Jujur kalo ane baru malem ini mo nonton, biasa, menghindari ramenya penonton di hari-hari awal pelem.
Tapi kalo berkaca dari segtu banyaknya tomat busuk yang dilempar di rotten tomatoes agak ragu juga sih. Secara Penom ini gak nyatu sama MCU
Sebuah film yang diadaptasi dari cerita komik telah kembali meramaikan bioskop. Kali ini bukan kisah jagoan yang diangkat ke layar lebar, tapi salah satu musuh abadi Spider-Man bernama Venom.
Filmnya juga bertajuk
Venomdan telah tayang di Indonesia sejak Rabu (3/10/2018). Bagaimana tanggapan kritikus soal film yang dibintangi Tom Hardy dan disutradarai Ruben Fleischer itu?
Jika mengacu pada skornya di
Rotten Tomatoes,
Venom bisa dibilang agak mengecewakan. Saat artikel ini dibuat, baru 29 kritikus yang sudah menyetorkan ulasannya ke
Rotten. Dari 29 ulasan itu, hanya 8 yang menganggap
Venom bagus, sehingga skornya hanya 28 persen. Sementara nilai rata-ratanya hanya 4,3 dari 10 poin.
“Film mandiri pertama Venom ternyata seperti karakter komiknya. Sayangnya, kesamaan itu dari segi negatif yaitu kacau, berantakan, dan sangat membutuhkan keterikatan yang kuat dengan Spider-Man,” tulis
Rotten dalam kesimpulan kritiknya.
Meski karakter Venom merupakan salah satu musuhnya yang paling ikonis, Spider-Man sama sekali tidak ada dalam film
Venom. Sebab,
Venom dibuat oleh Sony/Columbia Pictures, sehingga tidak masuk dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) bikinan Marvel/Disney. Saat ini Spider-Man ada dalam semesta MCU, diperankan Tom Holland.
Alkisah, Eddie Brock adalah seorang jurnalis investigasi. Sempat terlibat sebuah skandal, ia berusaha kembali hidup normal. Sayangnya Eddie mengalami nasib malang setelah sesosok alien parasit berbentuk cairan hitam menjadikannya sebagai inang.
Eddie jadi punya kekuatan super, tapi sifatnya menjadi buas, dengan identitas baru: Venom. Ia berusaha mendominasi si parasit, dengan berjibaku melindungi seluruh dunia dari organisasi jahat yang mencari sumber kekuatan alien.
Menurut Michael Nordine dari
Indie Wire, film
Venom bagaikan alien parasit yang menjadi pusat cerita. Penonton entah suka, atau tidak suka. “Coba berkelahi dengannya, Anda akan mengalami nasib buruk. Menjadi satu dengannya, Anda mungkin bakal mencapai bentuk simbiosis mutualisme dengan film ini.”
Seperti dua sisi antara Eddie Brock dan Venom, film ini juga punya sisi terang dan gelap. Porsi kekerasan cukup tinggi, beberapa adegan menampilkan Venom memakan korbannya hidup-hidup.
Namun, di sisi lain ada beberapa adegan komedi yang muncul. Kejenakaan hadir dari hubungan antara Eddie dan Venom, sehingga film ini tampak seperti genre
buddy cop comedy ala
Rush Hour dan
Lethal Weapon.
“Film ini berisik, dengan aksi konyol ala film
buddy cop yang ingin penonton menikmatinya dengan popcorn dan bersenang-senang,” puji Charles Pulliam-Moore dari
io9.com. “Secara mengejutkan,
Venom adalah film aksi yang solid, yang ingin bikin penontonnya bersenang-senang.”
Menurut Moore,
Venom adalah film untuk kalangan umum. Karakterisasinya tidak terlalu dalam. Untungnya, ketiadaan hubungan antara
Venom dengan MCU malah menjadi keuntungan tersendiri.
“Rasanya menyegarkan, duduk dan menonton film asal mula pahlawan super gaya lama, yang benar-benar tak ada hubungan dengan semesta sinematik lainnya, yang artinya Anda harus mengingat-ingat apa saja yang sudah terjadi,” tulis Moore.
Chris Nashawaty dari
Entertainment Weekly menyimpulkan;
Venom tak jelek, tapi tidak bagus juga.
“Biasa-biasa saja dan tidak komunikatif, sebagai hasilnya jadi mudah terlupakan.
Venom hanya properti intelektual kelas dua dari Marvel yang meraung dan menggerung, tapi tak pernah memperlihatkan pada penonton, kenapa namanya ada di judul,” tulis Nashawaty.
Kesimpulan serupa juga ditulis oleh Owen Gleiberman dari
Variety. “
Venom bisa saja jadi film monster yang menarik, tapi film ini menghabiskan waktu terlalu banyak untuk menceritakan ihwal ia menjadi monster. Film
Venom sebenarnya menginginkan sekuel,” tulis Gleiberman.