi" oleh gelombang Tsunami pada 2011 yang ternyata mencapai 10 meter.

Tidak menyerah, diketahui Jepang sudah meng-upgrade tembok pelindung Tsunami mereka setinggi 12,5 meter. Dan ternyata malah menimbulkan masalah lainnya.

Quote:


Tembok tersebut dituding merusak pemandangan samudra, membuat pemukiman seperti penjara, menggangu potensi wisata, menghalangi air alami dari daratan, hingga dikhawatirkan mengurangi produksi ikan di masa depan.

Meskipun tembok tersebut diyakini mampu menghambat gelombang Tsunami dan memperpanjang waktu evakuasi. Namun nyatanya tetap ada pro dan kontra disana.

Perubahan sistem mitigasi

Belajar dari peristiwa Tsunami 2011, Jepang merubah sistem mitigasi bencana alam menjadi tsunami mitigation and land use planning. Tanpa menghilangkan konsep sebelumnya. Konsep mitigasi baru ini mengedepankan tata ruang yang membagi daerah rawan terdampak tsunami menjadi 2 wilayah.

Mengandalkan data atau catatan tsunami dimasa lalu yang terekam dengan baik. Jepang mencoba memetakan daerah rawan tsunami mulai dari kekuatannya, waktu hingga dampak kerusakannya.

Quote:

Bagian pertama adalah kawasan tsunami level 1 (merah): kawasan ini adalah daerah-daerah yang berpotensi terdampak oleh tsunami dengan periode ulang kejadian 50-150 tahun.

Tsunami yang dibangkitkan oleh gempa jenis ini rata-rata memiliki ketinggian ~7-10 m.

Bagian kedua adalah kawasan tsunami level 2 (kuning): kawasan ini adalah daerah-daerah yang berpotensi terdampak oleh tsunami dengan periode ulang kejadian di atas 500 tahun sampai seribuan tahun atau yang dikenal dengan supercycle.

Tsunami dalam kategori ini bisa mencapai ketinggian 20-30 m. Tsunami tahun 2011 adalah tsunami level 2.

Pembagian wilayah rawan bencana ini menjadi penting, mengapa? Karena untuk menentukan mitigasi apa yang cocok diterapkan pada daerah rawan bencana tsunami sesuai periode ulangan bencana.

Seperti wilayah level 1, wilayah tersebut seharusnya memang tidak dibolehkan dibangun bangunan kecuali untuk pariwisata.

Sedangkan untuk wilayah level 2, pembangunan pemukiman masih tidak dibolehkan. Namun masih boleh dibangun bangunan untuk pertanian dan industri. Asalkan sesuai aturan tata ruang yang memungkinkan aliran air lancar agar mengurangi hantaman air.

Bila hanya menggunakan konsep mitigasi lama yang mengutamakan breakwater, tembok laut, tanggul dan lainnya. Masih belum cukup karena konsep rigid hanya dapat mengurangi risiko dampak tsunami periode ulangan 50 tahun dan tidak lebih dari tinggi maksimum 5 m.

Karena umur struktural rigid umumnya bertahan sekitar 30-50 tahun. Selebihnya perlu perawatan dan penguatan struktur yang menelan biaya besar dan kekuatannya juga semakin menurun.

Dan karena terbatasnya umur strutur bangunan. Teknologi breakwater, tembok laut dan sebagainya juga tidak cocok menghadapi tsunami dengan periode ulangan 50-300 tahun.

Quote:

Untuk tsunami dengan periode ulang 50-300 tahun, pendekatan struktur alami seperti hutan pantai bisa dijadikan pilihan. Akan tetapi, meskipun struktur ini bisa bertahan sampai 400 tahun seperti halnyal hutan pantai yang ada di pesisir Tohoku yang dibangun sejak tahun 1611, kemampuan struktur ini dalam menahan tsunami juga terbatas sampai dengan tsunami dengan ketinggian maksimum 5 m.

Sedangkan untuk menahan gelombang tsunami sebesar supercyle atau periode ulangan diatas 500 tahun, belum ada struktural yang bisa menahan gelombang dan bertahan lama.

Setidaknya tinggi gelombang tsunami dengan periode ulangan diatas 500 tahun setinggi 20 meter. Tsunami yang dibangkitkan dari erupsi Gunung Krakatau 1883 setinggi 40 meter. Dan sampai sekarang belum ada struktur yang mampu menahan terjangan energi gelombang tsunami sebesar itu.

Inilah mengapa dengan teknologi saja tidak cukup menjadi jaminan menahan gelombang tsunami atau mengurangi dampaknya.. Maksudnya tidak cukup dengan satu teknologi saja. Tidak bisa hanya mengandalkan pendeteksi tsunami, atau hanya struktur penahan gelombang tsunami. Bahkan keduanya juga belum cukup.

Seperti dijelaskan diawal tadi. Tingkat kepadatan penduduk yang semakin tinggi, juga menguatkan risiko dampak tsunami.

Maka butuh tata ruang yang baik. Sesuai dengan rekam data bencana tsunami di masa lalu, seperti dijelaskan diatas. Agar dapat mempermudah evakuasi. Karena waktu evakuasi sejak tsunami terdeteksi biasanya tidak terlalu lama. Dan menjadi semakin sulit untuk mengevakuasi ribuan bahkan puluhan ribu orang dalam waktu singkat.

Ditulis oleh Rianda Prayoga

Spoiler for Sumber & referensi:
16
8.7K
82
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sains & Teknologi
Sains & TeknologiKASKUS Official
15.5KThread10.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.