Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

naniharyono2018Avatar border
TS
naniharyono2018
Skandal Meikarta yang Menggoyang Pohon Bisnis Grup Lippo. Kemungkinan Kolaps?
Skandal Meikarta yang Menggoyang Pohon Bisnis Grup Lippo
Selasa 23/10/2018, 06.00 WIB


Merujuk analisis perhitungan Altman Z-score, beberapa perusahaan Grup Lippo sejatinya memiliki kemungkinan kolaps yang cukup tinggi.

Pengusutan kasus dugaan suap perizinan proyek Meikarta terus bergulir dan mengarah ke korporasi Grup Lippo  serta sang penggawa, James Tjahaja Riady. Padahal, megaproyek tersebut digadang-gadang menjadi mesin uang baru Lippo di tengah seretnya likuiditas dan tumpukan utang sejumlah anak usahanya di sektor properti dan retail. Kasus ini juga menggerus nilai kapitalisasi perusahaan-perusahaan Lippo di bursa saham dan memperbesar risiko kebangkrutan usahanya. 

Kamis (18/10) pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah James di Perumahan Taman Golf, Lippo Village, Tangerang. Kantor PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) di Menara Matahari, yang berlokasi tidak jauh dari rumahnya, juga disatroni KPK. Di Bekasi, kantor anak usaha pengembang properti tersebut yaitu PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK), juga bernasib sama.

Total, komisi anti rasuah mengaduk-aduk 12 lokasi. Selain tiga tempat tersebut, KPK juga menyambangi antara lain, Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi, kantor Bupati Bekasi Nenang Hassanah Yasin, rumah pribadi Neneng, rumah petinggi Grup Lippo Billy Sindoro, dan apartemen Trivium Terrace di Bekasi.
Penggeledahan ini menyusul penangkapan 9 orang tersangka dalam kasus sangkaan suap perizinan proyek Meikarta. Empat orang yang diduga sebagai pemberi adalah Billy Sindoro, Taryudi (Konsultan Grup Lippo), Fitra Djaja Purnama (Konsultan Lippo), dan Henry Jasmen (Pegawai Grup Lippo).


Sedangkan lima orang diduga sebagai penerima: Neneng Hasanah, Jamaludin (Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kabupaten Bekasi), Sahat MBJ Nahor (Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kab. Bekasi), Dewi Tisnawati (Kepala Dinas Penanaman Modal), dan Neneng Rahmi (Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PU). Mereka diduga menerima suap Rp 7 miliar dari total komitmen Rp 13 miliar.


(Baca: Rumah James Riady Digeledah, Saham Grup Lippo Rontok


Sejak awal, masalah perizinan sudah mengganjal proyek pembangunan kota baru seluas 774 hektare (ha) di Cikarang, Jawa Barat, dengan total nilai investasi Rp 278 triliun tersebut. Menurut Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, pemberian suap untuk memuluskan terbitnya izin dalam tiga tahap. Fase pertama izin untuk lahan seluas 84,6 ha. Fase kedua untuk 252 ha dan fase terakhir 101,5 ha.



James Riady (Donang Wahyu | KATADATA)
 
Bergulirnya pengusutan kasus ini dpata memukul Grup Lippo dari berbagai sisi. Selain mengganggu penjualan dan pembangunan proyek Meikarta, Lippo dapat dijerat dengan kasus pidana korupsi korporasi.


Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara oleh Korporasi. “KPK bisa langsung menetapkan tersangka terhadap korporasi mengingat semua perizinan itu untuk kepentingan perusahaan,” kata pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar.


Kabar kasus tersebut juga memukul harga saham beberapa perusahaan Grup Lippo yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Harga saham Lippo Karawaci misalnya, selama pekan lalu anjlok 5,07% menjadi Rp 272 per saham pada Jumat (19/10).


Dalam waktu yang sama, harga saham Lippo Cikarang, yang merupakan induk usaha PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pengembang proyek Meikarta, juga turun 6,53% menjadi Rp 1.300 per saham. Nasib serupa menimpa PT Siloam Hospitals Tbk (SILO) --anak usaha Lippo Karawaci-- yang harga sahamnya merosot 4,56%.


