Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dragonfly1212Avatar border
TS
dragonfly1212
Dunia Penuh Koma

 

            Aku melihat sastra sebagai sebuah hal yang menyeramkan hingga aku menginjakkan kaki untuk pertama kali di kampus serba kuning ini. Yeah... aku memang bukan orang sini. Kotaku bermil-mil jauhnya dari sini dan hanya bisa dicapai setelah menyeberangi Suramadu. Mengenai bagaimana aku sampai ke sini mungkin hanya aku dan Tuhanku yang tahu.
            Aku berkenalan dengan sastra sejak sekolah pastinya. Hanya saja belum tahu kalau itu namanya adalah sastra. Awalnya biasa saja dengan hal yang bernama sastra. Nothing’s specialpokoknya. Namun, semenjak diajar oleh seorang guru bernama Bapak Sarimin di tahun ke-3 sekolah dasar, ada rasa semacam mual yang menjalar secara tiba-tiba saat mendengar kata sastra. Penyebabnya sepele. Aku tidak menyukai gaya bahasanya yang bergaya-gaya, meliuk-liuk dan membuatku berpikir tujuh puluh tujuh kali sebelum mengerti maknanya. Please ya! Aku baru kelas 3 saat itu dan aku yakin saat kau kelas 3 SD pun, kau tidak akan tahu apa arti dari kalimat: “Maka dari itu, Sang Baginda daripada kerajaan Ranah Hijau membalikkan gunung daripada yang mana tiang kusir meragu tuk berdiri”. Sebenarnya, sampai detik ini pun aku tidak mengerti arti kalimat itu. Atau mungkin dulu aku yang salah dengar kalimatnya ya? Entahlah.
            Lupakan tentang beliau yang terkontaminasi sastra melayu sejak umur lima tahun. Namun, sebenarnya Bapak Sarimin orang Jawa tulen, terlihat dari namanya kukira. Namun, entah bagaimana, dirinya sudah berada di atas kapal menuju Bangka Belitung saat dia terbangun di suatu pagi di hari Minggu. Beliau mengaku kalau ibunya hanya memberinya makan setengah piring nasi jagung dalam sehari karena mereka tergolong konglo”melarat”. Mungkin ibunya itulah yang meletakannya di kapal pedagang karena tak mampu memberi makan. Kasihan. Saat beliau menceritakan hal ini --dengan logat Melayu pastinya-- matanya selalu berlinang, lalu berlari merindik keluar kelas, meninggalkan kami selama setengah jam untuk menghabiskan satu kantong tissue isi 50+20 sheets. Dan sayangnya, hal ini selalu terjadi setiap hari. Yang asyik di setengah jam kosong ini adalah secara tiba-tiba kelasku berubah menjadi sebuah pasar malam pagi hari. Semua anak mengeluarkan dolanannya masing-masing, memamerknnya pada teman lain, lalu memainkannya dengan kegaduhan melebihi kucing kimpoi. Tak jarang anak-anak kelas 4 mengetuk keras-keras dinding tripleks pembatas kelasku dan kelas mereka untuk mendiamkan kami. Dan, pasar malam pun berkahir saat Bapak Sarimin kembali dengan sekantong kresek tissue basah –oleh air mata.
            Yeah... setidaknya alasan itu cukup untuk membuatku tidak menyukai sastra. Namun, entah bagaimana, entah karena apa dan entah digoda siapa, sekarang aku sedang berdiri di kampus sastra di sini. Iya! Di sini di Universitas Indonesia. Masa depan orang memang tidak ada yang tahu?
            Aku diterima di sini tahun 2008, meskipun aku lulus SMA tahun 2007. Yeah... orang tuaku di kampung belum sempat menyiapkan dana kuliahku. Aku pun berhenti setahun untuk menunggu dan menyiapkan amunisi, berupa duit. Aku sangat optimis akan bisa diterima di jurusan seperti idolaku Nicholas Saputra, yaitu Arsitektur. Yeah optimis! Mengingat prestasiku yang tak terlalu buruk. Setahun itu, aku fokus untuk mencari duit, duit dan duit...dan mendaftarlah aku. Pilihan 1 Arsitektur dan pilihan 2 asal pilih, karena aku hanya ingin arsitektur.
            Manusia merencanakan, Tuhan yang menentukan. Aku diterima, di mana? Di pilihan kedua. Dan apa pilihan keduaku yang asal pilih itu? Tepat! Sastra Indonesia! Karena keterbatasan pengetahuan --secara, aku anak desa yang tidak terjamah informasi begituan—aku tidak curiga saat soal-soal yang muncul adalah soal IPA+IPS, padahal aku anak IPA. Di sekolahku, meskipun jurusan IPA, kami juga mempelajari Geografi dan Ekonomi. Jadi, bisa kau tebak sendiri lah...
            Sayangnya... Hidupku tidak berhenti di ketersangkutan ini. Iseng, aku ambil jurusan ini. Barokah Tuhan, harus disyukuri dan dinikmati. Aku ingin mencoba menghilangkan trauma sastra ini....dan...
*****

