Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

gilbertagungAvatar border
TS
gilbertagung
Perekonomian Indonesia, Bagian I : Perjuangan dan Pergolakan (1945 - 1966)



Pada 2017, Indonesia mencatat sejarah dengan pencapaian Produk Domestik Bruto yang menembus angka 1 triliun dolar AS dan mengikuti jejak Korea Selatan yang telah melakukannya sekitar satu dekade sebelumnya atau Jepang yang bahkan sudah mencapainya hampir 40 tahun sebelumnya. Jauh sebelumnya, Indonesia pernah mengalami episode hiperinflasi (inflasi tahunan di atas 100 persen) pada 1960-an, yaitu pada 1962 hingga 1967. Ini erat kaitannya dengan situasi politik dan kebijakan pemerintah pada masa tersebut. Bagaimanakah kisahnya? Bagaimana pula keadaan politik dan kebijakan pemerintah memengaruhi kondisi ekonomi pada periode lain?


Klik gambar untuk menuju sumber gambar

1945-1949

Barisan pejuang di masa Perang Kemerdekaan Indonesia. Situasi konflik melawan Belanda pada periode 1945-1949 membawa kerugian besar bagi Indonesia yang tak dapat langsung memulai pembangunannya.
Indonesia berhasil memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945. Penjajahan Jepang membawa kemunduran bagi ekonomi Indonesia karena kegiatan produksi diprioritaskan untuk kepentingan perang Jepang. Pun setelah kemerdekaan, kondisi ekonomi tetap memburuk karena konflik dengan Belanda selama 4 tahun. Selama periode ini, keamanan sangat mengkhawatirkan dan kegiatan ekonomi dalam negeri tak berjalan karena pertempuran dan kegiatan ekonomi luar negeri juga tak bisa menolong karena blokade laut Belanda. Pada periode ini, ada banyak mata uang yang beredar di masyarakat, mulai dari uang terbitan De Javasche Bank, uang pendudukan Jepang, uang NICA, Oeang Republik Indonesia, sampai uang darurat terbitan masing-masing daerah. Karena kacaunya keadaan, data statistik ekonomi Indonesia pada periode ini hampir tak tersedia. Namun, diperkiran aset ekonomi Indonesia sebesar 2 miliar dolar AS (nilai konstan 1939, setara 36,26 miliar dolar AS pada 2018 disesuaikan dengan inflasi) rusak akibat konflik.

1950-1957

Poster untuk menginformasikan mengenai kebijakan Gunting Syafruddin pada 1950. Kebijakan ini sukses menegaskan status ORI, kemudian rupiah, sebagai satu-satunya mata uang yang berlaku di Indonesia.
Kesepakatan Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1949 membawa Indonesia masuk ke masa damai. Namun, Indonesia yang baru berusia kurang dari 5 tahun telah diberi beban berat berupa kewajiban melunasi utang pemerintah kolonial Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dolar AS, membiayai 17.000 karyawan eks Belanda selama 2 tahun, dan menampung 26.000 tentara eks KNIL. Ketika kesepakatan ini dibatalkan sepihak oleh Indonesia pada Februari 1956, utang warisan Hindia Belanda telah dibayar 82 persen. Kewajiban ini sangat memberatkan ekonomi Indonesia pada paruh pertama 1950-an, terutama pada 1950 dengan defisit mencapai 5,1 miliar rupiah hingga Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat, Mr. Syafruddin Prawiranegara, harus mengambil kebijakan yang disebut Gunting Syafruddin. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan RIS Nomor PU/I tanggal 19 Maret 1950. Melalui kebijakan ini, uang terbitanDe Javasche Bank dan uang NICA berdenominasi 5 gulden dan lebih tinggi dipotong, baik nilainya maupun fisiknya, menjadi dua. Potongan sebelah kiri tetap menjadi alat pembayaran yang sah dengan nilai hanya setengah dari nilai nominal asalnya namun harus ditukarkan terlebih dahulu dengan uang baru pada periode yang telah ditetapkan, 22 Maret hingga 16 April 1950. Potongan sebelah kanan menjadi obligasi pemerintah, juga dengan nilai setengah dari nilai nominal awal, dengan bunga 3 persen per tahun dan dibayarkan dalam waktu 30 tahun. Kebijakan ini berhasil mengurangi jumlah uang beredar, menurunkan inflasi, memberikan kestabilan bagi perekonomian, dan menegaskan status ORI, kemudian rupiah, sebagai satu-satunya mata uang yang sah di wilayah Indonesia. ORI sendiri tak mengalami pengguntingan dari kebijakan ini.

