Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mendoan76Avatar border
TS
mendoan76
Ini Instrumen yang Diduga Sebabkan Kecelakaan Lion Air JT 610
Ini Instrumen yang Diduga Sebabkan Kecelakaan Lion Air JT 610

Suara
2018/10/30 18:16
Mengikuti

Misteri jatuhnya pesawat Boeing 737 MAX 8 milik Lion Air bernomor registrasi PK-LQP di Tanjung Karawang, Jawa Barat pada Senin pagi belum juga terungkap.

Hingga Selasa (30/10/2018), tim SAR masih terus mencari pesawat bernomor penerbangan JT 610 yang membawa 189 orang itu, meski sejumlah spekulasi tentang penyebab jatuhnya pesawat tersebut sudah banyak beredar di publik.

Para pakar keselamatan penerbangan menekankan bahwa investigasi kecelakaan itu masih dalam tahap awal dan terlalu dini untuk menyimpulkan atau berspekulasi soal penyebab kecelakaan.

Tetapi beberapa pilot dan teknisi penerbangan, kepada Reutersmengatakan bahwa berdasarkan data yang dikumpulkan website pemantau penerbangan sipil Flightradar24, kecelakaan itu kemungkinan disebabkan oleh pitot static system.

Pitot static system terdiri dari instrumen-instrumen yang sangat sensitif terhadap tekanan dan berfungsi untuk memberikan informasi tentang kecepatan pesawat di udara (airspeed) serta ketinggian pesawat kepada pilot.

"Perubahan-perubahan besar ketika menanjak atau menukik di waktu-waktu awal penerbangan itu membuat saya berpikir soal unreliable speed," kata seorang pilot dari maskapai berbeda yang menolak identitasnya diumbar.

Unreliable speed yang dimaksud di sini adalah ketika pitot static system tak memberikan informasi yang tepat soal kecepatan pesawat kepada pilot.

Data dari FlightRadar24 menunjukkan bahwa sejak awal ada yang aneh pada JT 610. Dua menit setelah tinggal landas, pesawat itu mencapai ketinggian sekitar 2.000 kaki.

Pada titik itu, pesawat kemudian turun lebih dari 500 kaki dan berbelok ke kiri sebelum naik lagi ke 5.000 kaki. Pesawat nahas itu berada di ketinggian tersebut selama beberapa menit ke depan

Pesawat kemudian menambah kecepatan dan mencapai kecepatan 345 knots (638,9 km/jam) sebelum hilang di ketinggian 3.650 kaki.

"Mereka terbang lebih cepat dari yang seharusnya," kata pilot kedua juga dari maskapai berbeda.

Pipa pitot sendiri adalah pipa ramping berlubang yang biasa ditemukan pada sayap atau tubuh pesawat. Fungsinya untuk mengetahui kecepatan pesawat di udara (airspeed), sebuah fungsi yang sangat vital bagi pilot untuk mengemudikan pesawat.

Jika terlalu pelan, maka pesawat akan jatuh. Tetapi terlalu cepat, maka pesawat bisa pecah berkeping-keping.

Setiap pipa, demikian tulis The New York Times, memiliki dua lubang. Pertama, lubang yang terletak di depan tempat udara mengalir dan sebuah lubang lagi di sisi pipa.

Pipa itu bekerja dengan cara mengukur perbedaan tekanan stagnasi di bagian depan pipa dengan tekanan statis pada sisi pipa. Beda tekanan itu bisa menentukan kecepatan pesawat di udara.

Pipa itu mengambil nama Henri Pitot, seorang ilmuwan Prancis dari abad 18 yang menemukan instrumen untuk mengukur kecepatan aliran sungai.

Masalah pada pipa Pitot inilah yang diyakini sebagai biang kerok jatuhnya pesawat Air France bernomor penerbangan 447 di Samudera Atlantik pada 2009.

Para investigator mengatakan bahwa akibat adanya kristal es yang menutup lubang pipa, sistem komputer pesawat gagal menghitung dengan tepat kecepatan pesawat dan menyebabkan pilot keliru bereaksi.
++++

Gimana koment agan2 neh..apakah bener itu tabung pitot yg bermasalah..ato yg lain..
Yg newbie ato jago ttg mekanik badan pesawat..
Silahkan bisa urun rembug di trit ini...
Monggo...

