"You can call me a 'fuck buddy'. I know you are a rolling stone, you can go whatever you want but i'll stay here." katanya tanpa sedikitpun memandangku. Matanya hanya fokus ke langit malam sembari sesekali mengisap rokoknya dan memainkan jemari kakinya yang dibelai ombak pantai.

"Dasar, bodoh. Tadi kita cuma mabuk, no hard feelings." balasku.

"Aku engga mabuk." dia menatapku, mata hijaunya berbinar di antara remang pantai yang mulai lelah. Rambut hitam panjangnya menari diterpa angin laut. Sesaat kemudian, ia melepas gelang coklat yang menggantung di tangannya dan memberikannya padaku.

"Here's for you. Terima kasih untuk malamnya." Ia mematikan rokoknya dan mulai beranjak pergi dengan botol beer sisa tadi di bar. Aku melihat figurnya makin menjauh, pinggul lenggoknya makin lama makin mengecil untuk kemudian membaur dengan riuhnya dunia malam di Bali dan ... hilang.
Aku melihat gelang coklat di telapak tanganku, biasa saja, tak ada yang indah. Aku menyimpannya di saku celanaku, entah kenapa.

-*-

Esoknya, aku terbangun dari tidurku dan mendapati sebuah pesan pendek di layar ponselku, "Keluargaku merindukanku, aku harus pulang.See ya~".

Tiba-tiba rasa sakit dan kosong muncul di dada dan perutku, entah kenapa. Dengan cepat aku membalas pesannya sembari tergopoh-gopoh bersiap untuk pergi.

"I thought you'll stay here." tulisku di kolom chat.

Tak lama, balasan pun tiba, "I thought we were drunk last night.".
Shit. Aku lemas lalu menangis. Entah kenapa.

Bali, 12 April 2018.