Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

annisaputrieAvatar border
TS
annisaputrie
Fund Manager AS/Barat Sudah Tidak Mau lagi Beli 'corporate bond' asal Indonesia
Rizal Ramli: Fund Manager AS/Barat Sudah Tidak Mau lagi Beli 'corporate bond' asal Indonesia. Krisis Ekonomi di depan Mata
abtu, 4 Aug 2018 - 12:47 


Fund Manager AS/Barat Sudah Tidak Mau lagi Beli 'corporate bond' asal Indonesia

Mantan Menko Perekonomian (Ekuin) Rizal Ramli PhD baru-baru ini bertemu para fund managers di New York,tepatnya bulan lalu. Mereka merupakan fund manager paling  kecil yang memegang dana USD160 miliar maupun fund manager terbesar memegang dana hingga USD 1,5 triliun- mereka mengatakan sudah tidak mau lagi membeli corporate bond asal Indonesia. Itu jelas tragedy bagi bangsa ini, yang sudah dirundung malang, dirundung krisis ekonomi akibat kegagalan Jokowi-JK dan Sri Mulyani –Darmin Nasution-Rini Soemarno  cs.

‘’Ekonomi RI sudah rusak,  ambruk, bobrok  dan gagal akibat kegagalan tim ekuin Kabinet Kerja maupun kelemahan/inkompetensi Jokowi-JK sendiri,’’ kata pengamat ekonomi INDEF Bima Yudhirtira dan peneliti senior Dr Herdi Sahrasad, akademisi Univ.Paramadina.


Mantan Menko Kemaritiman/Menkeu Rizal Ramli (RR) sudah  meminta kepada seluruh komponen bangsa  dan kelompok strategis/ agama agar bersungguh-sungguh menyelamatkan Indonesia dari potensi Krisis Ekonomi dan Sosial yang mungkin terjadi. Tujuannya agar tidak mengulangi Tragedi Krisis 1998.


RR merasa kecewa. Karena sudah sejak dua tahun sebelumnya, sejak sekitar pertengahan 2016, Rizal mencoba ingatkan pemerintah tentang kondisi ekonomi “lampu kuning”: defisit transaksi berjalan, neraca pembayaran negatif, sektor riil mandeg, dll. Rizal juga selalu kritik cara pemerintah mengelola makro-ekonomi sangat konservatif. Pemerintah dipandangnya hanya mengandalkan program austerity (pengetatan) dan kontraksi pajak, yang terbukti gagal di seluruh dunia, di Amerika Latin dan Eropa Barat.


Akibat dari kedua hal tersebut, berbagai indikator yang negatif dan kebijakan austerity, menurutnya (pada pertengahan 2016 tersebut), ekonomi Indonesia akan terus stagnan dan dapat “nyungsep” bila tidak hati-hati. Dan benar saja proyeksi Rizal Ramli, pertumbuhan ekonomi sejak 2016 hingga 2018 selalu berada di kisaran 5%. Bahkan kekhawatiran “nyungsep”-nya ekonomi, ditandai pelemahan nilai tukar rupiah yang menjadi perhatian pemerintah sekarang, sudah terjadi. Meskipun sebelumnya para menteri Jokowi sibuk membantah, dengan mengatakan ekonomi Indonesia sehat, tidak ada masalah, dan sebagainya.


Aliran modal yang keluar  dari Indonesia sejak awal tahun hingga 30 Juli 2018 sudah sebesar Rp 48,9 triliun. Cadangan devisa sejak awal tahun hingga sekarang telah terkuras Rp 150 triliun, dan rupiah merosot ke Rp 14.500. Indeks Saham anjlok, sehingga sewaktu Rizal bertemu para fund managers di New York bulan lalu – fund manager paling  kecil memegang dana USD160 miliar dan fund manager terbesar memegang dana hingga USD 1,5 triliun- mereka mengatakan sudah tidak mau lagi membeli corporate bond asal Indonesia.

Rizal menyatakan situasi ekonomi Indonesia dengan perumpamaan sederhana: “Badan ekonomi Indonesia sedang sakit, anti-body-nya lemah, setiap ada virus kita langsung sakit.” Neraca perdagangan selama semester I defisit (–) USD 1,05 miliar. Transaksi berjalan selama tahun 2018, menurut Bank Indonesia, diprediksi akan defisit (–) USD 25 miliar (data kuartal I sudah defisit (–) USD 5,5 miliar). Neraca pembayaran kuartal I 2018 defisit (–) USD 3,9 miliar. Keseimbangan primer selama tahun 2018 juga defisit (–) USD 6,2 miliar, menurut estimasi Departemen Keuangan.   


