i.am.legend.Avatar border
TS
i.am.legend.
Operasi Woyla, Cikal Bakal Nama Tim Elit Sat-81 Gultor Kopassus


Don Muang, Bangkok, Muangthai (Thailand).
Saat itu tanggal 1 April1981. Pesawat Woyla Garuda Indonesia diam membisu ditemaram malam, membeku di landasan udara, dibawah penguasaan para pembajak yang melabeli diri mereka Komando Jihad. Waktu menunjukan pukul 02.36. Ketika para penumpang yang berjumlah 48 orang dan semua kru pesawat tengah hening dibawah todongan senjata dan ancaman para teroris, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan sebuah teriakan.
"Komando! Komando! Semua tiarap! Tiarap!"
Senjata semi otomatispun menyalak menghamburkan peluru tajam ke tubuh-tubuh para teroris yang tak menduga dengan serangan mendadak tersebut. Dan hanya dalam tempo 3 menit, semua selesai. Sandera berhasil dibebaskan. Sayangnya 2 nyawa putra terbaik Indonesia harus gugur akibat dari pembebasan sandera itu, yaitu Kapten Pilot Herman Rante dan anggota Kopasandha (Kopassus) Calon Perwira Achmad Kirang. Mereka meninggal dalam perawatan dokter beberapa hari setelah kejadian.[/FONT]



Tak terasa sudah 37 tahun berlalu, tapi kisah heroik salah satu pasukan elit Indonesia ini tak lekang oleh jaman.

Drama pembajakan itu dimulai dari Palembang. Pagi tanggal 28 Maret 1981. Saat itu, pesawat Garuda Indonesia dengan rute Jakarta- Medan dengan nomor penerbangan GA-206 DC-9 tengah transit di Palembang. Pilot pesawat kapten Herman Rante bersiap-siap menerbangkan pesawatnya menuju Bandara Polonia, Medan. Baru beberapa menit lepas landas, terdengar kegaduhan dibagian belakang pesawat. Ternyata pesawat telah dibajak oleh 5 orang teroris bersenjata. Satu orang teroris bersenjatakan revolver cal 38 menuju kokpit dan menodongkan senjatanya ke kepalanya. Secara sembunyi-sembunyi, Herman Rante sempat mengirim sinyal kepada pesawat terdekat. Beruntung, sinyal itu ditangkap oleh Kapten A. Sapari, pesawat Garuda F -28 yang baru terbang dari Pekan Baru. “Dan ketika kedua pilot itu berhubungan, Sapari mendengar suara Herman yang gugup. Herman berbicara, “Being hijacked . . . being hijacked . . .,”

Dari kontak itu, berita pembajakan Garuda 206 “Woyla” mencuat hingga Jakarta. Saat itu hampir seluruh petinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sedang mengikut Rapimnas tahunan di Ambon, kecuali Pangkopkamtib, Laksamana Soedomo. Mendengar berita dari Soedomo, Menteri Pertahanan Jendral M. Jusuf meminta Asisten Intelijen Hankam merangkap Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), Letnan Jenderal Benny Murdani untuk kembali ke Jakarta.

Di Jalan Cendana, Jakarta, Benny Murdani bersama Soedomo melapor kepada Presiden Soeharto. Benny memohon izin untuk melaksanakan opsi militer.
“Kamu sudah perkirakan, kemungkinan berhasilnya,” tanya Soeharto
“Fifty-fifty, Pak,” jawab Benny
“Laksanaken,” Presiden Soeharto merestui.


Sementara dalam peristiwa pembajakan tersebut, pesawat Garuda GA-206 dipaksa menuju Malaysia. Setelah teroris meminta otoritas Malaysia untuk mengisikan bahan bakar pesawat, akhirnya teroris memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat menuju Bangkok, Thailand, yang saat itu masih bernama Muangthai. Tuntutannya tidak main-main. Mereka menuntut pemerintah Indonesia membebaskan 80 anggota Komando Jihad yang dipenjara karena beberapa kasus. Antara lain penyerangan Mapolsek Pasir Kaliki, Teror Warman di Raja Paloh dan aksi lainnya sepanjang 1978-1980. Selain itu, mereka juga meminta uang USD 1,5 juta. Dan terakhir adalah sebuah pesawat dengan pilot untuk tujuan yang masih dirahasiakan.

Didalam pasukan Baret Merah sendiri, masalah lain muncul. Hampir seluruh pasukan tengah mengadakan latgab di Ambon. Bahkan pasukan komandopun berada disana untuk berlatih anti teror. Hanya 1 perwira paling senior yang tersisa di markas Baret Merah. Dia adalah Letnan Kolonel Sintong Panjaitan. Sintong merupakan komandan Grup IV/Sandiyudha, Kopassandha. Parahnya lagi, Sintong Panjaitan tengah cedera patah kaki akibat kecelakaan saat sesi penerjunan. Berjalanpun harus menggunakan tongkat. Ketika Komandan Kopasandha (Kopassus) Brigadir Jenderal Yogie S Memet memerintahkannya memimpin operasi, mau tidak mau harus mau. Akhirnya Sintong memegang komando pasukan Baret Merah dalam operasi militer tersebut, dan diapun harus memaksa berjalan tanpa tongkat meskipun kakinya patah!

Operasi pembebasan ini tidak main-main. Bahkan seorang Letnan Jenderal TNI LB Moerdani terbang ke Bangkok untuk memimpin langsung operasi tersebut. Ini membuat pihak Muangthai (Thailand) jengah. Kehadiran seorang Benny Moerdani adalah sebuah sinyal tegas bahwa jangan pernah main-main dengan Indonesia. Meskipun pihak Thailand bereaksi dengan sikap ketidaksetujuannya, tapi ketika pesawat Garuda dibajak diwilayah mereka, maka itu pasti jadi urusan pemilik, dalam hal ini Indonesia.

