Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dragonfly1212Avatar border
TS
dragonfly1212
Di Akhir Perjuangan Doa
Maret 2011
 



Bahkan pagi ini masih tak ku temukan yang aku ingin tahu.
Setelah sekian lama dicari. Bukan. Bukan dicari, tapi membiarkannya tetap bersembunyi di semak-semak bersanding padi yang tumbuh di sepanjang jalan dan bahkan di tempat ini. Di sini, tempat yang menorehkan dengan bagitu hangat cahaya mentari pagi. Yang mengusik ketenangan hati saat tak ingin pergi. Dan yang tak ingin hilang ia dari ingatan meski aku masih melakoninya.
Terlampau awal mata terbangun dan ia tak mau terpejam lagi. Bangun dan membereskan semua buku-buku tadi malam, saat mereka datang. Tepatnya ia.
Tlah siap pagi ini dengan jadwal hari Selasa: Matematika, Fisika, Kimia, BK. Begitu hari yang penuh dengan angka. Hmm…..pikir otakku yang menegaskan kembali makna IPA. IPA??!! Semua telah selesai, buku, tas, dan baju berseragam putih abu-abu kesayanganku.
• • • • • •

 
Langkah sempoyongan telah mengantarkan ku ke dapur. Di sana seorang wanita tlah duduk di depan pawon (kompor kayu dalam bahasa Jawa), menunggu air mendidih untuk mandi keluarganya yang lain. Karena musim kemarau dan angin bertiup dingin membawa salju semu dari Australia menuju Asia. Bahkan saat aku pun berkata pagi masih terlalu dini. Sedang ia telah setia melakoni perannya sebagai ibu.
“Mah, dingin ya?...” ucap lirih dari bibir ini.
“Inikan musim kemarau, bukankah memang sudah biasanya seperti ini.”
Ingin menambahkan lagi bahwa salju sedang turun di dunia Australia dan ia hanya membagikan dinginnya untuk Indonesia. Hanya tempat lewat saja mungkin. Dan bukankah memang begitu. Tumbuh di persilangan dua benua.
• • • • • •

 
Sepeda telah siap di depan rumah. Sepeda hadiah dari bank BKK karena kesetiaan menjadi nasabahnya. Berusia delapan tahun sudah dan tlah berkali  mengantarkan perjalanan sekolah ku sampai sekarang. Ya kelas tiga di sebuah SMA negeri. Dan ayah sudah menambahinya denga hal-hal yang kurang ku pahami. Yang ku tahu, ia setia temani ke sekolah. SMAN Negeri 1 Kubang. Seperti biasa, tanpa sarapan pagi dan sisa uang satu minggu yang Ibu berikan tiap hari Senin.Yah….tak seberapa memang. Cukup untuk mengisi perut di siang nanti saat istirahat karena sekolah sampai sore.
 
 
“Novi berangkat ya…”
Sambil ,mencium tangan ayah dan ibu bergantian. Dan kecupan pipi kanan kiri dari seorang Ibu yang begitu sempurna untuk ku sudah jadi rutinitas pagi. Pun ketika tak ku lihat mereka pagi itu, diri tak terhenti untuk mencari di mana mereka berada sampai bertanya pada tetangga. Ternyata sedang di warung, serta ayah sudah berangkat pagi-pagi buta ke sawah sepulang dari subuhan di Musola Al-Amin.
 
Telah tujuh menit bersepeda. Memang tak lama untuk sampai di sekolahan. Menunggunya lewat di depanku. Entah magnet jenis apa yang ada pada sahabatku itu sampai mampu buatku menunggu.
“Hari ini jam BK akan diisi oleh Ka Indri dan Ka Ahmad.” Anis mengatakan dengan girangnya. Tahu bahwa kedua kakak itu kuliah di tempat yang ia pun ingin kuliah di sana.
“Oh,,,mereka kuliah di PTN A kan??” terdengar acuh tapi menegaskan kembali PTN itu. Hanya ingin menyenangkan hati seorang sahabat. Tetap saja, bukan pilihanku. Bagaimana mungkin memikirkan terlalu jauh sampai kuliah. Bahkan untuk UN yang pemerintah tetapkan, masih begitu bingung harus menatanya. Argumen sama dari teman-teman lain. Walau dalam hati ini, ada pikiran itu tentang kuliah. Jelas tapi tak mampu ku sebut. Bahkan aku tak tahu.
Keduanya Ka Indri dan Ka Ahmad menjelaskan dengan panjang lebar dari A sampai Z (hanya analogi sih) tentang PTN mereka. Mereka yang tertarik tentu bertanya pula, sahut menyahut seperti suara induk burung dan anaknya. Ketua kelas kami yang jelas-jelas tak tertarik dengan topik pembicaraan itu pun bertanya. Saya pikir hanya untuk menambah ramai suasana kelas.
Dan masih belum ku temukan,,Di mana aku harus berada setelah ini.
• • • • • •

 
Bagaimana mungkin aku memikirkan kuliah.
Sedang hidup masih terlalu sibuk untuk kata UN.
 
