Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sonja6006Avatar border
TS
sonja6006
Big Girl's Dilemma {OPEN UP}



What Is Your Wedding Dream?

Pesta mewah?

Gaun cantik?

Riasan yang wah?

Pagelaran wayang kulit tujuh hari tujuh malam?

Atau...

Setiap anak gadis pasti memiliki pernikahan impian, bukan? Satu hari menjadi ratu. Wow. Gadis mana yang menolak menjadi ratu sehari? Disanjung-sanjung sebagai pengantin tercantik, duduk bersanding dengan suami di pelaminan, para tamu undangan yang tak putus memberi ucapan selamat...

Semua seperti mimpi.

Tapi...

Ibu pernah bertanya padaku, "Nak, kamu mau pesta pernikahan yang bagaimana?"

Aku terdiam. Aku tidak banyak mengenal warga di sekitar rumah karena aku jarang pulang. Aku jarang menghadiri acara yang dilaksanakan di sekitar rumahku. Jangankan menghadiri, ketua RT dan RW disini saja aku tidah tahu.

Betapa kupernya aku.

Satu-satunya kegiatan yang sering kulakukan saat dirumah adalah sholat berjamaah di masjid dekat rumah. Kadang ibu pergi ke masjid bersamaku. Kadang aku pergi sendiri. Saking jarangnya wajahku terlihat di linglungan sini, jamaah yang lain kerap bertanya pada ibuku, "Siapa perempuan yang bersamamu?"

Ibu tersenyum dan berkata, "Dia putriku." kata ibu.

Warga pun geger. Mereka tidak tahu bahwa ibuku memiliki anak gadis. Yang mereka tahu anak ibuku hanyalah dua orang bujang tanggung. Gadis ini tidak pernah terlihat, pun berpapasan tidak ada tegur sapa yang terjadi.

Aku bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan ibu. Saat aku masih sibuk dengan urusanku, ibu bertanya pesta pernikahan seperti apa yang kuinginkan.

"Tidak tahu, bu. Nanti saja kupikirkan." Jawabku seadanya.

Dulu bapak pernah berseloroh, "Nak, nanti saat kamu menikah bapak akan buatkan pesta yang layak, selayaknya pesta gadis besar."

Gadis besar adalah sebutan bagi anak perempuan tertua atau anak perempuan tunggal dalam keluarga. Aku merangkap keduanya. Aku adalah tertua, dan aku anak perempuan satu-satunya dalam keluarga bapak. Selorohan bapak waktu itu tentu saja membuatku gembira. Aku merasa tidak perlu memikirkan bekal untuk memulai rumah tangga karena orangtuaku akan memodali. Mulai dari tempat tinggal hingga isi kamar dan bekal berupa emas.

Tapi sekarang saat kondisi kekuarga sedang terpuruk, pantaskah aku meminta pesta sebagai 'Gadis Besar'?

"Kok tumben ibumu bertanya seperti itu?" Tanya pacarku diujung sambungan telepon saat kuceritakan pertanyaan ibuku.

"Entahlah. Mungkin ibu merasa sudah waktunya aku meminta." Jawabku menghela napas berat.

"Ada apa? Ceritalah, aku tahu ada yang mengganjal di pikiranmu." Katanya.

"Aku merasa tidak pantas meminta sebuah pesta besar saat kondisi keluargaku sedang terpuruk," aku menjawab muram.

Dia terdiam beberapa saat. Agaknya dia pun tidak punya solusi untuk hal ini. Karena dia terdiam, akupun bertanya, "Bagaimana menurutmu?"

Aku mendengar dia menghembuskan napas sesaat sebelum bicara, "Yang, aku ingin meminangmu dengan pantas sesuai keinginanmu dan kesanggupan keluargaku." Jawabnya dengan mantap.

Aku tertegun. Agaknya aku meragukan pendengaranku sendiri. Benarkah dia barusan berkata ingin meminangku? Aku tidak salah dengar kan?

"Sepertinya aku salah dengar, tolong ulangi ucapanmu tadi, mas." Pintaku, kali ini aku bersiap untuk mendengarkan dengan lebih seksama.

