Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Jalan terjal kaum marginal
Jalan terjal kaum marginal

Jalan terjal kaum marginal

e-KTP. ©2014 merdeka.com/dwi narwoko

 

 

 

 

KHAS | 7 September 2016 08:33Reporter : Intan Umbari Prihatin

Merdeka.com - Dewi Kanti (41), tidak habis pikir saat mengurus Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP). Penganut Sunda Wiwitan itu menyatakan dia tak memahami alur berpikir para pejabat di daerahnya, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Dewi memahami dia adalah kaum minoritas di negeri ini. Namun, sebagai warga negara, dia juga berhak mendapatkan pelayanan setara. Hanya saja saat mengurus administrasi kependudukan, perlakuan diskriminatif kerap mereka dapatkan. Dewi merasa dipersulit oleh petugas di Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan setempat.

Sebagai pemeluk Sunda Wiwitan dan menetap di Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Dewi dan beberapa orang yang memiliki keyakinan sama mengalami langsung diskriminasi itu. Kepada merdeka.com, dia mau membeberkan sedikit pengalamannya.

Dewi menceritakan, ketika menemani warga Desa Cigugur membuat e-KTP, dia sudah mengikuti aturan pemerintah. Sebab, keyakinan mereka anut belum diakui sebagai agama resmi dalam undang-undang. Alhasil, dia memilih dan mengarahkan sesama pemeluk Sunda Wiwitan supaya mengisi pilihan 'lainnya' dalam kolom agama. Sebab dalam formulir hanya disertakan enam agama diakui negara, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu.

Alangkah kecewanya Dewi dan sesama pemeluk Sunda Wiwitan setelah e-KTP itu terbit. Di kolom agama ternyata malah diisi sepihak entah oleh siapa.

"Ya malah dituliskan agama Buddha, Kong Hu Cu, suka-suka mereka (pihak kecamatan) lah. Masih ada intoleransi dari mereka, dan mereka tuh masukkan agama sesuka mereka," kata Dewi dengan nada kesal saat dihubungi merdeka.com melalui sambungan seluler, Jumat (2/9) lalu.

Mendekati batas perekaman E-KTP pada akhir September tahun ini sesuai ketetapan pemerintah, proses perbaikan kolom agama pemeluk Sunda Wiwitan belum kunjung selesai. Menurut Dewi ada saja alasan meluncur dari lisan petugas setempat. Mulai dari listrik padam hingga persediaan blanko di kelurahan setempat nihil lantaran belum dikirim pemerintah pusat.

Jika hingga akhir September E-KTP bagi komunitas Sunda Wiwitan ini belum diterbitkan, maka akan berdampak terhadap proses administrasi kependudukan lainnya. Antara lain tidak diterbitkannya akta kelahiran bagi anak.

Cerita Dewi pun melebar tak hanya soal E-KTP, tetapi juga terkait pendidikan anak-anak komunitas Sunda Wiwitan. Dewi mengatakan ada beberapa anak dari keturunan komunitas Sunda Wiwitan sulit mendaftar ke sekolah formal lewat jalur daring. Penyebabnya, ketika mengisi kolom agama buat pendaftaran tidak tersedia opsi 'lainnya'. Alhasil mereka terpaksa memilih yang bukan kepercayaannya.

Perjuangan komunitas Sunda Wiwitan tak hanya berkutat supaya kepercayaan mereka anut bisa tercatat dalam kolom agama di e-KTP. Mereka ingin persoalan keyakinan tidak menghalangi penerbitan akta kelahiran, surat nikah, dan lainnya. Dewi juga sedang menguji Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/2016, tentang akta kelahiran membikin keturunan mereka seolah tak diakui negara.

Dia menceritakan, selama ini anak-anak penganut Sunda wiwitan hanya berakta kelahiran anak ibu. Negara, kata Dewi, enggan mengakui ayah kandung bocah-bocah itu karena dianggap bukan dari hasil perkimpoian sah.

Bahkan, sebagai seorang ibu, Dewi mengungkapkan kegetirannya atas sikap negara. Dia terpukul karena dipaksa mengisi surat pengakuan kalau anaknya hasil hubungan di luar pernikahan, serta bersedia tidak mencantumkan nama ayah.

