kartika2019Avatar border
TS
kartika2019
(digital archive) Data CIA Jokowi Kalah Jika Pilpres 2019 Cuma Dua Kandidat
Neta: 
Data CIA Jokowi Kalah Jika Pilpres 2019 Cuma Dua Kandidat
RABU, 06 JUNI 2018 , 16:12:00 WIB 

RMOL. Petahana, Joko Widodo dipastikan akan kalah jika Pilpres tahun 2019 hanya diikuti oleh dua pasangan calon.

Hal itu seperti dikatakan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane saat diskusi bertajuk 'Tarik Ulur Kekuatan Capres Cawapres 2019. Siapa Berpeluang?' di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (6/6).

Menurut Neta argumentasinya berdasarkan informasi dari Central Intelligence Agency (CIA) yang menurutnya sempat 'bocor'.

"CIA bilang kalau ada tiga calon, Jokowi akan menang. Tapi kalau dua, diperkirakan Jokowi akan kalah. Hitung-hitungan CIA Jokowi tingkat elektabilitasnya tidak lebih dari 35 persen," ungkapnya 

Data CIA terkait tingkat elektabilitas Jokowi itu, sambung Neta sempat diungkapkan oleh wartawan senior Derek Manangka sebelum dia meninggal dunia.

Namun demikian, Neta menilai, jika Pilpres 2019 menghadirkan kandidat Jokowi dan Prabowo Subianto, dipastikan Jokowi akan menang. 

"Karena kan Pak Prabowo pernah kalah di Pilpres 2014 lalu," pungkasnya

https://politik.rmol.co/read/2018/06...-Dua-Kandidat-

PDIP: Jika Kalah di Jateng, Jokowi Kalah di Pilpres
Jumat 14 September 2018, 21:31 WIB


Semarang - Jawa Tengah dianggap menjadi penentu kemenangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019 mendatang. Bahkan PDIP meyakini, jika Jokowi kalah dalam pengumpulan suara di Jateng maka dia akan kalah dalam Pilpres.

"The fell of Jawa Tengah will be fall of Indonesia. Jika Jokowi kalah di Jateng maka kalah di Pilpres," kata Ketua DPD PDIP Jawa Tengah, Bambang Wuryanto, di kantor DPD PDIP Jateng, Semarang, Jumat (14/9/2018) malam.

Menurutnya, Jawa Tengah yang merupakan kandang banteng itu terkoneksi dengan daerah-daerah lain dan memiliki dampak yang kuat. Ada 3 daerah yang menjadi titik penentu kemenangan PDIP di Jateng.

"Ada 3 titik, di Surakarta, itu ibu kotanya PDIP, Semarang dan Banyumas," tandas lelaki yang akrab disapa Bambang Patjul tersebut.

Terkait juru kampanye (Jurkam), kepala daerah di Jateng dari PDIP sudah siap seluruhnya ditunjuk sebagai Jurkam. Bambang juga diajukan namanya sebagai ketua tim pemenangan di Jateng.

"Kemungkinan yang kuat memang di saya. Hanya saja kalau saya, fungsi ganda. Sebagai pemenangan Jokowi, memimpin Jateng di partai, apalagi saya juga caleg," jelasnya. 

https://news.detik.com/berita-jawa-t...lah-di-pilpres

Siapa yang jelas-jelas kalah dalam pilpres 2019?
September 14, 2018 4.14pm WIB


Banyak ahli politik menjelaskan bahwa keputusan Jokowi yang mengejutkan ini adalah hal yang tidak terduga dalam drama politik terbaru di Indonesia. Artikel ini tidak akan menganalisis keputusan politik strategis Jokowi dalam memilih Ma'ruf. 


Namun, artikel ini bertujuan untuk mengangkat ke permukaan masalah besar yang sejauh ini luput dari pembahasan: dampak negatif dari pencalonan Ma'ruf terhadap kelompok minoritas.

Apa yang hilang?
Kebanyakan ahli politik hanya fokus pada strategi politik Jokowi dalam memilih Ma'ruf sebagai kandidat wakil presiden. Para ahli ini mendasarkan analisis mereka pada cara-cara aktor politik mengambil pendekatan pragmatis untuk menang dan mengalahkan lawan mereka.


Dengan pendekatan semacam ini, wajar jika penunjukan Ma'ruf dianggap sebagai strategi politik yang canggih oleh para pendukung Jokowi atau sebagai strategi politik yang licik oleh lawan-lawannya.


Banyak yang menganggap bahwa Jokowi adalah ahli strategi politik yang hebat. Keputusannya memilih Ma'ruf bisa melemahkan lawan-lawan dari kubu Islam konservatif dan mungkin akan membawa kemenangan bagi Jokowi pada pilpres di bulan April tahun depan.


Yang hilang dari analisis ini adalah pembacaan terhadap dampak keputusan Jokowi dalam memilih Ma'ruf terhadap kelompok minoritas agama, seksual, dan gender.


Mengenal Ma'ruf lebih dalam
Ma'ruf bukanlah seorang tokoh ulama biasa. Ketika kita mengetik namanya dalam mesin pencarian Google, kita akan menemukan jejak andilnya dalam penerbitan beberapa fatwa terkait masalah-masalah yang sensitif.


Fatwa-fatwa tersebut mendiskriminasi hak-hak kelompok minoritas, termasuk perempuanLGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender), penganut Syiah dan Ahmadiyah.


Kepemimpinan Ma'ruf di MUI juga ditandai dengan penolakan kerasterhadap nilai-nilai “liberal”, “pluralisme”, dan “sekularisme”.