Diujung telepon, dia terkekeh kecil lalu mengulagi ucapannya, "Aku akan meminangmu dengan pantas, yang. Sesuai dengan keinginanmu dan kesanggupan keluargaku."

Sesuatu terasa pecah di dadaku, lalu meluncur turun ke perutku. Aku tergugu. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Tidak pernah kuduga akan seperti ini lamaran pribadi yang kuterima karena dia sejauh ini bersikap terlalu santai seolah tidak, atau belum, memikirkan sebuah pernikahan. Pernikahan denganku! Sebentar, ini...lamaran kan?

"Apakah kamu barusan...melamarku?" Sekali lagi aku memastikan dengan suara yang bergetar tanpa kusadari.

Hening. "Iya."

Oh Tuhan!

Tuhanku!

Bagaimana ini? Aku memangis saking bahagianya!

"Hey, kenapa menangis?" Suaranya terdengar cemas diujung sana. "Kamu tidak dilamar duluan oleh orang lain, kan?"

"Tidak, tidak." Aku menjawab cepat. Kuseka air mata dan ingusku dengan lengan baju. Biarlah jorok, aku terlalu senang untuk merasa jijik. "Aku bahagia sekali!" Seruku sampai terdengar seperti membentak.

Kacaulah. Sulit sekali mengendalikan diri ini saat emosiku memuncak.

"Aku akan datang ke rumahmu akhir bulan ini. Aku akan datang sendiri untuk meminta izin dari ayahmu sebelum membawa keluargaku untuk resmi melamarmu. Maukah kau menunggu sebentar?"

Lagi, sesuatu terasa pecah di dadaku dan meluncur turun ke perut. Sial. Aku menangis lagi. "Iya..akan kutunggu.." aku menjawab diiringi isak tangis.

Ibuku menutup mulut, ayahku tertegun saat besoknya kuceritakan bahwa akhir bulan ini pacarku akan datang. Reaksi ibu jelas, ibu menangis bahagia. Sementara bapak, ada raut kegelisahan di wajahnya. "Pak," panggilku duduk mendekat pada bapak. Bapak berdiri, hanya memberi senyum sekilas lalu beranjak pergi.

Aku bingung dengan reaksi bapak. Meski sudah bisa kutebak apa yang ada di pikiran beliau, tetap saja aku gelisah dengan reaksi bapak.

"Anakku.. Oh, anak gadisku sudah besar sekali.." Ibu berucap disela tangisnya sambil kedua tangan membelai dan mengusap pipi dan kepalaku. Aku hanya tersenyum, tidak mampu menyuarakan betapa leganya melihat reaksi ibu yang mendukungku meski reaksi bapak demikian.

Selama beberapa hari, bapak seolah menghindariku. Saat aku bangun untuk sholat subuh, bapak selalu sudah selesai dan bersiap untuk lari pagi. Saat malam, bapak lebih sering keluar, katanya ada jadwal ronda di RT dan RW. Saat siang hari dan bapak sedang libur bekerja, bapak pergi ke sungai untuk memancing.

Cukup sudah. Bapak menghindariku cukup lama sementara dua hari lagi pacarku akan datang. Aku harus menyelesaikan ini.

Jadi siang itu, kususul bapak ke sungai.

Bapak pamitnya untuk mancing, tapi yang kulihat bapak hanya tiduran di bawah sebuah pohon rindang dengan tangan kanan menekan kepalanya. Pancingan bahkan terlipat rapi di sampingnya. Bapak tiduran diatas rumput, tanpa alas apapun yang menghalangi punggungnya dari rerumputan kering. Hatiku mencelos melihat bapak. Bulat sudah tekadku.

"Pak." Panggilku duduk di sampingnya. Bapak tidak menjawab. "Bapak." Kali ini kugoncang pelan tangannya. Bapak terlihat terkejut seperti orang yang bangun tidur. Tapi aku tahu bapak tidak tidur. Kedua mata bapak akan memerah saat bangun tidur, tapi kali ini mata bapak sayu dan terlihat lelah.

"Pak, aku tahu apa yang bapak pikirkan. Bapak jangan memberatkan diri untuk memikirkan bagaimana pesta pernikahanku. Lagipula pacarku datang sendirian, hanya untuk silaturahmi." Ujarku berusaha menekan tangis yang terasa menggondok di tenggorokan.