Sintong sendiri dalam waktu yang singkat harus memilih prajurit Baret Merah yang tersisa di markas. Siapapun yang terpilih pastinya sangat bersuka cita, sebab bagi mereka itu adalah pesta besar! Gelar Operasi bagi mereka adalah ajang pembiktian diri bahwa mereka adalah prajurit para komando sebenar-benarnya. Maka tanggal 30 Maret 1981, dengan 1 pesawat yang bertolak dari Bandara Halim Perdana Kusumah, seluruh prajurit terpilih terbang ke Bangkok. Pihak Thailand yang melihat keteguhan hati pihak Indonesia akhirnya memberi ijin pesawat mendarat. Mereka, para prajurit komando ini telah bersumpah, kemanapun Wolya terbang, mereka akan memburunya! Mereka, selama penantian operasi terus berlatih, menunggu pihak otoritas Thailand memberi ijin operasi. Akhirnya lampu hijau diberikan pemerintah Thailand. Pasukan Komando Indonesia diberi izin melakukan operasi militer di Bandara Don Muang. Disepakati waktu penyerangan adalah jam 03.00 dini hari tanggal 1 April 1981. Akan tetapi tiba-tiba keputusan berubah. Waktu operasi dimajukan. Bagi para prajurit Baret Merah, itu bukan masalah besar. Tugas telah disematkan, maka wajib diselesaikan! Bahkan ketika Benny Moerdani bertanya, berapa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan operasi militer tersebut, Sintong menjawab tegas, 5 menit!

Sebelum operasi dilakukanpun sempat terjadi perdebatan antara pihak militer Indonesia dengan militer Thailand. Siapa yang paling berhak memimpin operasi. Akhirnya diadakanlah simulasi. Ternyata militer Indonesia lebih cepat melakukan simulasinya. maka bergeraklah para prajurit komando ini menuju pesawat.



Wartawan-wartawan Thailand sempat meremehkan prajurit-prajurit Indonesia yang tampak santai berjalan seolah tanpa beban dan tanpa senjata. Mereka tidak tahu kalau senjata para komando ini disembunyikan.

Tak membutuhkan waktu lama, 5 orang teroris berhasil dilumpuhkan dan ditembak mati. 2 diantaranya ditembak mati karena berusaha kabur dari pesawat.



Kisah Dibalik Layar

Woyla adalah nama panggilan bagi pesawat Garuda GA-206 DC-9. Nama ini diambil dari nama wilayah di Propinsi Aceh.

Dari hasil olah TKP, ternyata para teroris ini bukan hanya mempersenjatai diri dengan Revolver Cal 38 dan senjata tajam saja. Pembajak juga membawa alat peledak berupa dua stik dinamit, sebuah TNT ukuran 5x5x7, sebuah granat, dan satu detonator.

Ternyata tujuan awal yang diminta para pembajak ini adalah negara Srilangka, namun sempat ditolak oleh Kapten Pilot Herman Rante dengan alasan bahan bakar tidak cukup.

Dari penelusuran interogasi, ternyata tujuan akhir pesawat yang dibajak atau pesawat pengganti adalah Libya. Libya yang dipimpin oleh Kolonel Muammar Khadafi dikenal sebagai pemimpin yang sangat welcome dengan teroris dan membantu teroris dimanapun dimuka bumi ini. Jika saja pesawat sampai di Libya, maka kemungkinannya sangat kecil bagi Indonesia untuk dapat menyelamatkan seluruh kru pesawat serta penumpang, juga pesawat Garuda GA-206 itu.

Letnan Kolonel Sintong Panjaitan ternyata sempat membohongi para prajurit yang bertugas saat itu dengan mengatakan operasi pembebasan dibatalkan agar para prajurit yang kelelahan tidak stress dan dapat istirahat tidur dengan nyenyak.

Para teroris yang tercatat tewas itu adalah Zulfikar T Djohan Mirza, Sofyan Effendy, Wendy Mohammad Zein, Mahrizal dan Mulyono. Ini didapat dari pengakuan Wendy yang saat itu sekarat karena tertembak. Wendy adalah adik kandung dari Imran bin Muhammad Zein, pemimpin kelompok yang akhirnya ditangkap lalu dihukum mati pada tahun 1985.

Para teroris ternyata merampas semua harta dan perhiasan penumpang pesawat, mengintimidasi serta melecehkan para wanita dalam pesawat tersebut.

Seluruh prajurit yang bertugas saat itu mendapat penghargaan Bintang Sakti dan kenaikan pangkat luar biasa 1 tingkat, kecuali Capa Achmad Kirang yang mendapatkan kenaikan pangkat 2 tingkat anumerta.

Tujuan utama dari para teroris tersebut adalah ingin mendirikan negara Khilafah Islam Indonesia.


Dan yang paling penting, beberapa waktu berjalan, akhirnya Kopasandha berganti nama dengan Kopassus, dan pada akhirnya lahirlah satuan elit dalam Kopassus yang bernama Sat-81 Gultor. Kode 81 adalah angka dimana kejadian drama pembebasan pembajakan pesawat Wolya dilakukan yaitu tahun 1981.

Quote:


Quote:




=================
Sumber Referensi :
disini
disini
disini
disini
disini
Gambar-gambar dicomot dari sumber pihak ketiga dari Google.

Diubah oleh i.am.legend. 06-09-2018 18:34
2
12.6K
110
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.