Presiden Jokowi pun, pada pidatonya di Istana Bogor (29/7), akhirnya mengakui lemahnya kondisi ekonomi Indonesia dengan menyebut duo defisit di transaksi berjalan dan neraca perdagangan. Persis seperti apa yang disampaikan Rizal. Untuk posisi Jokowi yang sportif dan clear, berbeda dari menteri-menteri –yang dicap Rizal sebagai ABS (Asal Bapak Senang)-, Rizal menyatakan salutnya.


Namun, akibat sudah terlanjur selama beberapa lama, diberikan laporan selektif dan asal bantah, oleh para menteri ABS, akibatnya ekonomi Indonesia saat ini sudah “setengah lampu merah”. APBN dipotong lagi pengeluarannya, proyek infrastruktur sebagian terpaksa ditunda, dan dilakukan pengetatan impor. Inilah harga yang harus dibayar oleh Indonesia akibat menteri-menteri ABS menolak realita.


Tapi, Rizal sangat mengutuk, di tengah situasi nyaris krisis seperti ini selalu saja ada oknum pejabat yang “bermain” mencari kesempatan dalam kesempitan. Permainan ini dilakukan dengan mengusulkan untuk menghapuskan DMO (Domestic Market Obligation) komoditi batubara. Kebijakan ini sangat menguntungkan produsen batubara tapi di sisi lain mempercepat kebangkrutan PLN. Rizal bersyukur Presiden Jokowi akhirnya membatalkannya. Sayang Rizal tidak menyebut siapa nama oknum pejabat tersebut. Rizal Ramli juga menjelaskan, bahwa kondisi saat ini sebenarnya penyakit ekonomi sebagian sedang digeser ke BUMN seperti Pertamina, PGN, PLN, dan sebagainya.


Kemudian, Rizal mulai menjelaskan perbedaan awal Krisis 1998 dengan kondisi pre-krisis hari ini. Pada 1998: 1) Utang swasta besar sekali, defisit transaksi berjalan besar, dan mata uang Rupiah over-valued; 2) Ekonomi punya bantalan (tabungan) besar, masih eskportir minyak mentah 1,3 juta barrel dan mengalami kelebihan kapasitas di sektor komoditi (sawit, kopra, cokelat, dsb). Sehingga saat krisis 1998 terjadi menghancurkan perekonomian di Pulau Jawa, petani di luar Jawa yang eksportir justru diuntungkan; 3) Friksi dan segmentasi sosial (isu etnik dan Agama) sangat kecil. Meskipun kecil ternyata masih kemudian terjadi krisis etnis pasca ledakan demontsrasi penolakan kenaikan harga BBM tahun 1998 di Makassar, Medan, Solo  dan Jakarta.


Hari ini, 2018: 1) Utang negara dan BUMN besar. Neraca perdagangan, transaksi berjalan, neraca pembayaran, dan keseimbangan primer, semua defisit. Meskipun magnitude ekonominya hanyalah 30-40% dari situasi ekonomi 1998; 2) Tidak ada bantalan ekonomi, karena kita sudah net importir BBM sekitar 1,5 juta barrel perhari, tidak ada kelebihan kapasitas di sektor komoditi, kecuali batubara dan sawit; 3) Friksi dan segmentasi sosial tajam (diwarnai isu anti etnis dan agama). Dengan kata lain, dampak sosial krisis yang akan terjadi di 2018/2019 dapat lebih berbahaya dari yang terjadi di 1998.


Menurut  Rizal, siapapun pemimpinnya, dengan kondisi seperti itu, Indonesia dapat mengalami kemunduran (set-back) sekitar 3-5 tahun. Ia pun menyayangkan para elit politik yang masih bercanda dan bermain lucu-lucuan dalam memilih pemimpin. 


Apakah para elit tersebut tega melihat Indonesia mundur 3-5 tahun lagi, di mana rakyat akan semakin miskin dan pengangguran semakin tinggi.. Jika cara kita memilih pemimpin menggunakan gaya “tribalisme”. Yaitu cara pandang politik yang mendahulukan kepentingan keluarga, kelompok, dan partai, serta semata-mata hanya untuk mengejar uang dan kekuasaan lagi. 