Bapak menatapku, "Maafkan bapak, nak." Ujar beliau menunduk, lalu menghela napas. "Dulu bapak menjanjikan pesta penikahanmu akan selayaknya gadis besar. Tapi ternyata saat ini, saat kamu akam dilamat lelaki pilihanmu, bapak tidak bisa menepati janji. Bapak malu sekali sampai tidak sanggup untuk menatapmu."

Seketika tangisku pecah. Benar-benar pecah sampai nyaris histeris. Hatiku pedih sekali melihat bapak yang tertunduk seperti ini. Padahal bapak srlali beruaaha mencukupi kebutuhanku. Padahal bapak rela menjual semua hartanya untuk melindungi keluarga kami. Padahal, setelah semua pengorbanannya, bapak tidak pernah meminta sesuatu apapun dariku, atau ibu, atau adik-adikku. Bahkan saat ini pun, bapak masih memikirkanku sampai beliau tertunduk di depan putrinya sendiri.

Anak mana yang sanggup melihat bapaknya tertunduk?

Anak mana yang masih sanggup meminta saat melihat kondisi bapaknya seperti ini?

Jikapun ada, aku bukanlah orangnya.

Aku tidak sanggup. Jangankan meminta, untuk bicara saja saat ini aku tak sanggup.

Jadi yang kulakukan adalah memeluk bapak. Memeluk lelaki yang rela menukar apa saja demi kebahagiaanku. Lelaki yang menangis saat aku sakit dan berada sangat jauh dari rumah. Lelaki yang seketika menempuh jarak ribuan kilometer saat aku kecelakaan kecil. Lelaki yang menangis bangga saat menghadiri wisudaku. Bahkan saat aku menangis, beliau masih menahan airmatanya untuk mengusap punggungku sambil berkali-kali meminta maaf dengan suara bergetar.

Entahlah berapa lama aku menangis sampai saat tangisku reda, bapak pun mengajak pulang.

Aku bersujud memohon petunjuk pada Yang Kuasa saat terbangun pukul tiga pagi. Sekali lagi, tangisku pecah. Aku memikirkan bapak. Aku rela, ikhlas lillahita'ala bila memang pernikahanku tidak dilaksanakan semeriah yang dulu kuinginkan. Pesta pernikahan tidak lagi penting buatku. Yang penting saat ini adalah bagaimana aku meminta hal yang tidak memberatkan bapak, maupun pacarku.

Aku mengingat kembali masa-masa kecilku. Aku mengingat kembali senyuman bapak meski lelah saat pulang kerja. Aku mengingat kembali petuah-petuah bapak saat aku memutuskan untuk belajar keluar kota. Aku mengingat kembali kenangan-kenangan indah saat awal pacaran dulu. Aku mengingat kembali semua pertengkaran dan penyelesaian yang terjadi dalam hubunganku. Aku banyak berpikir dan mengingat, sampai jatuh tertidur diatas sajadah dengan mukena masih terpasang.

Saat bangun tidur, segala puji dan syukur kupanjatkan kepada Yang Kuasa. Karena aku menemukan apa yang kuinginkan.

Pernikahan impianku.

Pacarku datang ke rumah saat sore pada hari yang dia janjikan. Jantungku berdebar-debar saat melihatnya tersenyum di depan pintu dengan sambutan hangat dari bapak. Aku tersenyum sekilas padanya. Ingin sekali aku menghampiri untuk menyapa, namun suara ibu memanggilku ke dapur untuk membawa suguhan minum dan camilan.

"Duh duh, yang pacarnya datang. Awas sobek mulutnya, mbak, kebanyakan senyum." Komentar adikku yang paling besar, dia langsung berlari menghindar saat kulempar tisu sambil tertawa. Dari dapur kudengar dia menyapa pacarku seperti teman lama.

"Kamu ke kamar gih, dandan yang rapi. Masa pacarnya datang tapi kucel begitu," komentar ibu. Aku menuruti perintah ibu sekalian mandi. Sebenarnya tadi aku sudah mandi, tapi entah kenapa aku ingin sekali membersihkan badan sekali lagi.