Kemalangan juga menimpa anak-anak usaha Lippo di sektor nonproperti. Harga saham PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) turun 6,6% sedangkan PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) melorot 6,05% selama pekan lalu. Adapun, harga saham PT Bank National Nobu Tbk (NOBU) turun 0,55%.


Sementara harga saham PT Multipolar Tbk (MLPL) --induk usaha sektor retail Lippo-- sempat anjlok 9,85% saat muncul berita penangkapan Billy Sindoro dan kawan-kawan, Senin (15/10). (Baca: Batal Bertemu Direksi BEI, Lippo Cikarang Fokus Investigasi Internal

Harga surat utang terbitan perusahaan-perusahaan Lippo juga menurun sehingga beban keuangan untuk membayar bunga utang bertambah besar. Per 17 Oktober lalu, yield to maturity obligasi dolar Lippo Karawaci yang akan jatuh tempo pada 2022 dan 2026 rata-rata naik 8% sejak diterbitkan. Jadi, perusahaan harus menanggung bunga yang lebih tinggi untuk membayar utangnya yang akan jatuh tempo dalam 12-18 bulan ke depan.




Peringatan Lembaga Pemeringkatan

Lembaga pemeringkat global pun langsung mengeluarkan peringatan dampak kasus suap Meikarta terhadap Grup Lippo. Moody's Investor Service menilai, kasus dugaan suap tersebut menjadi sentimen negatif bagi kinerja emiten Grup Lippo, terutama Lippo Karawaci. Kepercayaan investor dan konsumen akan tergerus sehingga penjualan properti di proyek tersebut terancam melambat.

"Kepercayaan konsumen yang jatuh akan menahan penjualan baru di proyek Meikarta sementara ketidakpastian  penyelesaian unit-unit yang dijual bisa menunda atau mengurangi arus kas dari konsumen yang sudah mengikat perjanjian jual beli," kata Analis Senior Moody's Jacintha Poh, dalam laporannya, Kamis (18/10).


Pada 19 September lalu, Moody's sudah menurunkan peringkat kredit Lippo Karawaci dari B2 menjadi B3. Ini adalah level kredit terendah yaitu spekulasi tinggi (highly speculative grade) dengan profil risiko kredit yang tinggi. Pemangkasan ratingini menyusul peringatan Moody's sebelumnya yang mengkhawatirkan kinerja operasi dan likuiditas perusahaan. Alhasil, Moody's juga menyematkan prospek "Negatif" untuk Lippo Karawaci.


Penurunan peringkat mencerminkan ekspektasi Moody's bahwa arus kas operasional Lippo Karawaci di tingkat perusahaan induk akan melemah lebih lanjut dalam 12-18 bulan ke depan. "Kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban utangnya akan bergantung pada kemampuannya mengeksekusi aset penjualan, " ujar Poh.


(Baca:  Bisnis Grup Lippo Terseret Masalah Keuangan Lini Properti




Meikarta - Luhut ( ANTARA FOTO/Risky Andrianto)
 

Pada 25 April 2018, Moody's lebih dulu menurunkan peringkat kredit Lippo Karawaci dari B1 menjadi B2 dengan prospek negatif. Selain itu, memangkas rating obligasi Theta Capital Pte Ltd, anak usaha sayap bisnis properti Grup Lippo, dari B1 menjadi B2, dengan prospek negatif.

Pada 11 April lalu, Moody's sudah memperingatkan, sedang mengkaji penurunan rating Lippo Karawaci setelah perusahaan terlambat melaporkan kinerja keuangan 2017 dan gagal memenuhi kewajiban pelaporan khusus dalam penerbitan pinjaman berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS).


Senin (8/10) lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) juga menjatuhkan sanksi peringatan tertulis terhadap LPKR dan LPCK  karena belum menyampaikan laporan keuangan audit tengah tahun 2018.


