Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ValidnewsAvatar border
TS
Validnews
10 Bali Baru dan Target yang Sulit Diburu
JAKARTA – Promosi gencar yang tiada berkesudahan menjadi langkah rutin Kementerian Pariwisata (Kemenpar) untuk menggenjot devisa dari sektor pariwisata Nusantara. Menyisir keunggulan berbagai destinasi impian yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan menjajakannya menjadi pilihan dalam menjaring turis mancanegara.

Baru-baru ini, tiga negara di kawasan Asia Timur menjadi bidikan Kemenpar dalam mempromosikan kecantikan alam dan budaya Ibu Pertiwi. China, Jepang, dan Korea Selatan terpilih untuk didatangi pada awal Desember ini.

Tidak mengherankan jika ketiga negara tersebut dipilih. Pasalnya, ketiga negera tersebut kerap berkontribusi besar terhadap kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) ke Nusantara, khususnya China.

Negeri Tirai Bambu memang kerap menjadi penyumbang terbesar dalam mencetak angka wisman bagi Indonesia. Bahkan, pada Oktober kemarin, China menyumbang 183.482 kunjungan wisman ke Indonesia. Jumlah tersebut setara dengan 14,20% dari total kunjungan wisman pada Oktober yang bertengger di angka 1,29 juta kunjungan.

Belakangan, agenda promosi ke negara-negara Asia Timur pun diisi oleh tawaran destinasi baru, tak melulu hanya Bali. Setidaknya, ada 10 daerah pengembangan pariwisata yang dipromosikan demi pemerataan kunjungan wisman ke Nusantara. Kesepuluh daerah itu disebut pemerintah sebagai “Bali Baru”.

Tidak hanya memperkenalkan kepada calon wisman secara langsung lewat sejumlah promosi, Kemenpar pun menyasar agen-agen perjalanan di kota-kota besar ketiga negara tersebut untuk menggencarkan kedatangan wisman ke 10 Bali Baru. Harapannya tentu agar jumlah wisman yang berkunjung bisa terus meningkat ke depan.

Bukan tanpa sebab, sektor pariwisata yang dianggap sebagai industri berkelanjutan menjadi salah satu andalan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dari pariwisatalah diharapkan pundi-pundi devisa negara bisa terus menggunung, mensubtitusi sektor industri lain yang mulai meredup.

Asa yang melambung tersebut diciptakan bukan karena sekadar mimpi muluk, melainkan melihat perkembangan devisa sektor ini dari waktu ke waktu. Memang benar, peningkatan devisa pariwisata melaju pesat setidaknya dalam 4 tahun terakhir.

Menjadi prioritas di era Jokowi, devisa dari sektor pariwisata pun terus merangkak naik dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 12,07% dalam periode 2014—2017. Terakhir pada 2017, devisa dari pariwisata bahkan sudah mencapai US$15,20 miliar. Ditargetkan pada 2019, devisa dari sektor ini semakin meningkat ke angka US$20 miliar.

Pengembangan 10 Bali Baru menjadi salah satu harapan untuk bisa memperoleh devisa lebih tinggi dari pariwisata. Keyakinan pemerintah ini setidaknya terlihat dari target kunjungan wisman pada 2019 yang dipatok mencapai 20 juta kunjungan. Angka tersebut meningkat 3 juta kunjungan dari target pada 2018 yang dipatok hanya sebesar 17 juta kunjungan.

Sayangnya, asa mungkin tinggal asa. Hingga akhir Oktober, total kunjungan wisman baru berada di angka 13,2 juta. Agak sulit, jika tak bisa dibilang mustahil, untuk bisa mendapatkan hingga 3,8 juta kunjungan wisman dalam waktu dua bulan tersisa.

Sulit Tercapai
Menilik data wisman dari 2014 sampai 2017, rata-rata jumlah wisman pada dua bulan tersebut hanya 1,95 juta kunjungan. Pertumbuhan jumlah wisman di dua bulan terakhir tersebut setiap tahunnya pun rata-rata hanya 10,52% dalam periode yang sama.

Tahun depan, dengan target wisman sebanyak 20 juta kunjungan, diproyeksikan ada sekitar US$20 miliar yang bisa diraih menjadi devisa. Namun, menurut proyeksi Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Didien Junaedi, setidaknya dengan kondisi yang stabil seperti saat ini, mentok hanya 80% dari target tersebut bisa diperoleh.

Pencapaiannya bisa saja mendekati target. Syaratnya, 10 Bali Baru yang dirancang dalam beberapa tahun terakhir bisa terwujud minimal 30% saja.