Saat aku selesai dengan ritual mandi dan berias, kulihat semuanya keluargaku sedang duduk bersama di ruang tamu. Semua langsung terdiam saat aku muncul, keterdiaman mereka membuatku kikuk. Jadi yang kulalkuka adalah mengucapkan salam.

Hanya pacarku yang menjawab salam, sementara ibu dan bapak menggeleng, dan adikku tertawa kurang ajar. "Kan di dalam rumah, mbak, ngapai salam?" tanya adikku meledek.

"Mbak kan salam sama si mas." Jawabku ketus. Mengabaikan adikku yang kurang ajar, aku mendekati mas untuk menyalaminya seperti yang biasa kulakukan, mencium tangannya.

"Ciyee udah kayak ibuk-bapak ciyee.." Goda adikku. Dalam hati aku bersumpah akan menjitaknya saat nanti si mas sudah pulang.

"Hush, jangan gitu ah dek." Tegur bapak, adikku langsung diam. Dalam hati aku berucap, "Rasain!"

"Diminum nak, teh nya. Sudah dingin loh," kata ibuk mempersilahkan si mas untuk menikmati suguhan. Aku duduk di samping ibuk, tidak berani duduk di sebelah si mas saat tatapan bapak seperti tukang jagal. Bukan bapakku sajat, tapi raut wajah beliau memang agak seram. Yah, cukuplah membuat anak-anak kecil langsung menangis saat bapak dekati.

Si mas berdeham setelah menyeruput teh nya. Sepertinya sejak tadi bapak sudah basa-basi dengan si mas, terlihat dari sikap bapak yang ramah saat berbincang. Selang beberapa menit kemudian, si mas mengutarakan maksudnya datang kemari.

"Pak, bu, saya mencintai putri kalian. Jika bapak dan ibu berkenan, saya bermaksud untuk meminang putri bapak dan ibu untuk menjadi istri saya. Saya ingin meminta izin langsung pada bapak dan ibu sebelum membawa keluarga saya." Ujar si mas jelas dan lugas. Tidak ada keraguan dalam suaranya. Aku tertunduk, berusaha menelan tangis kebahagiaan yang terasa akan pecah. Belum saatnya menangis. Tenanglah.

Bapak berdeham. Ibu mengusap punggung tanganku menenangkan. "Bapak memberikan izin, nak. Tapi yang menjalani adalah putri bapak, jadi biar putri bapak yang memutuskan."

Aku mendongak, menoleh pada bapak, lalu pada ibu. Ibu hanya mengangguk, dan bapak tersenyum dibalik kumis tebalnya.

"Dek, sebelum aku bertanya padamu aku ingin mengatakan ini; pernikahan akan sama sekali beda dengan yang selama ini kita jalani. Aku tidak bisa menjamin kehidupan kita kedepannya akan seperti cerita dongeng. Aku tidak bisa berjanji kita tidak akan menghadapi masalah nantinya. Tapi aku berjanji akan menjaga kamu dari kesengsaraan. Aku berjanji akan menjadi imam dan bertanggung jawab atas segala kebutuhanmu selayaknya seorang suami yang di syariatkan dalam agama. Aku berjanji akan bekerja keras untuk masa depan dan hari tua kita nanti. Untuk semua masa depan yang menanti kita, maukah kamu menjadi istriku?"

Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, air mataku sudah mengalir deras. Aku tidak mampu mengungkapkan perasaanku saat ini sampai bahuku terasa bergetar. Dari tempatku duduk aku melihat kedua tangan mas saling menggenggam erat untuk menekan emosinya sendiri. Entah apa yang mas rasakan, tapi aku tau dia pun bergetar saat ini. Jadi satu-satunya hal yang kulakukan adalah mengangguk.

Aku mengangguk menerimanya sebagai suamiku. Aku mengangguk dengan keyakinan, entah cobaan apa yang terjadi di depan sana, kami pasti dapat mengatasinya. Aku menganggum dengan keyakinan Tuhan akan merestui kami.

"Iya, aku mau." aku menjawab setelah menemukan kembali suaraku.

