Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Menjawab ramalan krisis ekonomi pada 2020

Markas Lehman Brothers di New York, Amerika Serikat (AS), 15 September 2018. Kejatuhan bank investasi raksasa di AS itu menjadi cikal bakal krisis keuangan global 2008 silam.
Ada ramalan buntung yang diprediksi bakal terjadi dua tahun lagi.

Bank investasi raksasa asal Amerika Serikat (AS), JP Morgan Chase, menduga pada tahun termaksud bakal terjadi krisis keuangan global yang dimulai dari kejatuhan mesin-mesin penggerak ekonomi di Negeri Paman Sam.

Pasar saham AS diprediksi bakal anjlok sekitar 20 persen. Imbal hasil obligasi korporasi naik sekitar 1,15 persentase poin. Harga energi diprediksi merosot 35 persen disusul harga barang tambang metal dasar yang amblas 29 persen.

Dampaknya meluas sampai negara-negara berkembang. Utang pemerintah negara berkembang melebar hingga 2,79 persentase poin, begitu juga dengan sahamnya yang merosot 48 persen. Sementara nilai tukar bakal melemah 14,4 persen.

Laman Fortune menjelaskan model yang dibuat JP Morgan berasal dari kalkulasi rentang ekspansi ekonomi, potensi durasi resesi berikutnya, valuasi nilai aset, tingkat deregulasi, dan inovasi finansial.

Kalkulasi penghitungan itu dimulai tepat sepuluh tahun lalu, pasca-runtuhnya Lehman Brothers yang menyebabkan kemunculan krisis keuangan global atau Great Recession 2008.

Namun, tahan dulu kekhawatiran Anda. Sebab tim periset ramalan ini, John Normand dan Federico Manicardi, mengatakan krisis yang bakal terjadi tidak akan separah 2008 lalu.

“Dilihat dari seluruh aset yang ada saat ini, proyeksi ini menjadi relatif tidak berbahaya dibandingkan dengan apa yang terjadi pada krisis keuangan global (GFC) pada masa lalu,” ucapnya.

Apalagi, riset ini dirilis untuk memberi peringatan kepada para investor dan pemangku kepentingan untuk segera mengambil kebijakan-kebijakan tepat untuk mengadang ramalan ini.

Lalu, apa yang bisa dipersiapkan? Para pemangku kepentingan pada dasarnya bisa mencermati 10 indikator yang bisa menyebabkan krisis keuangan global kembali terjadi pada 2020 dari dua ekonom, Brunello Rosa dan Nouriel Roubini, dalam opini mereka, The Makings of a 2020 Recession and Financial Crisis.

Mereka berasumsi, krisis keuangan global mungkin terjadi lantaran AS--meski belakangan ekonominya membaik--masih memiliki defisit fiskal besar. Sementara itu, Tiongkok masih memegang kebijakan fiskal longgar dan Eropa masih dalam masa pemulihan setelah krisis.

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui belanja dan pendapatan negara. Kebijakan ini berbeda dengan moneter yang bertujuan menstabilkan perekonomian dengan mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar.

Hal itu yang kemudian menjadi poin pertama dalam indikator mereka. Mereka meyakini, kebijakan stimulus fiskal yang saat ini mendorong pertumbuhan ekonomi tahunan AS di atas 2 persen kemungkinan tidak akan berlanjut.

Pada tahun 2020, stimulus akan berakhir, dan hambatan fiskal akan menurunkan pertumbuhan dari 3 persen menjadi sedikit di bawah 2 persen.

Stimulus tadi yang juga menyebabkan ekonomi AS saat ini menjadi panas dengan inflasi yang melaju di atas target. Akibatnya, Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) bakal terus menaikkan suku bunga dari 2 persen hingga 3,5 persen pada 2020.

Suku bunga ini akan mendorong yield utang jangka pendek dan jangka panjang serta nilai tukar dolar AS.

Di sisi lain, inflasi bakal terus meningkat di negara-negara ekonomi besar lainnya. Kenaikan harga minyak tak bisa dibendung dan menambah tekanan inflasi. Ujung-ujungnya, bank sentral negara maju akan mengikuti The Fed demi menormalisasi kebijakan ekonomi mereka.

Indikator selanjutnya adalah efek dari perang dagang yang dipecut AS terhadap negara-negara saingannya. Persoalannya, sikap AS ini bakal terus memicu negara lain untuk melakukan pembalasan proteksionisme.

Tiongkok harus memperlambat pertumbuhan untuk mengatasi kelebihan kapasitas. Jika tidak, Tiongkok akan mengalami hard landing alias perlambatan ekonomi secara mendadak yang berefek pada guncangan.

Satu hal yang perlu diwaspadai, pada 2020 akan terjadi pemilihan presiden AS untuk periode selanjutnya. Jika Trump kembali maju, maka penguatan ekonomi AS akan menjadi amunisinya. Oleh karenanya, hal-hal gila yang mungkin menciptakan guncangan bagi negara lain bakal dilakukannya.

Apalagi, Trump punya masalah komunikasi yang buruk dengan Gubernur The Fed. Tengok saja, Trump menyerang The Fed saat pertumbuhan ekonomi mencapai 4 persen pada kuartal dua lalu. Bayangkan, jika target ekonomi kembali tak tercapai pada 2020 nanti.