“Soalnya, kalau sudah jadi semua, 10 Bali Baru itu bisa mendatangkan sampai 50% dari target wisman 2019,” ujarnya kepada Validnews di Jakarta, Kamis (6/12).

Untuk diketahui, sebagian besar dari 10 Bali Baru yang digagas pemerintah merupakan wisata bahari.  Mereka adalah Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Wakatobi, Morotai, Labuan Bajo, dan Mandalika. Dua sisanya yang tidak mengandalkan wisata bahari adalah Borobodur dan Bromo.

Meski begitu, Didien mencoba realistis. Sulit rasanya apabila semua destinasi tersebut digarap sekaligus menjadi Bali Baru. Toh, saat ini saja, pencapaian total dari keseluruhannya belum mencapai 30%.

“Memang belum bisa semua, ya. Sebenarnya, kan, juga sudah dikerucutkan menjadi empat saja, kan, itu. Tinggal Toba, Labuan Bajo, Mandalika, juga Borobudur,” ungkap pria ini.

Penghalang untuk mewujudkan 10 Bali Baru secara serentak disebabkan banyak aspek yang mesti dibenahi, meliputi atraksi, aksesibilitas, sampai amenities (fasilitas pariwisata seperti rumah makan, restoran, toko cenderamata, serta fasilitas umum seperti sarana ibadah dan kesehatan). Untuk mewujudkannya pun diperlukan dana yang tidak sedikit.

Dalam kajian Kemenpar, untuk mengembangkan 10 destinasi prioritas tersebut, setidaknya diperlukan investasi hingga US$22,82 miliar. Investasi terbesar diperlukan untuk membangun Tanjung Lesung agar bisa setara Bali. Diperkirakan investasi yang dibutuhkan untuk menyulap Tanjung Lesung saja mencapai US$5,6 miliar.

Investasi yang demikian besar diharapkan menghasilkan devisa yang tak kalah besar ketika pengembangannya telah rampung. Total target devisa dari 10 Bali Baru tersebut diproyesikan mencapai US$8,5 miliar pada 2019 nanti.

Didien melanjutkan, dari sisi industri, beberapa wilayah yang menjadi target Bali Baru memang belum tersentuh dari sisi amenities yang memadai. Daerah-daerah yang sebelumnya tak terlalu eksis, seperti Morotai dan Mandalika, misalnya, masih belum memiliki penginapan setara hotel berbintang.

“Makanya untuk itu lebih diarahkan dalam bentuk homestay dulu,” ujarnya.

Pekerjaan rumah untuk membangun Morotai pun lebih sulit lagi. Didien memaparkan, pengembangan Morotai akan lama rampung karena sisi atraksi dari destinasi ini masih amat minim.

Senada dengan Didien, Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (Asita) Ophan Lamara mengungkapkan, mustahil apabila 10 daerah yang hendak dijadikan destinasi prioritas tersebut diselesaikan dalam waktu bersamaan. Selain membutuhkan biaya yang besar, tingkat kesiapan setiap daerah berbeda satu sama lain.

“Jadi, pasti pembangunan dari 10 destinasi itu akan dilakukan bertahap karena sebetulnya dari sisi kebutuhan pengembangan. Setiap destinasi atau 10 Bali Baru itu tidak semua memiliki kebutuhan yang sama,” tuturnya kepada Validnews, Rabu (5/12).

Untungnya, beberapa destinasi yang dianggap sudah lebih siap dibandingkan yang lain, seperti Danau Toba, Borobudur, dan Labuan Bajo. Ini karena ketiga kawasan tersebut telah cukup eksis di tingkat internasional dan dikenal akan beragam objek wisatanya yang menarik.

Di sisi lain, ada juga destinasi pengembangan yang masih membutuhkan banyak sentuhan untuk bisa menjadi Bali Baru. Untuk destinasi yang seperti ini, biaya pengembangannya pun akan lebih besar.

“Pulau Seribu kemudian Banten itu perlu pengembangan yang praktis, membutuhkan uang lebih banyak, biaya lebih banyak,” tukasnya.

Prioritas Super
Pemerintah sebenarnya sudah menyadari keterbatasan untuk mengembangkan 10 Bali Baru tersebut. Sejak beberapa waktu pula, Kemenpar mulai menyempitkan prioritas pembangunan Bali Baru hingga setengah. Danau Toba, Labuan Bajo, Borobudur, dan Mandalika menjadi destinasi-destinasi yang dikembangkan lebih dahulu.