Mas tersenyum lega. Dia segera menghampiri bapak, bersimpuh di hadapan beliau dan mencium tangannya. Sambil menunduk dia meminta restu pada bapak. Kemudian dia melakukan hal yang sama pada ibu. Ibu mengelus kepala si mas seolah mas adalah anaknya sendiri. Kemudian dia menghampiriku, akupun mencium tangannya lagi. Dia membisikkan terimakasih yang seketika membuatku kembali merasakan sensasi sesuatu meluncur ke perut.

Kami menjalankan sholat maghrib berjamaah. Tak henti-hentinya puji syukur kupanjatkan pada Yang Kuasa. Betapa besar nikmat yang telah diberikan pada keluarga kami meski sedang dilanda cobaan yang lain.

Selepas sholat maghrib, kami makan malam bersama. Disinilah kuungkapkan apa yang menjadi keinginanku.

"Pak, bu, mas." Panggilku saat kami tengah menikmati hidangan.

"Aku tidak ingin pesta yang besar." Ujarku. Bapak tertegun, kembali raut gelisah hinggap di wajah beliau. "Daripada untuk pesta besar, aku ingin kita masak dan dibagikan pada fakir miskin, anak-anak yatim, dan tetangga-tetangga tanpa ada embel-embel resepsi. Cukup hanya doa selamat yang kuinginkan. Bapak, tolong jangan membebani diri dengan segala macam pesta gadis besar, aku hanya butuh restu dan ibu dan bapak. Mas, tolong jangan keberatan dengan permintaanku, ya?"

Semua wajah di sekeliling meja makan terlihat terkejut dengan permintaanku. Bapak adalah yang bereaksi pertama. Kali ini beliau tidak sanggup menahan air matanya. Bukan air mata kesedihan, tapi kelegaan dan kebanggaan yang terlihat di wajahnya. Si mas juga tersenyum mengangguk. Kami melanjutkan makan dengan perasaan lega.

Mas pamit selepas menjalankan sholat isya. Calon suamiku menginap di rumah temannya beberapa kilometer dari rumahku. Aku tidak tahu dia punya teman disini. Sebelum pulang, dia bertanya padaku, "Dek, apa benar hanya itu yang kamu inginkan? Aku memang berkata sesuai kesanggupan keluargaku, tapu aku merasa tidak enak pada orangtuamu."

Aku tersenyum, "Ada hal lain yang kuinginkan, mas." Si mas memberiku tatapan bertanya, "Aku ingin kamu menjadi imam saat sholat subuh di masjid pada hari pernikahan kita. Aku ingin akad nikah dilaksanakan pagi, sehingga kita bisa langsung membagikan makanan, seperti yang dulu kita lakukan saat bulan puasa. Aku tidak ingin pesta besar karena aku ingin rumah tangga kita di dasari oleh keikhlasan dan doa yang tulus, bukan gengsi semata." Ujarku menjelaskan dengan keyakinan dari dasar hatiku.

Mas tersenyum, lalu mengecup puncak kepalaku. "Mas bangga sama kamu, dek."

Kemudian dia pamit pulang pada ibu dan bapak. Dia berkata bahwa bulan depan dia akan membawa keluarganya ke sini untuk acara lamaran yang langsung disambut baik oleh bapak. Bapak berpendapat tidak perlu lama menunggu untuk melangsungkan niat baik kami semua.

Malam itu, aku tidur dengan perasaan lega, tenang, dan damai. Tidak ada beban di pikiranku. Betapa leganya aku karena keinginan sederhanaku disambut baik. Sebelum lelap memelukku, aku sempat berpikir bahwa pernikahan impian tidak harus diimpikan dari jauh-jauh hari. Tidak perlu menjanjikan ini itu untuk hal yang masih jauh dari terjadi. Bahkan tidak perlu gelisah untuk hal yang belum tentu akan terjadi. Karena Yang Kuasa selalu mempunyai rencana terbaik untuk hambanya. Janji-Nya itu mutlak. Tergantung bagaimana kita menjemputnya.

Tamat.
0
2.5K
22
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
Heart to HeartKASKUS Official
21.8KThread27.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.