Gaya politik “tribalisme” seperti ini tidak akan menghasilkan pemimpin Indonesia yang kuat menghadapi tekanan negara-negara adidaya seperti AS dan Tiongkok di percaturan global.

Untuk itulah, Rizal Ramli, dalam penutup pidatonya menyarakan ratusan orang pergerakan yang hadir di ruangan itu untuk membentuk suatu Gerakan Nasional Penyelamatan Indonesia

https://www.konfrontasi.com/content/...rate-bond-asal


Dosen UBK Sebut Tim Ekonomi Jokowi Gagal
Minggu, 29 Jul 2018 18:20 WIB


Fund Manager AS/Barat Sudah Tidak Mau lagi Beli 'corporate bond' asal Indonesia
Foto: Ray Jordan/detikcom

Jakarta - Dosen Universitas Bung Karno Gede Sandra menuding tim ekonomi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal. Gede menganggap pemerintah gagal mengendalikan situasi perekonomian.

"Tim ekonomi pemerintah telah gagal memperkirakan atau gagal melakukan forecasting situasi ekonomi nasional, yang seharusnya menjadi kompetensi utama mereka," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima, Minggu (29/7/2018).

Dia mengindikasikan kegagalan tersebut lantaran pemerintah pernah menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7%, namun hingga kini belum berhasil direalisasikan.

Baca juga: AHY Bertemu Rizal Ramli, Bahas Apa?

"Nyatanya cuma dapat 5%. Kini bilang ekonomi kita akan baik-baik saja, ternyata toh ada masalah yang cukup fundamental seperti duo defisit yang disampaikan Presiden Jokowi dua hari yang lalu," sebutnya.

Kata dia, Jokowi juga sudah mengakui terdapat masalah fundamental ekonomi Indonesia. Masalah itu adalah defisit transaksi berjalan, dan defisit neraca perdagangan. Itu menyebabkan Indonesia rentan terpengaruh gejolak ekonomi dunia.

"Padahal beberapa saat sebelumnya tim ekonomi pemerintah, yang disuarakan terutama oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, si menteri terbaik di dunia, masih terus menyatakan bahwa fundamental ekonomi kita kuat, kondisi fiskal prudent, dan lain lain," jelasnya.

Baca juga: Rizal Ramli: Ekonomi RI Setengah Lampu Merah

Sebaliknya, Gede mengaku sejak akhir tahun lalu, terus mengingatkan pemerintah tentang kondisi lampu kuning alias setengah merah bagi perekonomian Indonesia. Itu disebabkan defisit seperti neraca perdagangan dan transaksi berjalan. 

"Tim ekonomi pemerintah yang sebelumnya menolak peringatan RR, akhirnya ramai-ramai mengakui bahayanya pelemahan nilai tukar dan tergopoh-gopoh mencari solusi untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan," lanjutnya.

Ungkapnya, pemerintah akhirnya meminta para eksportir kelas kakap membawa kembali seluruh devisa hasil ekspor mereka. Selanjutnya pemerintah akan menghentikan impor yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Terakhir membahas pencabutan harga khusus batubara atau DMO (Domestic Market Obligation).

Tolok ukur garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS), menurut Gede juga tidak relevan pasalnya menjadikan Rp 11 ribu sebagai acuan garis kemiskinan. Dia juga berpendapat penurunan kemiskinan versi BPS berbagai zaman kepresidenan tidak akurat.

Baca juga: Jenguk SBY, Rizal Ramli Beri Update Ekonomi Terkini

Dia merujuk data setelah reformasi, laju penurunan kemiskinan era Habibie 1,1%/tahun. Gus Dur 5,01% dalam 2 tahun, atau 2,5%/tahun. SBY periode pertama 2,5%, atau 0,5%/tahun. SBY periode kedua 3,46%, atau 0,69%/tahun. Sedangkan Jokowi 1,1% dalam 4 tahun, atau 0,28%/tahun.

"Jelas, angka laju penurunan kemiskinan era Jokowi adalah yang terkecil dan Gus Dur (tim ekonomi adalah RR dan Kwik Kian Gie), memiliki angka laju penurunan kemiskinan yang tertinggi versi BPS," tambahnya.

https://finance.detik.com/berita-eko...i-jokowi-gagal

---------------------------

Kalau mereka nggak mau beli, yaaa coba ditawarkan dengan sedikit lebih murah (semacam 'discount' harga gitu!)

emoticon-Wakaka
0
2.8K
26
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.2KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.