Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dragonfly1212Avatar border
TS
dragonfly1212
Secuil Kisah Gunung Slamet
Waktu itu, bulan Maret 2016. Salah satu tempat pelarian dari revisi skripsi. Sudah daftar jauh-jauh hari memang untuk mengikuti Eat, Sleep, and Hike 7 (ESH7) yang diadakan oleh Cozmeed Indonesia yang berlangsung pada 25 – 27 Maret 2016. Entah angin apa yang membuat saya mendaftar acara tersebut, sendiri. Pendakian gunung Slamet 3428 Mdpl via Baturaden, Purwokerto.

Singkat cerita, saya membuka email, dan mengecek list nama peserta. Fine. Tidak ada teman satu pun yang berangkat dari Jogja. Oke tidak masalah. Saya pesan tiket kereta sendiri waktu itu, dan booking rumah Indah Rahayu di Purwokerto untuk transit.

Cerita dimulai 23 Maret 2016 malam hari, H-1 sebelum keberangkatan. Mendadak ada info sangat urgent dibutuhkan darah O untuk anak penderita Leukimia di Sarjito, entah tidak kepikiran apapun langsung menuju Sarjito untuk donor. Kurang lebih pukul 23.00 WIB, saya selesai donor. Kemudian lanjut istirahat karena besok kereta pagi menuju Purwokerto sudah berjalan. Singkat cerita, 24 Maret 2016, entah badan rasanya enak banget buat tidur. Untung saja tidak bablas ke Cilacap ya. Masih dengan hawa ngantuk dan agak sempoyongan, masih efek donor dan kurang tidur semalam. Kemudian Indah menjemput di Stasiun dan kami memutuskan untuk dopping daging rendang favorit di rumah makan padang. Entah kenapa masih juga mengantuk, akhirnya numpang tidur dulu sebelum Technical Meeting pendakian nanti sore di Cartenz Purwokerto. Sebenarnya persiapan masih sangat amat kurang, mendadak banget, asli. Masih sibuk beli celana lagi karena kurang, beli gas, dan beli-beli lainnya. Singkat cerita, sore hari saya berangkat TM, ternyata TM itu langsung menuju basecamp pendakian Gunung Slamet via Baturaden. Asli, belum siap. Badan rasanya masih kekurangan darah. Tapi semangat, bismillah.

Dari Cartenz Store Purwokerto menuju basecamp kami naik mobil, karena saya terlambat dan tertinggal bus rombongan. Alhamdulillah, mba dan masnya sabar menanti, jadi kita tetap berangkat bersama walau terlambat. Alhamdulillah, yang tadinya berangkat sendiri langsung jadi banyak teman dari Jakarta, Surakarta, Depok, Semarang, Surabaya, dll. Asli, tidak terasa kalau dari Jogja berangkat sendiri.

Pendakian ini ada lebih dari 50 peserta dengan 8 perempuan dan sisanya adalah pria. Memang merupakan pendakian dengan jalur yang tidak biasa. Biasanya kalau ke gunung Slamet kita melalui pos Bambangan, Purbalingga. Oke, singkat cerita lagi, materi demi materi pendakian sudah kami serap. Banyak hal yang saya dapat disini, bukan hanya teman dan kesenangan, tapi materi pembekalan juga di alam bebas. Ya mirip waktu masih di organisasi pecinta alam dulu. Tapi ada uniknya karena ada materi tentang alam dan sosial media yang dibawakan oleh mas Jarwo (ini mas-mas yang lumayan sering saya repotin, sampai nama saya disebut juga kan di blognya, maaf ya mas).

Setelah serangkaian acara pembukaan dimulai waktunya istirahat, kami tidur di pendopo. Esok harinya, 25 Maret 2016, setelah sarapan dan keperluan lainnya kami mulai perjalanan pukul 9.00 WIB. Pemanasan dan lain-lain dulu sebelum jalan jauh. Kemudian naik mobil (jangan dibayangkan, hanya untuk profesional driver, sampai merem-merem naiknya) menuju gerbang pendakian (yang tidak ada wujud gerbangnya sama sekali). Oke, we are ready to start the journey. Hello, Anggi. Lupa ya. Kondisi fisikmu yang sebenarnya bagaimana?