+++++
*Bahaya di Hidung Pesawat*
Oleh: Tempo.co
11 Agustus 2009 17:35 WIB
000

TEMPO Interaktif, Washington - Jatuhnya pesawat Air France ke Samudra Atlantik pada Juni lalu ternyata mengungkap "kelemahan" pada pesawat Airbus.

Kelemahan tersebut selama ini luput dari perhatian. Siapa sangka, alat pembaca kecepatan terbang yang amat penting untuk menjaga pesawat tetap mengapung di udara ternyata kerap mengalami malfungsi.

Kegagalan sensor kecepatan terbang atau lebih dikenal dengan nama tabung pitot itu tak cuma dialami pesawat Air France dengan nomor penerbangan 447 dari Rio de Janeiro, Brasil, menuju Paris, Prancis, tapi juga pesawat Airbus milik maskapai Amerika Serikat. *Tabung pitot atau pitot tube adalah alat pengukur kecepatan pesawat di udara yang terpasang di kedua sisi hidung pesawat.*

Sebetulnya ini bukan pertama kalinya sensor kecepatan atau tabung pitot buatan Thales itu dilaporkan rusak. Sejak 2008, beberapa pilot telah melaporkan adanya masalah dengan sensor tersebut.

Para penyelidik federal Amerika Serikat menemukan bahwa dalam sedikitnya belasan penerbangan yang dilakukan maskapai udara Amerika Serikat belakangan ini, pilot tak bisa mengetahui seberapa cepat mereka terbang akibat tak berfungsinya tabung pitot. Kerusakan alat pengukur kecepatan terbang ini dipercaya sebagai penyebab jatuhnya pesawat Air France yang menewaskan 228 awak dan penumpangnya pada Juni lalu.

Penemuan ini mengungkap bahwa masalah gagal berfungsinya peralatan tersebut ternyata jauh lebih luas daripada yang diduga. Hasil penyelidikan itu membuat masalah penggantian sensor udara semakin mendesak untuk segera direalisasikan serta menelusuri bagaimana gangguan tersebut bisa terjadi berulang kali tanpa terdeteksi sistem keamanan terbang.

Kegagalan alat tersebut membaca kecepatan terbang itu seluruhnya terjadi pada pesawat Airbus A330 Northwest Airlines, dan umumnya berlangsung singkat. Kasus malfungsi itu baru diketahui setelah pejabat keamanan udara mulai menginvestigasi kecelakaan Air France dalam penerbangan dari Rio de Janeiro menuju Paris dan dua kasus malfungsi di udara lainnya.

Kasus malfungsi tabung pitot ini jauh lebih serius dibanding rusaknya speedometer yang terdapat pada mobil atau motor. Bila sebuah speedometer mobil menggunakan rotasi ban untuk menghitung kecepatan, sebuah pesawat mengandalkan sensor tabung pitot untuk mengukur perubahan tekanan udara. Komputer kemudian menginterpretasikan informasi itu sebagai kecepatan.

Rusaknya speedometer mobil mungkin hanya akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pengemudi. Namun, sistem kendali pesawat amat mengandalkan informasi kecepatan yang akurat agar bisa bekerja dengan semestinya. Terbang terlampau cepat dapat menyebabkan terjadinya masalah struktural pada pesawat, sebaliknya terbang terlalu lambat dapat menyebabkan pesawat kehilangan daya angkat dan jatuh.

Seperti apa yang terjadi pada penerbangan Air France yang jatuh ke Atlantik, insiden yang dialami pesawat milik Northwest dan dua kasus malfungsi lain itu melibatkan pesawat yang menggunakan sensor buatan perusahaan elektronik besar Eropa, Thales Corp.

Jatuhnya Air France memancing munculnya pertanyaan terhadap reliabilitas sensor dan memicu desakan untuk segera mengganti alat tersebut. "Kami meminta maskapai memodifikasi tabung pitot dengan sensor lain yang tidak menjadi obyek keluhan," kata Erick Derivry, juru bicara serikat pilot nasional Prancis (SNPL).

Meski demikian, sejumlah perusahaan hanya mengganti tabung pitot pesawatnya dengan sensor model lain buatan Thales juga. Ketika Airbus dan badan pengawas penerbangan Eropa menyadari bahwa masalahnya lebih luas, mereka meminta perusahaan maskapai penerbangan untuk mengganti sedikitnya dua dari tiga sensor di tiap pesawat dengan model buatan Goodrich Corp., perusahaan asal North Carolina. Pesawat tetap diperbolehkan terbang setelah perubahan dilakukan.