Moody's melihat, arus kas operasional LPKR di tingkat perusahaan induk akan terus negatif dalam kurun 12-18 bulan ke depan. Perhitungan arus kas total konsolidasi ini tidak termasuk arus kas dari anak usaha Siloam International dan Lippo Cikarang, namun melingkupi arus kas antarperusahaan seperti dividen dan hasil penjualan aset.


Lembaga pemeringkat internasional lainnya, Standard & Poor's (S&P) Global Ratings juga menilai, kasus dugaan suap ini menimbulkan pertanyaan mengenai tata kelola internal perusahaan. Apalagi, Lippo Karawaci dinilai memiliki penyangga likuiditas yang tipis.


S&P berpendapat, bakal ada dampak kasus dugaan suap terhadap kemajuan dan arus kas proyek Meikarta. Ini berujung pada tekanan lebih lanjut terhadap likuiditas perusahaan.


(Baca: Empat Korporasi Besar Terbelit Masalah Pelemahan Kurs Rupiah)


"Lippo mungkin perlu menyuntik modal jika proyek tidak mampu didanai sendiri secara mandiri dan membutuhkan lebih banyak modal," seperti dikutip dari laporan S&P, Kamis.

S&P menilai, penjualan aset Lippo akan memberi tambahan likuiditas sementara untuk perusahaan. Namun, S&P yakin perusahaan akan terus menghadapi tekanan likuiditas karena penjualan aset hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pembayaran utang selama satu tahun ke depan.


Tumpukan Masalah di Anak Usaha


Lippo Karawaci memang salah satu pilar kelompok usaha yang didirikan Mochtar Riady tersebut. Ada dua lini usaha utama Grup Lippo. Pertama, sektor properti yang dimotori oleh Lippo Karawaci dengan dua anak usaha besarnya yaitu Lippo Cikarang dan Siloam International Hospitals yang bergerak di bidang jasa rumah sakit.


Kedua, lini usaha retail yakni Matahari Putra Prima dan Matahari Department Store yang bernaung di bawah induk usaha (holding) bidang investasi yaitu Multipolar.


Bisnis retail ini pun tak lepas dari masalah. Moody's sudah menurunkan peringkat MPPA dari B2 menjadi B3. Menurut Analis Moody's Maisam Hasnain, penurunan peringkat ini mencerminkan peningkatan risiko likuiditas dan berkurangnya fleksibilitas keuangan.


Dengan laba negatif dan utang meningkat, profil kredit MPPA terus melemah karena mengeksekusi strategi transformasi untuk menghidupkan operasi, termasuk diskon harga yang curam dan rasionalisasi inventaris. Tapi, manfaat potensial masih harus direalisasikan.


Sebelumnya, MPPA berencana menerbitkan saham baru (rights issue) senilai Rp 802 miliar pada April 2018 untuk mendanai modal kerja. Namun, Moody's memperkirakan aksi korporasi itu kemungkinan akan tertunda.


"Tanpa rights issue, kami melihat MPPA akan mengandalkan utang untuk membiayai operasinya," kata Maisam. 


Akibatnya, leverage MPPA, yang diukur dengan utang yang disesuaikan untuk EBITDA, akan meningkat menjadi sekitar 7-8 kali pada akhir tahun ini. Tingkat seperti ini tidak dapat mendukung peringkat B3 perusahaan retail tersebut.

Moody's juga memperkirakan likuiditas MPPA akan semakin melemah, jika rights issue tertunda. Sebab, proyeksi kas dari operasi perusahaan kemungkinan akan tetap negatif hingga akhir tahun ini.


Bahkan, jika right issue berhasil meraup dana Rp 802 miliar sesuai yang direncanakan, Moody's memperkirakan, MPPA tidak akan memiliki cukup uang untuk membiayai operasinya, melunasi utang jatuh tempo terjadwal dan belanja modal.