Then, I’ll tell you all something... belum ada satu jam perjalanan, fine. Saya terkena mountain sickness (bisa tanya mbah google ms itu apa). Saya muntah, keringat dingin dan segala macamnya tidak jelas. Warna muka? Jangan tanya, asli pucat sudah. Nah, ini dia masa dimana saya mulai membuat repot mas Jarwo (instagramnya: @xspheriksx), beliau menawarkan untuk membawakan tas carrier saya, jadi beliau membawa dua tas carrier. Asli baik banget mas-mas anggota tim SAR sekaligus fotografer profesional di perusahaan ternama di Jakarta yang satu ini #promote sebagai ucapan maaf, hehe. Padahal dalamnya cukup lengkap beserta tenda dan teman-temannya. Kebayang ya beratnya berapa. Sungguh, rasanya seperti pecundang sih waktu itu, tapi mau bagaimana lagi. Menyadari kelemahan kadang harus. Singkat cerita, mendaki tanpa beban adalah sesuatu yang tidak begitu sulit, hehe. Tapi lihat wajah mas Jarwo malah jadi pucat, alhasil ada mas Tambor yang akhirnya menawarkan untuk bertukar Daypack. Karena beliau tidak membawa tenda jadi daypacknya jauh lebih ringan daripada tas carrier yang saya bawa. Oke, kita lanjut perjalanan dengan bertukar muatan.

Singkat cerita, kurang lebih pukul 15.00 wib, melewati POS II, hujan deras. Usut punya usut, mau cuaca cerah atau mendung, di POS ini akan tetap hujan deras. Mulai banyak korban hypotermia pada sesi ini. “Mas, jangan diem aja dong, please!”, itu yang saya teriakan terus, bukan karena ngga suka didiemin, kalau itu udah biasa kok #malahcurhat. Namun, ketika kondisi suhu di lapangan itu tidak bersahabat dan kita diam, kemungkinan terkena hypo sangat tinggi dan resiko kematian juga tinggi. Jadi, pecicilan lah kamu supaya badan tetap terjaga. Saya hanya bisa panik sembari menikmati dingin hujan yang menusuk tulang. Sungguh, jas hujannya tidak begitu ngefek, tetap basah kuyup dengan sepatu yang basah juga. Ditambah dengan banyaknya pacet (red: lintah kecil) yang membuat diri ini semakin grogi. Namun, ada tips supaya tidak terserah pacet. Ini tips langsung dari saya sebaga satu-satunya peserta yang tidak kena pacet. Ternyata menggunakan geitter saja tidak cukup, karena pacet kecil dan bisa menjangkau sampai area terjauh sekalipun. Saya menggunakan trash bag untuk melindungi kaki dari air dan pacet juga tidak bisa masuk.


Hari sudah mulai gelap dan hujan tak kunjung reda. Beruntungnya kami sudah menjamak sholat Ashar tadi dengan Dhuhur sebelum hujan. Dititik ini, agak berlebihan memang, rasanya hampir tidak kuat lagi. Hampir mati. Berjam-jam menggunakan pakaian basah dan hujan tak kunjung berhenti dan kita dituntut untuk jalan terus. “Mas, ngga bisa berhenti dan berteduh disini kah? Sebentar, aku ngga kuat lagi,” itu yang aku ucapkan waktu itu ke mas Nasrul. Pecundang ya aku? Hmm. “Ngga bisa, kita ngga ada tenda, dan kalau berhenti nanti hypo, sebentar lagi kok,” begitu jawabnya. Oke, tetap berjalan dengan nafas kembang kempis. Singkat cerita kami menemukan tempat berteduh sejenak di waktu maghrib, untuk makan mengisi tenaga, POS 3 kurang lebih masih 3 jam lagi. Saya terpisah dengan mas Tambor yang membawa tas carrier saya. Perlengkapan kami tertukar. Akhirnya diberi pinjaman kaos mas Nasrul karena pakaian yang saya gunakan dari tadi sudah sangat basah. Istirahat kurang lebih 30 menit dan kami melanjutkan perjalanan lagi hingga POS 3.

Pukul 21.00 wib, akhirnya di POS 3 tidak hujan, waktunya istirahat. Saya lupa kalau perlengkapan kami tertukar, mas Tambor tidak ada kabarnya sama sekali. Saya meminjam baju, jaket, kaos kaki milik mas dan mba yang ada. Baiknya mereka semua, tapi saya merasa merepotkan. Harus jadi catatan ya, walau berkelompok, yang namanya di alam bebas, harusnya tidak bergantung pada siapapun. Tenda pun akhirnya nebeng, satu tenda kapasitas 2 orang untuk berempat, luar biasa.