            Paper-ku selesai tiga hari lalu, yang artinya empat hari lebih cepat dari datelineyang ditentukan. Trauma sastraku sudah hilang sejak aku “berkenalan” dengan Soe Hok Gie lewat bukunya yang berjudul Catatan Seorang Demonstran. Kampus ini mengubahku. Nyata dan mendalam. Entah bagaimana caranya, Soe Hok Gie telah memberiku pencerahan di berbagai aspek. Terlepas dari semua isi bukunya, aku menyukai gaya bahasanya yang tentunya tidak meliuk-liuk seperti Bapak Sarimin. Soe mengemas pikirannya dengan cerdas, tegas dan tajam.
Aku sedang mencari referensi untuk makalah Cina dan Etnisnya saat tiba-tiba terlihat sebuah link dari sebuah blog yang menarik mataku. Doremifasollasido.tumblr.com? Menarik. Mungkin ini blog tentang kumpulan lagu dan chord gitar? Aku klik link tersebut dengan cepat. Loading sedang berjalan 20% saat tiba-tiba Joko memanggilku dari arah dapur. ‘Ah anak ini merepotkan sekali,’ pikirku.
“AJI... Aji... Kau di MANA?? Bah... macam... MANA... PULA INI sate MADURA GOSONG dibuatnya?” Suara Joko timbul tenggelam karena efek yang ditimbulkan darinya yang memasuki tiap ruangan untuk mencariku. Joko adalah teman satu kontrakan yang cerewetnya minta dipukul. Dia orang Medan asli, tapi entah bagaimana dia bisa memperoleh nama Joko. Dia selalu melotot setiap ditanya tentang asal muasal namanya.
“Bah! Di sini kau rupanya! Kau terus saja sibuk dengan komputer butut kau itu, sekalian saja nikahi dia, biar awak tidak lagi memasak untuk kau!” Terlihat semburat ungu di muka kerasnya, otot dahinya berkedut setengah kencang. Aku ragu untuk melayaninya. Aku tahu betul dia dalam kondisi emosi saat ini karena... “Bah! Sate kau gosong itu! Awak tak tahu cara buat sate! Kau pergi-pergi saja meninggalkan makan malam kita berdua!”
“Santai, Bro! Gue lagi mau ke dapur nih,” jawabku santai.
“Ah! Kau! Cepatlah!” katanya. Kulihat dia mulai kehabisan kata-kata untuk memarahiku. Kupikir diam dan santai memang trik yang paling mujarab untuk menghadapi seseorang seperti Joko ini.
Aku menuju dapur. Kulihat beberapa tusuk sate yang terpanggang merana di atas alat bakar otomatis. Belum ada tanda-tanda akan matang kukira. Namun, bau khas sate yang harum sudah mulai memenuhi ruangan dapur berukuran 3mx4m ini. Si Garong, kucing tetangga sebelah pun bisa merasakan betapa harumnya sate buatanku ini. Dia mulai mengeluarkan jurus rayuan maut dengan mondar-mandir dan kedip-kedip sok imut dari luar jendela dapur. “Maaf, Garong! Aku masih alergi pada kucing. Pergi yang jauh ya, Nak,” kataku.
Sate telah matang. Dan aku sudah tak sabar untuk membaca blog yang baru terbuka 20% tadi. Segera, aku menuju ke kamar dan meninggalkan sate-sate lezat yang sedang dipandangi si Garong sambil ngeces.
“Joko! Udah matang tuh. Bergegaslah atau si Garong akan melahapnya lebih dulu,” kataku pada Joko yang kulihat sedang berada di depan layar komputerku. Tanpa aba-aba, dia langsung berlari ke meja makan. Dan aku tidak terlalu memusingkan apa yang terjadi setelah ini.
Blog itu biasa saja, tapi...
*****