(Baca: Moodys: Kasus Meikarta Makin Menekan Likuiditas Lippo Karawaci)


Analisis Katadata terhadap laporan keuangan emiten Grup Lippo, nilai penjualan keenam perusahaan mesin uang Grup Lippo tersebut mengalami tren penurunan selama lima tahun terakhir. LPCK, MLPL, dan MPPA mencatatkan pertumbuhan penjualan yang negatif tahun lalu. Sedangkan LPKR, SILO, dan LPPF masih meraih pertumbuhan positif, namun jauh melambat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.


LPKR misalnya, mencatatkan penjualan Rp 10,9 triliun pada 2017, atau hanya tumbuh 1,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Padahal, pada 2016, perusahaan properti ini mampu mencetak pertumbuhan penjualan 23,5%.


Di sektor retail, LPPF juga mengalami kondisi yang sama. Penjualannya tahun lalu hanya tumbuh 1,3%, melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh 9,9%.


Meski masih meraup keuntungan, dua emiten properti Grup Lippo yakni LPKR dan LPCK menderita penurunan laba bersih dibanding tahun sebelumnya. LPCK membukukan laba bersih Rp 366,8 miliar pada 2017 atau merosot 32% dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan laba bersih LPKR tahun lalu sebesar Rp 715,3 miliar atau turun 18,8%.


Menyusutnya pendapatan dan laba bersih sejumlah perusahaan diperburuk oleh beban utang yang tinggi. Akibatnya, kemampuan perusahaan membayar utang melalui hasil pendapatan operasional semakin melemah.

Indikator yang bisa digunakan adalah rasio utang terhadap laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA). Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan melunasi utangnya. Makin tinggi rasio utang terhadap EBITDA maka bakal semakin berat beban perusahaan untuk melunasi kewajibannya.

Ada tiga emiten Grup Lippo yang menanggung beban utang besar dengan rasio tinggi. LPKR memiliki utang terbesar dengan nilai Rp 13,8 triliun. Sedangkan rasio utang terhadap EBITDA sebesar 7,32 kali. Artinya, beban utang yang ditanggungnya 7,3 kali lebih besar dibandingkan perolehan profitnya.


Rasio ini terus meningkat dalam empat tahun terakhir, yaitu pada 2014 sempat menyentuh rasio terendah sebesar 2,6 kali. 


(Baca: Daya Tahan Enam Perusahaan Grup Lippo Menanggung Utang


Sementara itu, dengan kerugian yang diderita MLPL dan MPPA, kedua perusahaan ini masih harus menanggung beban utang tinggi yaitu masing-masing Rp 5,2 triliun dan Rp 1,4 triliun. Alhasil, rasio utangnya negatif: MLPL minus 4,9 kali dan MPPA 
minus 1,2 kali. Ini akan semakin menyulitkan perusahaan untuk melunasi utangnya.



Potensi Kebangkrutan


Secara umum, kondisi keuangan yang memburuk dan beban utang besar menjadikan perusahaan-perusahaan Grup Lippo kesulitan secara likuiditas jangka pendek dan menengah. Ujungnya, hal ini mengancam keberlangsungan usaha.


Rasio yang sering digunakan untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan adalah Altman Z-score. Jika skor Z di bawah 1,8, maka probabilitas perusahaan mengalami kebangkrutan sangat tinggi. Sementara skor di atas 3 berarti probabilitas bangkrut sangat kecil.


Berdasarkan analisis Katadata terhadap koefisien rasio dari laporan keuangan 2017, beberapa emiten Grup Lippo ternyata memiliki Skor Z Altman yang lebih rendah dari 1,8. Lippo Karawaci misalnya, memiliki skor hanya 1,50 atau probabilitas kebangkrutan yang tinggi.


MPPA bahkan mencatatkan Skor Z Altman hanya 1,44. Adapun, MLPL bahkan hanya mencatat skor sebesar 0,89. Sedangkan LPCK memiliki skor 1,78, sedikit di bawah ambang batas. Berbeda dengan SILO dan LPPF, mengantongi skor yang kuat masing-masing 8,53 dan 10,44.