Menteri Dalam Negeri, ujar Dewi, menyangkal pengakuannya soal itu. Menurut mereka akta anaknya tetap tercatat. Namun, pernikahan mereka tetap tidak diakui negara.

"Tetapi kami masih ada kendala kami memperbaiki KTP dan KK. Ya mungkin e-KTP semuanya," cerita Dewi.

Dewi dan komunitas Sunda Wiwitan menolak jika dituding bukan warga negara yang baik karena bermasalah dalam pencatatan kependudukan. Padahal menurut dia masalah tidak terletak pada mereka.

"Seolah-olah kami tidak mau tunduk pada aturan. Justru kami ini kan sepakat pada konstitusi di negara ini. Sebuah hak dan pilihan untuk berorganisasi itu ada dalam konstitusi negara ini," tegas Dewi.

Persoalan sama juga dialami oleh penganut ajaran Ahmadiyah. Setelah dinyatakan bukan bagian dari Islam, mereka juga mengalami masalah saat mengurus dokumen kependudukan. Warga Ahmadiyah di Kuningan tidak diperbolehkan mengambil E-KTP mereka walau sudah selesai.

Alasannya adalah Dinas Dukcapil setempat berpatokan pada fatwa ulama menyatakan Ahmadiyah bukan Islam. Padahal dalam kolom agama E-KTP mereka ditulis Islam.

"Itu kan menjadi lucu. Dukcapil mengambil referensi yang dikeluarkan ulama," kata Juru Bicara Ahmadiyah Indonesia, Yendra.

Padahal, lanjut Yendra, Kementerian Dalam Negeri sudah memerintahkan dengan surat supaya E-KTP pemeluk Ahmadiyah di Kuningan tetap diberikan. Dia menilai persoalan itu hanya akal-akalan pejabat di Kabupaten Kuningan. Seharusnya, kata Yendra, Bupati Kuningan, H. Acep Purnama, berlaku adil bagi setiap warganya.

Yendra berkeras Ahmadiyah bukan agama. Hanya sebuah organisasi atau komunitas. Setara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

"Ya sekarang sama aja, seperti orang NU mau ditulis di E-KTP orang NU, tentu tidak. Apakah Muhammadiyah mau ditulis tidak," ujar Yendra.

Sudah berkali-kali warga Ahmadiyah di Kuningan mengadu ke beberapa lembaga. Antara lain Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mengirim surat ke Kemendagri, DPR RI, dan mengunjungi Pemkab setempat.

Bahkan, kata Yendra, Komisi VIII DPR RI juga sudah mendatangi kantor Dinas Dukcapil Kabupaten Kuningan. Namun tetap saja sampai saat ini belum juga diberikan. Padahal E-KTP adalah bentuk tanda kependudukan buat mengurus keperluan administrasi lainnya. Jadi, jika tidak memiliki E-KTP, urusan lainnya pun akan terhambat, seperti pembuatan paspor, akta kelahiran, surat izin mengemudi, dan lain-lain.

Tidak cuma urusan E-KTP membuat warga Ahmadiyah terpinggirkan. Menurut Yendra akta menikah pun menjadi permasalahan. Kantor Urusan Agama di Kabupaten Kuningan menolak mengurus dan mencatatkan pernikahan mereka. Maka dari itu jemaat Ahmadiyah memilih menikah di daerah lain.

"Kan permasalahannya daerah ini aja yang dipermasalahkan, daerah yang lain tidak," kata Yendra.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh, menyatakan permasalahan itu sudah diselesaikan. Soal kolom agama, sesuai amanat undang-undang, bagi mereka memeluk keyakinan di luar agama resmi maka dipersilakan mengosongkannya. Sedangkan terkait persoalan warga Ahmadiyah, Zudan mengaku sudah memerintahkan kepala daerah setempat dan pejabat berwenang segera menerbitkan E-KTP itu.

"Semua sudah kami selesaikan. Kalau ada komplain silakan disampaikan melalui nomor WhatsApp yang ada di situs Ditjen Dukcapil. Langsung kami tangani," kata Zudan. p

(mdk/ary)

https://m.merdeka.com/khas/jalan-ter...rut-e-ktp.html
0
507
3
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.3KThread84KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.