Aku cukup ketagihan pada blog itu sejak pertama membukanya. Pemiliknya kukira adalah seorang perempuan. Ini bisa dilihat dari nama penanya yang cantik dan lembut, Aurora Katulistiwa. Blog ini bukan sebuah kumpulan lagu atau not balok dan chord gitar.Blog itu berisi ratusan tulisan panjang, dari fiksi hingga nonfiksi, dari puisi hingga syair sarat isi, dari pengalaman pribadi hingga ide-ide brilian. Aku sendiri sudah membaca sekitar 43 tulisannya. Namun, ada satu hal yang aneh. Tak seorang pun yang mem-follow-nya.
Dia, si Aurora ini adalah salah satu penulis langka. Bukan karena gaya bahasanya yang langka seperti Bapak Sarimin, tapi memang tulisannya spesial dan unik. Sedikit orang yang mempunyai kemampuan menulis seperti dia. Dia, mungkin seorang yang menuntut ilmu di jurusan astronomi atau semacamnya. Tulisannya sarat akan perbintangan dan geografi. Meskipun kebanyakan fiksi, tapi di dalamnya terdapat muatan sains yang dibungkus dalam bahasa yang menyenangkan, mencengangkan dan menginformasi dengan mengesankan. Satu hal yang begitu mencirikan tulisannya adalah “sedikit sekali penggunaan tanda titik di dalamnya”. Alih-alih menggunakan titik, dia lebih suka menggunakan tanda koma dan konjungsi antarkalimat. Hal ini membuat tulisannya dipenuhi hiasan koma, si titik berekor. Itulah mengapa aku menyebutnya “si penulis di dunia penuh koma”.
Aku tak menemukan informasi lain tentang dia di blog itu, selain zodiac dan kota asalnya, Kebumen. Ini sebuah hal yang mengagetkanku. Seseorang yang berasal dari kota kecil --yang baru aku tahu keberadaannya saat masuk UI, mampu membuat karya-karya besar seperti itu. Salah satu tulisannya yang kusuka adalah sebuah cerpen anak-anak berjudul Saat Andromeda Mendekati Spica.
*****

            Suatu malam, aku membaca daftar teman penulisnya di sebuah posttua di blog tersebut. Dan kebanyakan teman penulisnya juga orang daerah. Salah duanya adalah Maharani dan Yuridista. Dua orang inilah yang membuatku mengetahui bahwa si Aurora dari jurusan Kesehatan Masyarakat UI. Janganlah kau bertanya bagaimana aku bisa menyimpulkan seperti itu. Ceritanya lebih panjang dari kereta Ekonomi AC jurusan Depok-Manggarai.
            Ketiga orang yang masih belum jelas dan belum kukenal ini mengispirasiku untuk membuat sebuah “sayembara menulis fiksi sains dan essay bergengsi” yang boleh diikuti oleh seluruh mahasiswa UI. ‘Pasti bakal seru! Dugaanku, kebanyakan yang ikut mungkin anak daerah,’ pikirku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghubungi temanku di BEM UI, Hanif dan Finza untuk membantuku dalam publikasi lomba ini. Mengenai hadiahnya, aku merelakan sedikit hadiah yang aku dapat saat mengikuti lomba PKM tahun lalu. Uang itu masih utuh tak tersentuh, jadi bisa kuberikan kepada 3 juara terbaik nantinya.
            Sebagai sesama anak daerah aku merasa potensi mereka sangat besar dan peluang mereka untuk menerbitkan sebuah buku juga tak kalah besar. Terlepas dari tujuanku untuk menjaring bakat anak daerah, aku ingin mengetahui seperti apa sebenarnya si penyandang nama pena yang aneh dan terkesan maksa, si Aurora Katulistiwa ini. Oleh karena itu, aku mengharuskan para pengikut lomba untuk mencantumkan nama asli sekaligus nama pena mereka. Feeling-ku 99 persen percaya bahwa si Aurora ini akan mengikuti lomba ini. Ya ampun apakah aku terlalu terobsesi pada si Aurora?
Hanya dalam hitungan jam setelah di-published sedikitnya sepuluh orang telah mendaftar langsung padaku. Sayangnya tak ada namanya. Alih-alih menemukan namanya aku malah menemukan si Joko yang mendaftar dengan nama pena “Tuxedo Bertopeng”. Ya ampun, ini anak lagi mimpi apa ya? Sejak kapan dia bisa menulis? Kerjaannya aja masak dan gitaran tiap hari. Iya sih dia anak sastra. Sastra Medan! Ya sudahlah kubiarkan saja dia.
*****