Indonesia tak krisis, hanya melambat

Terkait sub-judul di atas, mantan Menteri Keuangan yang juga ekonom nasional Chatib Basri punya penjelasannya. Dalam serial tweet-nya, Chatib menjelaskan beberapa poin mengapa krisis ekonomi bisa berulang namun tidak akan seburuk 1998.

"Saya tentu sangat bisa salah. Yang terjadi saat ini sebenarnya adalah kembalinya dunia kepada situasi normal baru (new normal)," katanya.

Dalam sepuluh tahun terakhir, dunia berada dalam keadaan abnormal akibat kebijakan suku bunga rendah The Fed. Sementara, situasi normal adalah sebelum kebijakan quantitative easing (QE) tahun 2009 dengan suku bunga The Fed di kisaran 3,5 persen.

Persoalannya, penguatan ekonomi AS dan meningkatnya defisit anggaran mendorong The Fed melakukan normalisasi. Akibatnya, negara yang transaksi defisit berjalannya (CAD) dibiayai oleh investasi portofolio bakal terkena dampak, dalam hal ini termasuk Indonesia.

Namun, apakah dampak itu akan sangat buruk? Menurut Chatib tidak. Sebab, yang akan dihadapi Indonesia dalam waktu ke depan adalah nilai tukar akan volatile dan tertekan, selain itu tingkat bunga dan inflasi diprediksi terkontraksi.
Yg akan kita hadapi dalam beberapa waktu kedepan, adalah nilai tukar yg volatile, tertekan, tingkat bunga yg naik, inflasi yg naik. Ini berakibat pada perlambatan ekonomi 2019 dan 2020
— M. Chatib Basri (@ChatibBasri) September 7, 2018
"Ini berakibat pada perlambatan ekonomi 2019 dan 2020," lanjutnya.

Yang terpenting untuk diperhatikan adalah pemerintah jangan sampai mengeluarkan respons kebijakan yang salah. Pemerintah dalam hal ini sebaiknya tidak panik dan mengukur semua elemen untuk mengeluarkan stimulus yang bijak.

"Kita menganut flexible exchange rate sekarang, sehingga orang sudah mengerti bagaimana mengantisipasi pelemahan rupiah," tukasnya.

Dampak sistemis kebangkrutan Lehman Brothers

Awal September 2008, The Fed memiliki wacana untuk melikuidasi aset Lehman Brothers. Keputusan itu membuat harga sahamnya jatuh lebih dari 90 persen.

Pada 15 September 2008, Lehman Brothers resmi dinyatakan bangkrut dengan total utang $615 miliar AS dan dihapuskan dari daftar New York Stock Exchange (NYSE). Selain namanya dihapus, kantor cabang Lehman Brothers di luar negeri, seperti di Inggris dan Jepang, juga dinyatakan bangkrut.

Pengumuman bangkrutnya Lehman Brothers membuat pasar saham tertekan. Persoalan ini merembet ke pasar saham negara-negara lain.

Apa pasal yang membuat Lehman Brothers jatuh berantakan?

Lehman Brothers memanfaatkan rendahnya suku bunga The Fed untuk meraih keuntungan dari investasi di pasar real estate alias Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Dalam waktu lima tahun sejak 2001, pinjaman mencapai miliaran dolar mengalir ke pasar real estate.

Lonjakan ini yang kemudian mengubah Lehman Brothers dari perusahaan kecil menjadi bank investasi terbesar keempat di AS.

Proyeksi keuntungan itu membuat Lehman Brothers berani menyalurkan KPR kepada masyarakat berpenghasilan rendah maupun tidak tetap—yang disebut sebagai subprime mortgage. Padahal, kategori ini memiliki risiko besar menyumbang kredit bermasalah karena ketidakmampuan membayar cicilan.

Alasannya sederhana. Jika konsumen memiliki risiko gagal bayar yang tinggi karena skor kreditnya rendah, maka bunga kredit yang dikenakan terhadap nasabah tersebut lebih tinggi dibanding rata-rata.

Lagi pula, bila nasabah gagal bayar, huniannya bisa disita dan menjadi aset Lehman Brothers. Setelahnya, rumah itu bisa dijual kembali oleh perseroan dengan harga bersaing.

Prediksi itu hancur ketika The Fed mulai menaikkan tingkat suku bunga acuan pada 2004. Keputusan ini memengaruhi kenaikan bunga dan cicilan KPR. Imbasnya, masyarakat kategori subprime mortgage adalah yang pertama menyatakan ketidaksanggupan membayar cicilan rumah.

Kombinasi properti baru yang belum terjual dan hunian hasil sita bank membuat pasar properti "kembung" alias "bubble". Harga properti AS pun mulai turun. Akibatnya, banyak timbul kasus utang KPR di bank lebih besar dibanding nilai rumah.

Fenomena banjir properti muncul kemudian, sementara Lehman Brothers tak sanggup lagi mengatasinya.

Penjelasan tentang runtuhnya Lehman Brothers dan krisis ekonomi 2008 bisa juga disimak melalui film dramaThe Big Short (2015) karya sutradara Adam McKay yang diadopsi dari buku Michael Lewis dengan judul sama.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...nomi-pada-2020

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Syarat lapor pajak buat caleg dinilai dorong akuntabilitas

- Kenapa ekonomi tahun ini sulit tumbuh 5,4 persen

- Debat capres, kerja sama Korsel, hingga suara Golkar

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
2.1K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread734Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.