Pagi harinya, belum ada kabar sama sekali dari mas Tambor, perlengkapanku semua di sana. Aku ngga mungkin ngga pakai jilbab, stoknya habis, ini yang saya pakai pun cuma buff dengan hoodie jaket supaya tetap menutup aurat. Baju, celana, dll juga ga bisa merepotkan orang lain, mereka juga butuh. Perjalanan hingga puncak dan kembali masih 2 hari lagi. Finally, keputusan yang sangat berat. Akhirnya saya menyerah dan memutuskan untuk turun. Supaya tidak ada korban selanjutnya yang saya repotkan. Saya sadar, fisik dan perlengkapan juga kurang mendukung. Akhirnya saya turun kembali dengan ditemani 1 porter, duh, lupa namanya siapa. Maaf.

Singkat cerita ternyata hujan kemarin cukup keren, kami balik melalui jalur yang sama namun tidak bisa, karena banyak pohon besar yang tumbang. Beruntungnya saya turun dengan mas Porter yang suka bikin jalur, jadi kami mblasak-mblasak di jalur lain. Kemudian, apa yang terjadi setelah turun? Ternyata kami menemukan mas Tambor beserta rombongan lainnya sedang berhenti dan akan turun. Ya Allah, beruntungnya saya memutuskan untuk turun. Jika tidak dan menanti sesuatu yang tidak pasti di atas sana, bisa merepotkan lebih banyak lagi orang. Sudah lah, singkat cerita lagi kami turun bersama rombongan lainnya yang turun juga. Berhubung jalur ini cukup mistis kami harus sampai bawah sebelum gelap, beruntungnya kami bisa lebih ngebut. Hingga maghrib sudah sampai gerbang pendakian dan menanti mobil jemputan. Singkat cerita kami kembali ke rumah mas porter, duh siapa ya. Kami istirahat, bersih diri dan menghirup udara segar dengan kaki ngilu. Disertai oleh-oleh pacet yang masih sempat menyedot darah beberapa orang di rumah.

Waktu itu, bulan Maret 2016. Salah satu tempat pelarian dari revisi skripsi. Sudah daftar jauh-jauh hari memang untuk mengikuti Eat, Sleep, and Hike 7 (ESH7) yang diadakan oleh Cozmeed Indonesia yang berlangsung pada 25 – 27 Maret 2016. Entah angin apa yang membuat saya mendaftar acara tersebut, sendiri. Pendakian gunung Slamet 3428 Mdpl via Baturaden, Purwokerto.

Singkat cerita, saya membuka email, dan mengecek list nama peserta. Fine. Tidak ada teman satu pun yang berangkat dari Jogja. Oke tidak masalah. Saya pesan tiket kereta sendiri waktu itu, dan booking rumah Indah Rahayu di Purwokerto untuk transit.

Cerita dimulai 23 Maret 2016 malam hari, H-1 sebelum keberangkatan. Mendadak ada info sangat urgent dibutuhkan darah O untuk anak penderita Leukimia di Sarjito, entah tidak kepikiran apapun langsung menuju Sarjito untuk donor. Kurang lebih pukul 23.00 WIB, saya selesai donor. Kemudian lanjut istirahat karena besok kereta pagi menuju Purwokerto sudah berjalan. Singkat cerita, 24 Maret 2016, entah badan rasanya enak banget buat tidur. Untung saja tidak bablas ke Cilacap ya. Masih dengan hawa ngantuk dan agak sempoyongan, masih efek donor dan kurang tidur semalam. Kemudian Indah menjemput di Stasiun dan kami memutuskan untuk dopping daging rendang favorit di rumah makan padang. Entah kenapa masih juga mengantuk, akhirnya numpang tidur dulu sebelum Technical Meeting pendakian nanti sore di Cartenz Purwokerto. Sebenarnya persiapan masih sangat amat kurang, mendadak banget, asli. Masih sibuk beli celana lagi karena kurang, beli gas, dan beli-beli lainnya. Singkat cerita, sore hari saya berangkat TM, ternyata TM itu langsung menuju basecamp pendakian Gunung Slamet via Baturaden. Asli, belum siap. Badan rasanya masih kekurangan darah. Tapi semangat, bismillah.