            “Aji! Awak yakin, awak akan memenangkan lomba kau, lalu awak akan pulang kampung! Hahaha!” kata Joko sambil membusungkan sebelah dadanya. Aku sedikit curiga sebenarnya. Namun, apa gunanya? Curiga menguras hati. Biarlah si Joko berdansa sebelum pengumuman.
            Seminggu berlalu. Jumlah pendaftar mencapai 77 orang. Fantastis! Dan seperti yang kuduga 80% peserta yang ikut adalah orang-orang daerah. Sepertinya, hipotesisku terbukti, bahwa anak daerah cenderung lebih tertarik dalam mencoba hal-hal baru. Hal ini mungkin sedikit mematahkan opini beberapa orang yang mengatakan bahwa anak daerah cenderung susah bergaul dan tidak gaul. Justru, mungkin dikarenakan mereka memang benar-benar berniat menuntut ilmu, maka mereka kurang begitu mendewakan “apa yang oleh orang-orang disebut gaul”.
*****

            Joko dan aku telah tinggal di kontrakan yang sama sejak pertama masuk UI. Dia lulusan 2008, setahun di bawahku. Aku jurusan Sastra Indonesia, dia jurusan Ilmu komputer. Jurusan yang “sedikit” tidak santai sebenarnya. Namun, entah bagaimana Joko justru membuat segalanya selalu santai setiap saat. Dia unik. Joko diterima lewat jalur PPKB. Dia mengikuti accelarationdan lulusan SMA SMART Ekselensia Indonesia yang terkenal telah menjebolkan lulusan-lulusan yang terbilang nyaris terbaik di negeri ini. Dia hijrah dari Medan ke Depok sejak umur 15 tahun, tapi logatnya tak pernah hilang. Satu yang aku tahu tentang dia, “dia nyaris tidak suka menulis dan mengarang”. Atas dasar alasan inilah, aku ragu tentang keikutsertaannya dalam lombaku. Kukira dia hanya sungkan padaku.
            Hingga hari ini, aku masih tidak tahu apakah si Aurora mengikuti lomba ini atau tidak. Yang aku tahu besok adalah batas pengumpulan tulisan. Lalu seminggu lagi, pemenang akan diumumkan. Dua puluh karya terbaik akan dibukukan menjadi sebuah buku antologi berjudul Gado-gado Sains. Judul ini diambil dari cerpenku yang berjudul sama. Juri untuk lomba ini adalah dosenku, di jurusan Sastra Indonesia.
            Seminggu lagi dan mungkin aku akan mengetahui nama si anak Kebumen ini, si penghuni dunia penuh koma, si misterius...
*****

