Siang itu Matahari dan Bulan sedang merenung, sebabnya sang pengelana kini lebih banyak diam, lebih banyak merenung di batu terakhiria berpijak, anak sang Matahari, Putri Senja meninggalkannya entah rayuan dan cumbu tiada guna baginya.
Matahari: (hanya bisa bergeleng2) kasihan sang Pengelana, mungkin ia sakit, lihatlah sahabatku, nasi dan ayam itu tampak sedap sayangnya sang Pengelana mungkin sedang depresi.
Bulan: (tampak bingung) entah bagaiamana caranya aku juga tidak tahu harus bilang apa, anak muda itu tampak letihnya (ikut geleng-geleng) , biasanya dia yang paling pandai menghibur kita
Matahari: benar kawan, tapi aku rasa dia sakit
Bulan: Sakit??
Matahari: iya sakit, seharusnya anakku bisa membuatnya bahagia, buat dia lupa sedih dan letih pada perjalanannya
Bulan: andai demikian caranya, mengapa tidak kau minta putrimu kembali padanya,
Matahari: aku sudah mencoba tapi apa daya, istriku tidak berkenan dan mampu mengatakan apa-apa lagi sejak awan hitam menipu kami dan sang pengelana, kasihan dia
Bulan: hmmm.. aku juga tidak tahu kapan ia seperti dulu lagi
Matahari: inilah roda waktu yang belum tentu kita tahu kapan akhirnya