Namun, Indonesia mendapat rezeki dari kenaikan harga minyak dan karet akibat Perang Korea. Nilai ekspor Indonesia meningkat drastis dan surplus anggaran terjadi pada 1951 (1,186 miliar rupiah) dan 1952 (7,221 miliar rupiah). Namun, karena peningkatan impor dan pengeluaran lainnya yang melampaui peningkatan pemasukan, defisit terus terjadi sejak 1953 hingga 1967. Rezeki lain juga datang dari pembayaran reparasi perang oleh Jepang sebesar 223 juta dolar AS pada Januari 1958 (dibayar 12 tahun kemudian).

Pemerintah lalu membuat program pemberdayaan ekonomi bagi pengusaha pribumi Indonesia yang disebut Benteng. Pengusaha pribumi diberi fasilitas devisa dengan kurs murah, kredit perbankan, dan lisensi impor. Awalnya, pemerintah mengharapkan pengusaha dari kalangan pribumi dapat tumbuh dari menjalankan bisnis ekspor-impor dan membangun industri yang dapat mengakhiri dominasi perusahaan asing, terutama Belanda, dalam perekonomian Indonesia saat itu. Namun, penerima lisensi ini kebanyakan menjual kembali lisensinya kepada pengusaha lain yang lebih mapan dan mengembangkan pola hubungan ekonomi yang disebut Ali-Baba.

Hubungan dengan Belanda yang memburuk sejak 1957 akibat sengketa wilayah Irian Barat (Papua) membuat pemerintah mengambil langkah menasionalisasi perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia seperti KLM, Philips, dan Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). BPM berubah menjadi Permina, kemudian digabung dengan Pertamin, yang didirikan 1961, menjadi Pertamina pada 1968. Perusahaan ini dipimpin oleh Ibnu Sutowo yang menjabat hingga pertengahan 1970-an.

Pertumbuhan ekonomi (PDB) rata-rata mencapai 5,5 persen pada periode ini dengan kenaikan harga rata-rata mencapai 14 persen per tahun.

1958-1966

Wanita berdemonstrasi di Bali mendukung integrasi Irian Barat ke Indonesia tahun 1963. Konfrontasi dengan Belanda mengenai Irian Barat menjadi salah satu penyebab tingginya defisit anggaran pada masa itu.
Pada periode 1958 hingga 1966, Indonesia mengalami tingkat inflasi yang cukup tinggi. Subsidi terhadap BUMN, termasuk hasil nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia, pergolakan politik yaitu konfrontasi dengan Belanda dan Malaysia, proyek mercusuar rezim Orde Lama, serta usaha meredam pemberontakan di dalam negeri seperti PRRI/Permesta membuat pengeluaran negara membengkak sementara pendapatan yang ada tak mampu mengimbanginya. Terjadilah defisit anggaran yang terus meningkat setiap tahunnya. Pada 1959, penerimaan negara mencapai 30,6 miliar rupiah namun pengeluaran mencapai 44,4 miliar rupiah (defisit 13,8 miliar rupiah). Pada 1962, defisit naik drastis menjadi 48,1 miliar rupiah (penerimaan 74 miliar rupiah dan pengeluaran 122,1 miliar rupiah). Pada 1965, defisit bahkan mencapai 1,5656 triliun rupiah (penerimaan 960,8 miliar rupiah dan pengeluaran 2,5263 triliun rupiah).

Pembiayaan defisit anggaran pemerintah pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dilakukan dengan meminjam uang ke Bank Indonesia yang berarti mencetak uang baru dan memompanya ke peredaran. Karena pertumbuhan produksi dalam perekonomian tak mampu mengimbangi pertumbuhan uang beredar yang tinggi dan tingkat velocity of money circulation(kecepatan peredaran uang, dalam arti seberapa cepat uang berputar atau dibelanjakan di masyarakat) yang tinggi karena harga barang yang cepat naik dan kepercayaan pada nilai uang menurun, tingkat inflasi pada periode ini terus meningkat.