Meski demikian, hal ini tidak lantas berarti perusahaan akan kolaps. Untuk LPKR misalnya, Moody's memperkirakan kasus dugaan suap memiliki dampak terbatas terhadap keuangan Lippo Karawaci yang merupakan induk di sektor properti.


Peringkat utang Lippo Karawaci di B3 dan prospek negatif yang diberikan Moody's pada September lalu tidak terpengaruh kondisi ini. Sebab, tidak memperhitungkan tambahan aliran kas dari proyek Meikarta maupun Lippo Cikarang.


Pada 18 September lalu, LPKR juga sudah mengumumkan penjualan sahamnya di Bowsprit kepada OUE Limited dan OUE Lippo Healthcare Limited (OUELH). Bowsprit merupakan pengelola aset Dana Investasi Real Estate (DIRE) atau Real Estate Investment Trust (REIT) senilai 202 juta dolar Singapura atau setara Rp 2,18 triliun. Sejumlah gedung seperti Life Tower dan Berita Satu Plaza di Jakarta merupakan salah satu asetnya.


(Baca: : Tiga Raksasa Properti Terseret Masalah Akibat Terpuruknya Rupiah


QUE mengambil alih 40% saham Bowsprit Capital Corporation Limited senilai 99 juta dolar Singapura. Sementara anak usaha OUELH, yakni OLH Healthcare Investments Pte Ltd, juga mengakuisisi 10,6% kepemilikan First Reit dari Bridgewater International Limited. Bridgewater merupakan anak usaha yang dimiliki secara tak langsung oleh LPKR. Nilai transaksinya 103 juta dolar Singapura.

Menurut Ketut Budi Wijaya, Presiden Direktur LPKR, prosesnya diharapkan tuntas pada akhir November 2018. Setelah rampung, kepemilikan LPKR di First REIT akan berkurang menjadi 10,6% dari sebelumnya 28,2%. Adapun, likuiditas LPKR akan meningkat dengan penjualan saham tersebut.




Sebelumnya, dalam keterangan resminya, Vice President Head of Corporate Communication Lippo Karawaci Danang Kemayan Jati menyatakan, perusahaan menyayangkan keputusan lembaga pemeringkat rating yang menurunkan peringkat kreditnya. Alasannya, fundamental perusahaan sejatinya tidak banyak berubah.

Meski demikian, LPKR berkomitmen untuk bekerja sama dengan para lembaga pemeringkat untuk menanggapi pendapat konstruktif mereka. LPKR juga menegaskan komitmen untuk memperkuat likuiditas dan neraca perusahaan sehingga memperoleh kembali peringkat sebelumnya dengan prospek stabil.


Untuk Matahari Putra Prima, meski likuiditasnya mengkhawatirkan, Moody's melihat perusahaan tersebut memiliki rekam jejak yang selalu berhasil memperbarui fasilitas pinjaman ketika jatuh tempo. Sebagai contoh, pada Januari 2018, MPPA memperpanjang fasilitas utangnya senilai Rp 300 miliar dengan Bank of China, hingga Januari tahun depan.

https://katadata.co.id/telaah/2018/1...nis-grup-lippo



---------------------------

Biasalah akhir nasib kerajaan bisnis orang Asia pada  umumnya, memang begitu. Biasanya memasuki generasi kedua, atau paling lama generasi ketiga ... langsung ambless atau di jual ke pihak ketiga. Bedalah dengan kerajaan bisnis orang Eropa dan Amerika, mereka bisa bertahan hingga 7 generasi, bahkan bisa lebih.

Kenapa bisa berbeda begitu?
Satu penyebabnya adalah budaya nepotisme dalam kerajaan bisnis mereka. Keluarga pemilik saham terbesar biasanya enggan menyerahkan CEO atau 'God Father'nya pada orang yang memang profesional di bidangnya, meski itu bukan family!

Diubah oleh naniharyono2018 24-10-2018 00:48
0
1.9K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.6KThread41.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.