Dari Cartenz Store Purwokerto menuju basecamp kami naik mobil, karena saya terlambat dan tertinggal bus rombongan. Alhamdulillah, mba dan masnya sabar menanti, jadi kita tetap berangkat bersama walau terlambat. Alhamdulillah, yang tadinya berangkat sendiri langsung jadi banyak teman dari Jakarta, Surakarta, Depok, Semarang, Surabaya, dll. Asli, tidak terasa kalau dari Jogja berangkat sendiri.

Pendakian ini ada lebih dari 50 peserta dengan 8 perempuan dan sisanya adalah pria. Memang merupakan pendakian dengan jalur yang tidak biasa. Biasanya kalau ke gunung Slamet kita melalui pos Bambangan, Purbalingga. Oke, singkat cerita lagi, materi demi materi pendakian sudah kami serap. Banyak hal yang saya dapat disini, bukan hanya teman dan kesenangan, tapi materi pembekalan juga di alam bebas. Ya mirip waktu masih di organisasi pecinta alam dulu. Tapi ada uniknya karena ada materi tentang alam dan sosial media yang dibawakan oleh mas Jarwo (ini mas-mas yang lumayan sering saya repotin, sampai nama saya disebut juga kan di blognya, maaf ya mas).

Setelah serangkaian acara pembukaan dimulai waktunya istirahat, kami tidur di pendopo. Esok harinya, 25 Maret 2016, setelah sarapan dan keperluan lainnya kami mulai perjalanan pukul 9.00 WIB. Pemanasan dan lain-lain dulu sebelum jalan jauh. Kemudian naik mobil (jangan dibayangkan, hanya untuk profesional driver, sampai merem-merem naiknya) menuju gerbang pendakian (yang tidak ada wujud gerbangnya sama sekali). Oke, we are ready to start the journey. Hello, Anggi. Lupa ya. Kondisi fisikmu yang sebenarnya bagaimana?

Then, I’ll tell you all something... belum ada satu jam perjalanan, fine. Saya terkena mountain sickness (bisa tanya mbah google ms itu apa). Saya muntah, keringat dingin dan segala macamnya tidak jelas. Warna muka? Jangan tanya, asli pucat sudah. Nah, ini dia masa dimana saya mulai membuat repot mas Jarwo (instagramnya: @xspheriksx), beliau menawarkan untuk membawakan tas carrier saya, jadi beliau membawa dua tas carrier. Asli baik banget mas-mas anggota tim SAR sekaligus fotografer profesional di perusahaan ternama di Jakarta yang satu ini #promote sebagai ucapan maaf, hehe. Padahal dalamnya cukup lengkap beserta tenda dan teman-temannya. Kebayang ya beratnya berapa. Sungguh, rasanya seperti pecundang sih waktu itu, tapi mau bagaimana lagi. Menyadari kelemahan kadang harus. Singkat cerita, mendaki tanpa beban adalah sesuatu yang tidak begitu sulit, hehe. Tapi lihat wajah mas Jarwo malah jadi pucat, alhasil ada mas Tambor yang akhirnya menawarkan untuk bertukar Daypack. Karena beliau tidak membawa tenda jadi daypacknya jauh lebih ringan daripada tas carrier yang saya bawa. Oke, kita lanjut perjalanan dengan bertukar muatan.


Singkat cerita, kurang lebih pukul 15.00 wib, melewati POS II, hujan deras. Usut punya usut, mau cuaca cerah atau mendung, di POS ini akan tetap hujan deras. Mulai banyak korban hypotermia pada sesi ini. “Mas, jangan diem aja dong, please!”, itu yang saya teriakan terus, bukan karena ngga suka didiemin, kalau itu udah biasa kok #malahcurhat. Namun, ketika kondisi suhu di lapangan itu tidak bersahabat dan kita diam, kemungkinan terkena hypo sangat tinggi dan resiko kematian juga tinggi. Jadi, pecicilan lah kamu supaya badan tetap terjaga. Saya hanya bisa panik sembari menikmati dingin hujan yang menusuk tulang. Sungguh, jas hujannya tidak begitu ngefek, tetap basah kuyup dengan sepatu yang basah juga. Ditambah dengan banyaknya pacet (red: lintah kecil) yang membuat diri ini semakin grogi. Namun, ada tips supaya tidak terserah pacet. Ini tips langsung dari saya sebaga satu-satunya peserta yang tidak kena pacet. Ternyata menggunakan geitter saja tidak cukup, karena pacet kecil dan bisa menjangkau sampai area terjauh sekalipun. Saya menggunakan trash bag untuk melindungi kaki dari air dan pacet juga tidak bisa masuk.