Pejabat Thales menolak berkomentar. Sebelumnya, perusahaan itu menyatakan bahwa sensor itu dibuat sesuai dengan spesifikasi Airbus. Insiden yang dialami pesawat milik Northwest terungkap ketika Delta Air Lines, yang tahun lalu bergabung dengan Northwest, meninjau arsip data penerbangan 32 pesawat Airbus A330 di maskapai tersebut.

Seluruh insiden malfungsi terjadi di atas Zona Konvergensi Intertropikal, daerah pertemuan massa udara dari belahan bumi utara dan selatan, yang membentang dari lima derajat lintang utara di khatulistiwa sampai lima derajat lintang selatan. Untungnya, semua pesawat yang mengalami sensor malfungsi itu mendarat dengan selamat.

Pakar aviasi mengatakan bahwa temuan itu dapat memberikan petunjuk tentang penyebab pesawat Air France jatuh ke Atlantik pada 1 Juni lalu. Temuan ini diharapkan dapat membantu mencari apa yang harus dilakukan untuk mencegah tragedi itu terulang kembali.

Hasil investigasi penyelidik Prancis telah terfokus pada kemungkinan bahwa sensor pesawat nahas itu telah membeku tertutup es dan mengirimkan informasi kecepatan yang salah kepada komputer ketika pesawat itu menembus badai petir pada ketinggian 10.668 meter.

Sebuah bagian penting dari investigasi itu difokuskan pada 24 pesan otomatis yang dikirimkan pesawat itu dalam menit-menit terakhirnya. Pesan itu menunjukkan bahwa autopilot tidak bekerja, tapi belum jelas apakah pilot sengaja mematikannya atau sistem itu mati karena pembacaan kecepatan terbang yang bertentangan.
Tiga pekan setelah jatuhnya Air France, Dewan Keselamatan Transportasi Nasional Amerika Serikat (NTSB) mengumumkan bahwa mereka tengah mengusut dua penerbangan pesawat Airbus A330 lain yang juga mengalami hilangnya data kecepatan terbang.

Kasus terakhir terjadi pada 23 Juni, ketika sebuah pesawat Northwest terbang menerjang hujan dan turbulensi di dekat Kagoshima, Jepang. Menurut laporan NTSB, data kecepatan mulai berfluktuasi. Sistem komputer pesawat memberi tahu pilot bahwa pesawat terbang terlalu cepat. Autopilot dan sistem lainnya mulai padam, membuat hampir seluruh kendali pesawat berada di tangan pilot, sesuatu yang biasanya hanya terjadi dalam keadaan darurat.

Kejadian lainnya berlangsung pada Mei, saat itu sebuah pesawat milik TAM Airlines, perusahaan Brasil, kehilangan data ketinggian dan kecepatan terbangnya ketika terbang dari Miami menuju Sao Paulo, Brasil. Autopilot dan tenaga otomatis juga mati, dan pilot harus mengambil alih kendali pesawat, menurut laporan NTSB. Sistem komputer kembali menyala lima menit kemudian.

"Dua kasus ini bisa ditangani dengan efektif oleh para awak pesawat dan kami menduga inilah yang terjadi pada Air France dan mungkin peristiwa itu tak bisa ditangani secara efektif," kata Bill Voss, presiden Flight Safety Foundation di Alexandria, Virginia.

Morgan Durrant, juru bicara US Airways, yang juga mengoperasikan Airbus A330, menyatakan belum ada laporan terjadinya masalah tersebut pada 11 pesawatnya.

Meski demikian, Delta/Northwest dan US Airways belum lama ini telah mengganti tabung pitot lama dengan tabung model baru buatan Thales juga. Kedua perusahaan itu menyatakan kini mereka mulai mengganti sensornya dengan tabung bikinan Goodrich.

Tindakan kedua maskapai Amerika itu ternyata juga diikuti oleh Air France yang memutuskan untuk menggunakan sensor buatan Goodrich. Keputusan itu diambil menyusul gencarnya desakan untuk meninggalkan tabung pitot buatan Thales. Pada Juni lalu, serikat pilot Air France mendesak anggotanya untuk menolak menerbangkan Airbus A330 A340 kecuali sensor Thales telah diganti.

TJANDRA DEWI | AP | NTSB | REUTERS
https://tekno.tempo.co/read/192035/bahaya-di-hidung-pesawat
4
19.4K
61
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.6KThread41.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.