Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sukhoivsf22Avatar border
TS
sukhoivsf22
'Bendera Putih' dari Pengusaha Atas Kenaikan Bunga Acuan BI
'Bendera Putih' dari
Pengusaha Atas Kenaikan
Bunga Acuan BI

ulf, CNN Indonesia
Jumat, 16/11/2018 14:06
'Bendera Putih' dari Pengusaha Atas Kenaikan Bunga Acuan BI
Ilustrasi penjualan ritel. (CNN
Indonesia/Hesti Rika Pratiwi).


Jakarta, CNN Indonesia -- Bank
Indonesia (BI) kembali
mengerek bunga acuan (7 Days
Reverse Repo Rate/7DRRR)
sebesar 25 basis poin menjadi 6
persen pada November 2018.
Kenaikan ini merupakan keenam
kalinya dengan total kenaikan
175 bps.

Kebijakan moneter ketat diambil
di era kepemimpinan Gubernur BI
Perry Warjiyo. Langkah agresif ini
ditempuh bukan tanpa alasan,
sejalan dengan upaya
pemerintah menstabilkan nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS.

Namun, rupanya ada yang
terseok-seok karena upaya BI menstabilkan nilai tukar dengan mengerek bunga acuan
tersebut. Pengusaha yang
tergabung dalam Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo),
misalnya.

Seperti diungkapkan Ketua
Umum Apindo Haryadi
Sukamdani, kenaikan bunga
acuan yang agresif membuat
pelaku usaha kelimpungan.
"Sudah cukup di level ini saja.
Kami berharap, jangan sampai
naik lagi," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat
(16/11).

Toh, nilai tukar rupiah
menunjukkan tren penguatan
terhadap dolar AS. Pagi ini,
bahkan rupiah paling mengilap di
antara mata uang negara-negara
Asia lainnya di level Rp14.590 per
dolar AS atau menguat 75 poin
(0,51 persen) dibanding kemarin
sore.

Pasalnya, Haryadi melanjutkan
ada tambahan biaya yang
ditanggung pelaku usaha dari
kenaikan bunga pinjaman
sebagai akibat dampak
penyesuaian bunga acuan.
Maklumlah, pinjaman perbankan
masih mendominasi sumber
pendanaan para pelaku usaha.

Ketua Gabungan Pengusaha
Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman bilang sekitar 70 persen dari total
pendanaan pengusaha berasal
dari pinjaman bank, hanya 30
persen sisanya berasal dari
kantong perusahaan.

Dengan kondisi tersebut,
sambung dia, pelaku usaha tidak
bisa sembarangan melakukan
penyesuaian harga jual ke
konsumen. "Karena melihat daya
beli. Kami akan lihat di awal
Januari seperti apa," katanya.

Sebab, Adhi menilai upaya
pemerintah merangsang daya
beli masyarakat belum ampuh,
terutama di kalangan ekonomi
menengah ke bawah. Makanya,
kalau pun terjadi kenaikan harga,
maksimal yang bisa dipatok
hanya 5 persen.

"Lebih dari hitungan itu, kami bisa kehilangan konsumen. Kalau saya melihat kelas bawah ini, memang
semakin terlihat daya belinya
semakin rendah," imbuh dia.

Ancam Ekonomi

Sebetulnya, ekonom Indef Bhima
Yudhistira menilai dampak
kenaikan bunga acuan BI
terhadap daya beli masyarakat
sudah tampak. Tengoklah,
pertumbuhan konsumsi rumah
tangga pada kuartal ketiga tahun ini cuma 5,01 persen atau
melambat dibanding periode
sebelumnya, yaitu 5,14 persen.

Hal itu disinyalir karena
masyarakat cenderung menahan,
bahkan mengurangi konsumsi.
Padahal, konsumsi rumah tangga
berkontribusi sekitar 56 persen
atau separuh dari Produk
Domestik Bruto (PDB) nasional.

"Makanya, konsumsi rumah
tangga sulit untuk tembus di
atas 5,2 persen. Efeknya nanti,
sesuai prediksi IMF bahwa pertumbuhan ekonomi kita pada
2018 dan dan 2019 hanya mampu
tumbuh 5,1 persen. Saya kira ini
implikasi logis kenaikan suku
bunga acuan," terang Bhima.

Pendapat senada juga
disampaikan ekonom BCA David
Sumual. Menurut dia, banyak
faktor ekonomi nasional akan
bertengger di posisi 5,1 persen.
Salah satunya, defisit transaksi
berjalan yang masih lebar, yaitu
US$8,8 miliar atau setara 3,37
persen terhadap PDB kuartal III.

Faktor lain, Indonesia masih
dibayangi oleh ketidakpastian
ekonomi global. "Jadi ekonomi
tumbuh 5 persen saja sudah
bagus. Untuk tahun ini masih bisa
5,1 persen," jelasnya.

Untuk mengurangi tekanan daya
beli ke ekonomi, David menyarankan pemerintah untuk
bekerja ekstra keras mendorong
ekspor dan investasi. Saat ini,
keduanya boleh dibilang masih
melempem.

Lihat saja, ekspor per Oktober
2018 cuma meningkat 5,87
persen, yaitu dari US$15,25 miliar
pada bulan sebelumnya menjadi
US$15,8 miliar. Kinerja ekspor ini
kalah jauh dari aktivitas impor
yang meroket 20,6 persen
menjadi US$17,62 miliar pada
Oktober 2018.

Sementara, investasi melorot 1,6
persen pada kuartal ketiga
menjadi Rp173,8 triliun jika
dibandingkan dengan periode
yang sama tahun lalu.

"Ada ketergantungan yang tinggi
pada ekspor komoditas
sehingga kita harus mencari
sumber ekspor yang lain. Selain
itu reformasi struktural harus
didorong. Ada revisi DNI (Daftar
Negatif Investasi) dan lain-lain,
kita buat supaya investasi di
sektor riil semakin menarik," tutur
David.

(bir)

https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/2...bunga-acuan-bi
nona212
nona212 memberi reputasi
1
1.6K
20
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.3KThread41.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.