Hari sudah mulai gelap dan hujan tak kunjung reda. Beruntungnya kami sudah menjamak sholat Ashar tadi dengan Dhuhur sebelum hujan. Dititik ini, agak berlebihan memang, rasanya hampir tidak kuat lagi. Hampir mati. Berjam-jam menggunakan pakaian basah dan hujan tak kunjung berhenti dan kita dituntut untuk jalan terus. “Mas, ngga bisa berhenti dan berteduh disini kah? Sebentar, aku ngga kuat lagi,” itu yang aku ucapkan waktu itu ke mas Nasrul. Pecundang ya aku? Hmm. “Ngga bisa, kita ngga ada tenda, dan kalau berhenti nanti hypo, sebentar lagi kok,” begitu jawabnya. Oke, tetap berjalan dengan nafas kembang kempis. Singkat cerita kami menemukan tempat berteduh sejenak di waktu maghrib, untuk makan mengisi tenaga, POS 3 kurang lebih masih 3 jam lagi. Saya terpisah dengan mas Tambor yang membawa tas carrier saya. Perlengkapan kami tertukar. Akhirnya diberi pinjaman kaos mas Nasrul karena pakaian yang saya gunakan dari tadi sudah sangat basah. Istirahat kurang lebih 30 menit dan kami melanjutkan perjalanan lagi hingga POS 3.

Pukul 21.00 wib, akhirnya di POS 3 tidak hujan, waktunya istirahat. Saya lupa kalau perlengkapan kami tertukar, mas Tambor tidak ada kabarnya sama sekali. Saya meminjam baju, jaket, kaos kaki milik mas dan mba yang ada. Baiknya mereka semua, tapi saya merasa merepotkan. Harus jadi catatan ya, walau berkelompok, yang namanya di alam bebas, harusnya tidak bergantung pada siapapun. Tenda pun akhirnya nebeng, satu tenda kapasitas 2 orang untuk berempat, luar biasa.

Pagi harinya, belum ada kabar sama sekali dari mas Tambor, perlengkapanku semua di sana. Aku ngga mungkin ngga pakai jilbab, stoknya habis, ini yang saya pakai pun cuma buff dengan hoodie jaket supaya tetap menutup aurat. Baju, celana, dll juga ga bisa merepotkan orang lain, mereka juga butuh. Perjalanan hingga puncak dan kembali masih 2 hari lagi. Finally, keputusan yang sangat berat. Akhirnya saya menyerah dan memutuskan untuk turun. Supaya tidak ada korban selanjutnya yang saya repotkan. Saya sadar, fisik dan perlengkapan juga kurang mendukung. Akhirnya saya turun kembali dengan ditemani 1 porter, duh, lupa namanya siapa. Maaf.

Singkat cerita ternyata hujan kemarin cukup keren, kami balik melalui jalur yang sama namun tidak bisa, karena banyak pohon besar yang tumbang. Beruntungnya saya turun dengan mas Porter yang suka bikin jalur, jadi kami mblasak-mblasak di jalur lain. Kemudian, apa yang terjadi setelah turun? Ternyata kami menemukan mas Tambor beserta rombongan lainnya sedang berhenti dan akan turun. Ya Allah, beruntungnya saya memutuskan untuk turun. Jika tidak dan menanti sesuatu yang tidak pasti di atas sana, bisa merepotkan lebih banyak lagi orang. Sudah lah, singkat cerita lagi kami turun bersama rombongan lainnya yang turun juga. Berhubung jalur ini cukup mistis kami harus sampai bawah sebelum gelap, beruntungnya kami bisa lebih ngebut. Hingga maghrib sudah sampai gerbang pendakian dan menanti mobil jemputan. Singkat cerita kami kembali ke rumah mas porter, duh siapa ya. Kami istirahat, bersih diri dan menghirup udara segar dengan kaki ngilu. Disertai oleh-oleh pacet yang masih sempat menyedot darah beberapa orang di rumah.


Dari kisah ini, bisa ambil hikmah dari perjalanan saya di Slamet kan ya? Kisah kegagalan yang memiliki makna hidup.
Yup, safety is number one.
Persiapan fisik dan mental.
Perlengkapan juga must ready.
Jangan bergantung pada orang lain.

Salam Lestari!
0
817
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.2KThread83.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.