Di saat ini
Ingin ku terlena lagi
Terbang tinggi di awan
Tinggalkan bumi di sini iiii iiiii
Spoiler for di saat ini ingiku tuliskan lagu sambil kukenang wajah muuu:
Lagu Ahmad Albar tentang syair kehidupan menemaniku. Pikiran nanar menatap jauh. Arah hidup yang di jalani harus terus di nikmati. Hujan panas silih berganti sudah terlewati.
Quote:
Dua dasawarsa silam masa bermainku tak berasa sudah di makan waktu dan tenggelam. Cita dan angan begitu tinggi kini jauh tergapai tangan tuk kugenggam. Namun, semua itu kucoba tak terbawa pikiranku dalam lingkaran suram. Kunikmati saja disaat malam. Ku kerjakan saja tugas dan apa yang harus ku lakukan di benderang ya mentari hingga sang Surya tenggelam. Lalu ku bersantai kembali menikmati beningnya malam. Kuputuskan merebahkan diri menggapai mimpi dalam keheningan malam. Walaupun saat itu masih ada yang membatik dengan malam hitam.
Saat sang Surya pancarkan sinarnya, jiwa pengelana mulai gelisah, aku menapaki susuran jejak jalan kehidupan. Ditengah kota gegap gempita kendaraan dan manusia yang menjualkan diri dalam keramayan. Dari sangar kehidupan hingga ramahnya jalanan bisa di temukan. Semua coba dijalankan. Jatuh bangun berdiri kembali, merayap merangkak mencoba menikmati seronoknya kehidupan.
Aku ibarat sebuah kecambah yang sedang tumbuh, ah tapi bukan, karena aku punya pikiran sedangkan toge hanya tumbuhan. Aku menganggap diri sebagai sebatang pohon, ah tapi bukan karena pohon diam mengakar menembus selapis demi lapis tanah kehidupan. Lalu apakah diri ini sebenarnya,? Masih terus kucari jawabannya. Mengikuti nasihat lagu tanya pada rumput yang bergoyang semuanya pun terdiam. Hingga aku berpikir, aku ya aku, kamu ya kamu, dia ya dia dan seterusnya. Semua status telah kucoba putus. Namun belum kukuh hati memutus.
Hari yang kulalui berganti ganti, apakah semuanya menyenangkan?. Tentu tidak, karena semua masih terpengaruh pasang surutnya emosi jiwa, jauh dekatnya pikiran nanar mengelayap. Dan aku mengenang sejenak masa lalu. Saat bermain bersama teman, keluar masuk belukar rimbunnya pepohonan, yang kini menjadi tempat terbuka area pertambangan.
Dulu masih ku ingat disana, saat belajar berenang, tak berani masuk ke kolam penyaringan, yang luas dan dalam sisa lumpur pertambangan. Namun ayahku menangkap ku dan melemparkannya ketengah kolam, dia cuma berdiri di tepi kolam, sedang kaki tanganku terus berayun bergerak, menggapai gapai, timbul tenggelam berputar dan tersedak dinginnya air waktu itu, hingga sampai ke tepi. Lalu menangis kencang sesegukan meraung memecah kesunyian tempat yang sepi area pertambangan yang baru di kupas. Selang beberapa saat aku mulai diam. Lalu ayah mendekat dan berkata sudah nangisnya,? Kamu seorang pria yang akan kamu jalani lebih kejam mungkin dari ini. Daku terdiam tak mengerti. Tiba tiba ayah menangkap ku dan melemparkannya kembali daku ketengah kolam hingga berulang kali. Dan setelah berpuluh kali pada saat aku di lempar ketengah, rasa mulai beda, mulai ku anggap ah biasa saja, kaki tangan pun mulai berayun dengan santai , memainkan irama tirta, memercik air di tengah kolam. Aku mulai merasa senang mengambang, ayah teriak, terus, terus, teruskan, lanjutkan, salam dua periode.
Aku pun mulai mengerti satu hal saat itu. Aku mulai bisa mengambang hingga berenang renang mengitari kolam karena dipaksa dan terpaksa. Rasa takut di lewati sebab semua terpaksa dijalani. Dan saat ini baru ku sadari, keterpaksaan terkadang adalah salah satu cara agar daku bisa nikmati seronoknya kehidupan.
Tak terasa waktu berjalan, membuat tulisan ini sambil menyeruput anugerah napas kehidupan. Kulihat penanda waktu memanggilku seakan. Mengingatkan ku bahwa sesaat lagi sudah harus aku kerjakan, tugas kemarin yang belum tunai . Hutang kerja yang belum usai. Di lain waktu kulanjutkan catatan ini. Untuk bisa aku baca kembali.