Dalam proyeksi Kemenpar, pada 2019 nanti, keempat kawasan yang didahulukan pengembangannya ini diharapkan bisa mengundang 4,5 juta wisman. Jutaan wisman tersebut diharapkan bisa membawa devisa bagi Nusantara hingga US$4,5 miliar.

Namun demikian, Ketua Tim Percepatan Pembangunan 10 Destinasi Prioritas Pariwisata (DPP) Hiramsyah S. Thaib menegaskan, difokuskannya empat destinasi pariwisata tersebut sebagai prioritas bukan berarti menggagalkan rencana pembangunan enam destinasi lainnya.

Pasalnya, saat ini saja, menurutnya, kesiapan 10 kawasan tersebut untuk menjadi Bali Baru sudah mencapai 120%. Itu baik dari sisi atraksi, aksesibilitas, sampai amenities.

“Termasuk nanti juga dari aspek pengembangan SDM (sumber daya manusia). Kemudian, kalau untuk atraksi dan amenitas itu kita lihat juga dari aspek investasi,” imbuhnya kepada Validnews, Jumat (7/12).

Pengerucutan fokus pembangunan keempat kawasan tersebut tak lain karena melihat daerah-daerah tersebut memerlukan sentuhan lebih banyak agar bisa dikembangkan sejajar Bali. Karena itulah, energi dari pemerintah pun lebih difokuskan dalam mengembangkan Danau Toba, Labuan Bajo, Mandalika, juga Borobudur dengan lebih optimal.

Biaya memoles keempat kawasan prioritas super tersebut juga tidaklah kecil. Dalam paparan Kemenpar beberapa waktu lalu, setidaknya dibutuhkan dana hingga US$7,32 miliar untuk membangun keempatnya.

“Yang enam lagi tetap didukung, tapi dukungannya bisa dari private sector. Jadi, sebenarnya, itu ada empat super prioritas dari 10 prioritas destinasi wisata baru,” tegas Hiramsyah. 

Sektor privat memang diharapkan bisa membantu pemerintah dalam membangun destinasi prioritas super maupun yang hanya prioritas tersebut. Ia menyebutkan, investasi terbaik saat ini pun ada di Toba dan Mandalika. Keduanya secara berturut-turut telah memperoleh komitmen investasi US$6,1 miliar dan US$2 miliar sampai saat ini.

“Kalau dari segi aksesibilitas, itu mungkin yang terbaik Toba karena sudah ada reaktivasi Bandara Silangit. Kemudian, jalan tol Medan Kualanamu tebing tinggi juga sudah 95% tinggal sedikit lagi selesai. Diharapkan kuartal I-2019 sudah selasai dan diresmikan presiden,” paparnya lagi.

Pemilihan 4 destinasi prioritas super tersebut dipandang Ophan sebagai hal yang tepat. Pasalnya, selain karena memang sudah cukup eksis, keempat kawasan tersebut sudah memiliki aksesibilitas dan akomodasi yang cukup apik.

“Objek-objek tersebut memang sudah lama menjadi destinasi favorit yang digencarkan untuk dijual. Tantangannya adalah bagaimana mengemas destinasi itu supaya ampuh menggaet wisatawan kekinian,” ungkapnya. 

Walaupun mengaku sudah siap lebih dari 100%, pemerintah sendiri justru yang terlihat masih ragu mencanangkan pencapaian target wisman di empat kawasan prioritas super tersebut, sesuai target yang ditetapkan di awal.

Contohnya Borobudur, pada 2019 hanya ditargetkan bisa menggaet 1,2 juta kunjungan wisman, padahal sebelumnya Borobudur diharapkan bisa menggiring 2 juta kunjungan wisman ke Indonesia.

Khusus untuk Borobudur, rasa pesimis ini dipandang kurang tepat oleh GIPI. Pasalnya, apabila dilihat dari kawasannya yang diapit Yogyakarta dan Semarang, Borobudur seharusnya mampu merauh wisman sekitar 2 juta kunjungan pada tahun depan.

“Kalau dihitung-hitung, bisa 2 juta lebih itu. Dari Semarang bisa 1,2 juta kunjungan wisman. Dari Yogyakarta sekitar 800 ribuan kunjungan,” tukas Didien.

Tetap Yakin
Justru yang dipandang agak mengkhawatirkan dari 4 kawasan prioritas super tersebut adalah Mandalika. Secara pengembangan, Mandalika memang sudah mendapat banyak investasi. Pembangunan aksesibilitas, amenitas, maupun atraksi di kawasan ini pun patut diacungi jempol.