Bukan. Bukan itu kata yang hati butuhkan. Aku menepisnya dengan sangat keras. Keras sekali seperti gelegar petir di penghujung musim.
• • • • • •

 
 
Semua berjalan di kemarau kuning layaknya sebuah irama jantung dengan pacemakeralamiah nodus sinoatrial. Berjalan berkelanjutan sampai aku mulai iri pada sebuah kata kuliah. Dan merasa wajib untuk kuliah.
Jika seandainya aku bermimpi tentang sebuah kata kuliah. Bukan lagi ingin seperti mereka yang tlah memakai almamater. Bukan lagi hanya berganti status pelajar-mahasiswa. Lebih dari itu.
Kuliah adalah kewajibanku. Meski terlalu jauh untuk memandang makna bangsa dan negara, cukup terwakili ketika aku mengingat kedua orang tuaku. Tergambar jelas di mata meraka. Di mata semua ibu dan ayah dari anak-anak yang lain. Hmmm…tak perlu ku jelaskan.
Jika aku kuliah dan keadaanku tak sama dengan meraka yang tlah siap secara materi. Apa bisa??? Sedang aku hanya anak dari seorang buruh kayu desa yang tak punya jadwal kerja pasti. Tak punya penghasilan bulanan sebagai penopang kebutuhan.
Semua belum terjawab waktu itu. Segala tanya dan bimbang hati yang mengundang awan kelabu. Yang ia pun menutup langit cerah siang itu.
Aku lelah dengan semua pertanyaan ini!!!
• • • • • •

 
Tak pernah terjawab dengan semua pertanyaanku dulu. Bahkan sampai sekarang pun.
Ku berjalan mengikuti sebuah irama alam. Menyanyi bersamanya berharap beban hati kian pudar terbawa merdunya suara alam.
Ya, aku tak menjawabnya  Merasa tak perlu dengan jawaban itu. Hanya memutuskan apa yang harus ku lakukan saat itu. Mengubah perlahan kebiasaan yang tak sinergis. Aku putuskan untuk bermimpi lebih jauh.
 
Dalam sebuah perlombaan yang kita ikuti. Selalu ada yang menang dan kalah. Dalam perjuangan yang kita lakoni. Kita akan menang. Tak ada istilah kalah. Kalah hanya untuk mereka yang tak berani perjuangkan mimpinya.
• • • • • •

 
Kemarau tak lagi utuh dengan dirinya, musim telah tersentuh oleh titik-titik hujan. UN yang pernah jadi momok penting pun terlewati sudah. Dengan berbekal kertas putih yang bertorehkan kata lulus tinta hitam. Satu kata yang begitu kompleks dengan syarat perjuangan tiga tahun di bangku sekolah atas.
Setidaknya sekarang aku tahu apa yang harus aku lakuakan. Sebuah mimpi sama seperti mereka anak Indonesia lainnya. Kuliah di universitas di mana para putra terbaik bangsa berkumpul. Perjuangan tlah dilakukan. Sempat merasa rindu dengan kata tidur, memang. Semua terbayarkan ketika kata lulus itu sekali lagi aku baca.
Dan Ia begitu peduli pada hamba-Nya.
 
Bukan mudah melawan sebuah arus kehidupan. Ia lebih deras dari hanya sebuah aliran sungai di belakang rumahku. Aku sudah di sini untuk melanjutkannya.
“Aku akan kuliah dengan usahaku sendiri. Aku kan berdiri dengan kakiku. Doakan saja aku di sana.” Ucapku dengan tetes airmata ketika mereka begitu khawatir melepasku. Aku tahu hati kalian, perih kalian ketika tak mampu membantu secara langsung tentang kebutuhan seorang anak kuliah. Aku tahu betapa hati kalian terluka dan rindu untuk mengantarkan ku ke tempat dimana empat tahun harus dihabiskan. Aku paham Mah, Pah..
Hanya doa yang aku minta. Sudah cukup untuk bekalku.
 
Dan karena Ia ada di setiap halnya.
Tak sekeras yang dibayangkan. Ada beasiswa. Hanya soal waktu untuk sebuah perputaran uang. Seperti pemerintah dengan kebijakan moneternya atau fiskal lah. Dan berbekal beasiswa yang ada di kampus itu. Sedikit membantuku. Dengan hal lain yang bisa ku lakukan. Dengan berjualan, pelayan sebuah toko di Jalan Margonda, sampai kemudian bertahan satu menjadi guru les privat.
Semua dilakoni untuk sebuah janji anak pada orang tuanya. Semua masih terasa berat sampai sekarang. Hanya menghela nafas ketika tiba-tiba vasokonstriksi pembuluh darah, berharap tak terjadi hipoksia dalam kehidupan ini.
Sekali lagi beasiswa tlah di tangan sampai wisuda. Bukan tumpuan utama, hanya sebuah keringanan yang Ia tumpahkan.
  
Aku hanya ingin melanjutkan mimpiku. Bukan lagi meraka yang antarkan aku ke tempat ini sekedar mengantar. Aku ingin mengajak mereka ke akhir sebuah doa perjuangan mereka. Di sana Balairung Univeritas Indonesia. Dua tahun lagi.
 
Kehidupan masih sama. Tak berubah.
Meski di luar sana, angin ribut tlah mengubah kehidupan mereka.
Meraka yang belum ku kenal.
Dan yang ku tahu pagi ini. Jalan masih jauh.
Meski tak pernah sedetik pun waktu mengajakku bercengkerama.
“Hei…ujung itu di sana.”
Dan memang tak akan pernah.






anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.5K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.