Meskipun NU diasosiasikan dengan pandangan-pandangan progresif terkait ajaran-ajaran Islam, tidak serta merta tepat jika kita menganggap Ma'ruf kemudian akan berpegang pada ajaran-ajaran progresif ini dan menerima kelompok minoritas.
Posisi Ma'ruf di NU mencerminkan perspektif yang beragam dalam organisasi NU.


Publik yang terfragmentasi
Keputusan Jokowi memilih Ma'ruf sebagai wakilnya menunjukkan karakteristik dari sistem politik Indonesia yang terbagi antara mereka yang mendukung dan melawan status quo.


Dalam kondisi politik seperti ini, aspek seperti kebijakan politik dan perlindungan hak-hak asasi manusia diabaikan untuk memberi tempat narasi-narasi yang mendorong kedua kubu yang berlawanan pada titik ekstrem.


Kesuksesan kandidat politik akan bergantung pada kemampuan mereka untuk membuat janji-janji populer yang mendukung sentimen publik, dan bukan pada kemampuan mereka dalam melindungi hak-hak asasi warga negara Indonesia.


Pada akhirnya, publik mungkin tidak begitu peduli tentang siapa yang benar secara moral. Mereka sebaliknya terdorong untuk membuktikan lawan mereka salah. Pada titik ini, baik pendukung Jokowi maupun lawannya, Prabowo Subianto, telah kehilangan nalar kritisnya untuk menilai dengan adil kandidat politik mereka.


Menegaskan diskriminasi
Jokowi memenangkan pilpres 2014 sebagai tokoh yang mendukung nilai-nilai pluralisme. Lima tahun kemudian, Presiden Jokowi menunjukkan dirinya tidak lebih dari sekadar politikus yang fokus utamanya adalah memenangkan pilpres meskipun itu berarti dirinya harus menyangkal prinsip-prinsip yang dianutnya lima tahun sebelumnya.


Segala bentuk aksi politik di ruang publik selalu mendatangkan konsekuensi.
Keputusan Jokowi mungkin merupakan langkah politik yang cerdas untuk menangkal kekuatan hebat dari kelompok Muslim konservatif di tengah iklim politik saat ini.


Namun, kita jangan lupa bahwa keputusannya juga memberikan penegasan dari calon pemimpin negara atas sikap antagonistik Ma'ruf terhadap orang-orang yang terpinggirkan.


Pemilihan Ma'ruf berarti pemberian tempat bagi perilaku misogini, homofobia, dan diskriminasi agama di tingkat politik tertinggi di Indonesia.


Memang benar adanya bahwa ranah pembuatan kebijakan selalu ada harga yang harus dibayar. Tetapi pertanyaannya adalah: mengapa orang yang terpinggirkan yang harus membayar?

https://theconversation.com/siapa-ya...es-2019-103157

Elektabilitas Sekitar 50 Persen, Jokowi Belum Aman

July 6, 2018, 2:09 pm

Jakarta, (Tagar 6/7/2018) - Dengan elektabilitas Jokowi sekitar 50 persen untuk ukuran incumbent belum pada posisi aman dan sangat rawan kalah dari lawannya. Berbeda dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode kedua, dimana elektabilitasnya sekitar 70 persen, meskipun hasil akhirnya mengalami penurunan.

Hal itu disampaikan Karyono Wibowo Pengamat Politik dari Indonesian Public Institute (IPI).


"Untuk kasus Jokowi saat ini, tim koalisinya jangan terlalu congkak, jangan sekadar membuat Jokowi itu senang atau confident. Beliau harus diberi masukan dengan kondisi riil. Ada pendapat Pak Jokowi dipasangkan dengan siapa pun jadi, jangan. Ini berbahaya. Saya sayang Pak Jokowi, makanya saya ingatkan," ucap Karyono saat menjadi pembicara diskusi tentang Peta Kekuatan Capres Pasca Pilkada Serentak, di Balai Sarwono, Jakarta Selatan, Kamis (5/7), mengutip Antara.


Ia berpendapat wacana poros ketiga yang digaungkan Partai Demokrat dengan menyandingkan Jusuf Kalla dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) atau Jusuf Kalla-Anies Baswedan dapat menggerus elektabilitas Joko Widodo pada Pilpres 2019.
"Kalau seandainya muncul poros ketiga maka berpotensi menggerus elektabilitas Jokowi. Masalahnya, adalah elektabilitas Jokowi saat ini masih dikisaran 50 persen," katanya. 


Berdasarkan hasil survei kuantitatif yang dilakukanya pada 20 April sampai 20 Mei 2018 dengan sampel 2040 responden, margin of erorr sekitar 2,2 persen, elektabilitas Jokowi sekitar 50 persen.


"Memang dari hasil survei itu Jokowi memang masih tinggi. Kalau kita bicara elektabilitas capres 2019, memang masih didominasi dua figur calon, Jokowi dan Prabowo. Tokoh-tokoh lain seperti Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, AHY, Muhaimain Iskandar, Sri Mulyani, dan Airlangga Hartarto. Ketum-ketum partai itu masih di bawah lima persen. Jadi di bawah Prabowo itu ada Anies, ada AHY," jelas Direktur IPI ini.


Menurut dia, bila dalam top of mind, jawaban spontan, apabila hari ini Pilpres, langsung spontan menjawab Jokowi dengan 43,5 persen dan Prabowo 16,2 persen.

https://www.tagar.id/elektabilitas-s...owi-belum-aman

-----------------------

Kalah?
Alamat banyak yang berpuasa sampoai 10 tahun lagi ...

emoticon-No Hope
Diubah oleh kartika2019 14-10-2018 11:38
-2
4.7K
50
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.8KThread40.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.