Pada 1958, tingkat inflasi mencapai 46 persen. Angka ini turun menjadi 22,2 persen pada 1959. Ini merupakan hasil dari kebijakan sanering 90 persen terhadap uang kertas 500 rupiah dan 1.000 rupiah dan pembekuan deposito di atas 25.000 rupiah yang dilakukan pada 25 Agustus 1959 yang berhasil menurunkan jumlah uang beredar dari 34 miliar rupiah menjadi 13 miliar rupiah. Namun karena defisit anggaran tetap tinggi (dan penciptaan uang baru juga meningkat), tingkat inflasi kembali naik menjadi 38 persen pada 1960.

Kemudian, inflasi sempat turun menjadi 26,9 persen pada 1961 sebelum kembali naik menjadi 174 persen pada 1962, saat konfrontasi dengan Belanda mencapai klimaks. Tahun 1963, angkanya mencapai 118,7 persen. Setahun berikutnya, 1964, inflasi kembali naik hingga 135,1 persen saat konfrontasi lain dengan Malaysia dan Inggris dimulai. 1965, di tengah kacaunya kondisi Indonesia setelah kudeta gagal pada malam 1 Oktober 1965 (Gerakan 30 September), inflasi melonjak hingga 594,3 persen. Pemerintah pun terpaksa meredenominasi rupiah menjadi seperseribunya lewat Penetapan Presiden nomor 27 tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965. Namun, rupiah baru ini langsung dihajar inflasi 635,3 persen pada tahun pertama peredarannya di perekonomian Indonesia, 1966, saat peralihan politik dari Orde Lama Soekarno ke Orde Baru Soeharto mulai berlangsung. Sebagai gambaran, Firman Lubis dalam bukunya berjudul Jakarta 1960-an : Kenangan Semasa Mahasiswa menuturkan pada 1962, dengan uang 5 rupiah saja, semangkuk mi di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, dapat dibeli. Namun, pada 1965, untuk membeli mi yang sama, diperlukan uang 1.500 rupiah.

Inflasi yang tinggi membuat pertumbuhan ekonomi pada masa itu (5,8 persen pada 1961, 1,8 persen pada 1962, -2,2 persen pada 1963, 3,5 persen pada 1964, 1,1 persen pada 1965, dan 2,8 persen pada 1966) menjadi tak berarti. Cadangan devisa di Bank Indonesia pun habis tak bersisa, malah posisinya adalah negatif 3 juta dolar AS (artinya ada kewajiban pembayaran dalam bentuk devisa sebesar 3 juta dolar AS yang tak terbayarkan) pada akhir 1965. Akhirnya, mahasiswa menggerakan demonstrasi memprotes kondisi perekonomian yang terus memburuk. Mereka merangkum tuntutan mereka dalam Tri Tuntutan Rakyat pada 10 Januari 1966 yang poin ketiganya adalah "Turunkan harga".

Masa pemerintahan Soekarno sebagai presiden secara resmi berakhir pada 20 Februari 1967 dan Soeharto menjadi pejabat presiden hingga 27 Maret 1968. Era baru dalam sejarah perekonomian Indonesia dimulai.


Demikian thread dari saya kali ini yang sekaligus menjadi thread pertama dari rangkaian thread yang akan saya rilis sepanjang tahun 2019. Nantikan bagian kedua yang akan segera dirilis. Terima kasih telah membaca thread ini dan semoga hari Anda menyenangkan. Selamat Tahun Baru 2019!

-------------------------------

365 hari menuju tahun 2020.emoticon-Ultah


Boediono. 2016. Ekonomi Indonesia : Dalam Lintasan Sejarah. Bandung : Mizan Media Utama.
Lubis, Firman. 2008. Jakarta 1960-an : Kenangan Semasa Mahasiswa. Depok : Penerbit Masup Jakarta.
Togo, Kazuhiko. 2010 . Japan's Foreign Policy, 1945-2009: The Quest for a Proactive Policy. Leiden dan Boston : Brill Academic Publisher.
Usman, Syafarudin dan Isnawita. 2009. Neoliberalisme Mengguncang Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Narasi.
Referensi I
Referensi II
Referensi III
Referensi IV
Referensi V
Referensi VI
Referensi VII
Referensi VIII
Referensi IX
Referensi X



Diubah oleh gilbertagung 19-02-2019 01:30
0
2.6K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & XenologyKASKUS Official
6.5KThread10.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.