            Aku belum membuka internet sejak kemarin. Padahal pengumuman lombaku diumumkan kemarin. Aku masih di gunung Slamet bersama teman-teman MAPALA lain. Pendakian MAPALA kali ini adalah dalam rangka memperingati hari wafatnya almarhum Soe Hok Gie di tempat yang sama.
            Aku kembali dua hari kemudian. Dan kudapati kontrakan rumahku kosong tak berpenghuni. Kemana si Joko? ‘Tunggu!’ aku berkata pada diriku sendiri. Lalu bergegas ke kamar Joko yang ternyata, terkunci. Di pintu terpajang memo, “Aji. Awak pulang ke Medan. Awak menang lomba kau. Terima kasih banyak buat hadiahnya yaaa...”
            “Jadi?? Yang menang Joko? Kok? Kenapa bukan Aurora? Ah! Apa sih yang ditulis Joko Tole itu? Namun, tidak mungkin dosenku salah... Lalu...” Tanpa sadar aku sudah membuat si Garong yang sedari tadi terdiam membisu di ruang tamu rumahku ternganga setengah senti. Mungkin dia berpikir kalau aku merasa kehilangan dengan kepulangan Joko ke kampung sehingga frustasi, lalu gila mendadak dengan berbicara pada diriku sendiri. Ah! Aku tak peduli apa yang sedang dipikirkan kucing kembang asem ini. Kulemparkan sebuah tempe goreng ke arah si Garong yang sontak saja langsung dilahap dengan membabi buta.
*****

            Ini masih bersambung, masih koma dan masih bermasalah. Pagi ini Joko akan datang dan aku akan siap-siap menginterogasinya perihal tulisan karyanya yang membuatnya menang dan bisa pulang kampung. ‘Joko! Kau plagiat! Aku ingat betul tulisan ini! Tulisan yang kau ikut sertakan dalam lombaku adalah tulisan Aurora di blog-nya, doremifasollasido.tumblr.com.’
Seharusnya aku curiga, saat kau duduk di depan komputerku membaca blog itu tanpa berkedip, sedangkan aku memanggang sate. Seharusnya aku curiga saat kau tiba-tiba mengikuti lomba menulis yang kuadakan, padahal kau tidak suka menulis. Namun, aku benar-benar tak menyangka, kau seorang plagiat. Mana hasil belajar MPKT-mu di semester 1 dulu? Aku kecewa!
Si Garong bermain-main dengan kupu-kupu di halaman. Menyadari aku sedang menatapnya, lalu dia mendekat padaku. Mengeong berharap akan dilempari sepotong tempe mungkin. Namun, aku mendorongnya dengan sedikit kasar menggunakan sebelah kakiku.
            “Awak pulaaaaaaang! Awak bawa bika ambon untuk kau, Aji!” kata Joko.
            “Joko! Jelaskan tentang tulisan Aurora yang kau jiplak ini! Tega sekali!!!” potongku tajam. Aku bisa melihat wajahnya mulai berubah keunguan. Aku tak peduli apakah dia marah atau malu. Aku tidak suka plagiarisme.
            “Itu tulisan awak! Sungguh! Awak tak bohong,” jawabnya membela diri. Seribu kali pun dia mengelak aku tidak akan percaya.
            “Bohong! Itu tulisan seorang penulis wanita, Aurora! Aku pernah membacanya di blognya, doremifasollasido.tumblr.com!”
            “Hahahahahahaha...” dia tertawa terpingkal-pingkal.
            “Kenapa?”
“Itu blog awak!” jawabnya sambil memegang perut.
“Ah mana mungkin!!! Dia orang Kebumen. Dia menulis hampir tiap hari, tak sepertimu yang membenci dunia menulis! Bohong itu!”
“Hahaha... Kau perlu bukti?” Dia menantangku dengan wajah yang menampakkan seringai aneh. Dikeluarkannya sehelai kertas bertuliskan AKTA KELAHIRAN dari dalam lemari. Ditunjuklah sebuah kota di akta tersebut, Kebumen. Lalu ia menuju komputer dengan diikuti si Garong di belakangnya. Ia menyambungkan komputer itu dengan internet dan membuka sebuah akun di tumblr.com. 
“Joko? Kau? Jangan-jangan kau... benar-benar si Aurora? Lalu Kebumen itu, artinya apa? Ya Tuhan! Pantas saja namamu Joko, kau lahir di Jawa! Lalu.. Hei! Jadi? Aku terobsesi pada seorang laki-laki? Apa? Ah! GueMAHO dong??? Aaah...tidak mungkiiiin,” dan si Garong bergidik ngeri lalu berlari pulang ke rumahnya di samping rumah kontrakanku.





0
981
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.