Akan tetapi, kunjungan wisman ke Mandalika rasanya sulit tergenjot untuk bisa menjadi Bali Baru pada tahun depan. Mengapa demikian?

Pandangan dunia yang masih menganggap Mandalika sebagai bagian dari kawasan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terkena bencana gempa pada Agustus silam menjadi alasannya.

“Saya baru dapat kabar dari GIPI di sana, sampai saat ini okupansi penginapan di sana cuma 20%. Terpengaruh bencana yang kemarin,” ujar Didien.

Secara umum, tingkat penghunian kamar (TPK) penginapan di wilayah NTB memang masih terguncang. Pada Oktober kemarin, untuk hotel berbintang okupansinya hanya 39,21%. Nasib hotel nonbintang bahkan lebih memprihatinkan. Okupansinya hanya bergerak di angka 21,48%.

Apabila tidak segera ditangani, Didien khawatir sepinya Mandalika pada 2019 bisa mengganggu target keseluruhan dari 20 juta wisman secara nasional. Mandalika sendiri sebenarnya dalam rancangannya diharapkan bisa menarik 1 juta kunjungan wisman.

Meski begitu, Kemenpar tetap menjadikannya sebagai super prioritas daerah pengembangan pariwisata. Menurunnya wisman karena isu bencana gempa yang sempat menghantam tidak menyurutkan niat pemerintah membangun lebih dulu kawasan ini menjadi salah satu Bali Baru dibandingkan enam wilayah lain.

Di luar daerah prioritas super maupun sekadar prioritas, Hiramsyah meyakinkan ke-10 tempat yang diharapkan menjadi Bali Baru sudah sangat siap untuk menyambut wisman maupun wisatawan Nusantara (wisnus). Kesiapan tersebut pun tergambar jelas dari kenaikan pendapatan asli daerah (PAD) setiap kawasan yang dipicu oleh semakin banyaknya pelancong yang mampir ke sana.

“Rata-rata pendapatan asli daerah dari 10 destinasi wisata prioritas atau 10 Bali Baru itu semuanya meningkat di atas 50% setiap tahunnya. Bahkan, di beberapa destinasi, seperti Toba, itu bahkan sampai 80%,” tuturnya.

Kabupaten Samosir yang merupakan salah satu wilayah sentral lokasi Danau Toba memang kecipratan untung besar dari pengembangan pariwisata di kawasannya. Pada 2017 kemarin saja, pertumbuhan PAD-nya mencapai 80,92% secara year on year, dibanding sebelumnya yang hanya berada di angka Rp39,22 miliar pada 2016 menjadi Rp70,96 miliar.

Setali tiga uang, tiga daerah prioritas super lainnya pun berhasil menjadi lokasi peraup cuan. Labuan Bajo misalnya, pertumbuhan PAD-nya dalam kurun 4 tahun terakhir mencapai 38,11% per tahun. Tahun 2017 kemarin, nilai PAD sudah mencapai Rp123,31 miliar.

Menurut Hiramsyah, peningkatan PAD ini membuktikan, bahwa sektor pariwisata sangat berperan meningkatkan perekonomian daerah. Secara langsung pun, masyarakat hingga lapisan terbawah juga memperoleh manfaatnya. Atas dasar ini pulalah pengembangan 10 Bali Baru menurut pemerintah harus dituntaskan, tanpa terpengaruh.

“Karena sektor pariwisata terbukti memang merupakan sektor yang paling mudah dan paling murah tercepat untuk menyejahterakan masyarakat,” tegasnya.

Harapan tak terbatas dari 10 Bali Baru untuk bisa membawa dampak positif bagi perekonomian negeri memang tidak salah. Namun, terlalu berharap tanpa mempertimbangkan kondisi terkini juga bukan sesuatu yang bijak.

Mesti diakui bahwa beberapa kawasan prioritas pengembangan masih tertatih untuk bisa tampil secantik Bali, apalagi setelah diterpa bencana atau pun isu lain nantinya. Sedikit melonggarkan target pembangunan kawasan tersebut dan mengalihkannya ke daerah lain sudah sepatutnya menjadi pertimbangan jika tak ingin target nasional makin sulit tergapai pada 2019. Patut diingat, tahun depan, fokus perhatian sebagian besar komponen negeri ini sedang dialihkan oleh hajatan politik. (Teodora Nirmala Fau, Bernadette Aderi, Shanies Tri Pinasthi)

10 Bali Baru dan Target yang Sulit DiburuSumber
0
1.8K
12
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.1KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.