- Beranda
- Berita dan Politik
Mempertanyakan divestasi Freeport
...
TS
kellyrp
Mempertanyakan divestasi Freeport
Kamis, 19 Juli 2018 / 15:06 WIB
mantap analisisnya, runut dan jelas dan berdasar aturan.
.
.
jd penasaran siapakah si juru runding ?. mudah2an bkn sorban
menurut analisa cap kopi pojok, langkah inalum ini terlalu pas. ruang gerak habis.
Quote:
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Gambaran ini tampak pas disandang bangsa ini karena kembali gagal menunjukkan sebagai negara berdaulat atas tanah, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Polemik divestasi korporasi emas internasional Freeport Indonesia diselesaikan win-lose, menang untuk Freeport McMoran dan kalah untuk rakyat Indonesia.
Sejak 12 Juli 2018, Pemerintah Indonesia bertekuk lutut kepada Freeport karena terpaksa menebus divestasi 51% Freeport Indonesia (FI) dengan harga lebih mahal. Indonesia melalui Inalum harus merogoh dana utangan baru untuk membeli 51,23% participating interest (PI)Rio Tinto di Freeport sebesar US$ 3,85 miliar (Rp 55,44 triliun).
Awalnya rakyat Indonesia cukup percaya diri harga PI Rio Tinto terdiskon 20%. Sehingga harga PI berada di kisaran US$ 2,3 miliar, dan rakyat Indonesia tentu begitu hormat karena refleksi sikap nasionalisme Rio Tinto.
Namun entah apa yang dilakukan pemerintah, harga justru naik.
Soal harga PI Rio Tinto sebetulnya ada lima rekomendasi lembaga konsultan keuangan internasional yang beredar.
Konsultan Morgan Stanley mengolah data valuasi PI itu sebesar US$ 3,6 miliar.
Berikutnya Deutsche Bank mematok US$ 3,3 miliar, HSBS di US$ 3,85 miliar, UBS US$ 4 miliar, dan Royal Bank of Canada (RBC) US$ 3,73 miliar.
Dari lima rekomendasi, hanya dua pada angka outlier yakni US$ 3,85 miliar dan US$ 4 miliar.
Banyak sekali pertanyaan mengenai transaksi premium divestasi Freeport yang berkembang di masyarakat.
Bandingan mudahnya, Indocopper Investasi yang memegang 9,36% saham asli Freeport pernah menjual seluruh saham Freeport McMoran dengan harga US$ 400 juta.
Dengan pendekatan linier harga 51,23% seharusnya setinggi-tingginya US$ 2,189 miliar.
Jika sekarang Freeport McMoran menerima US$ 3,85 miliar, maka selisih keuntungan Freeport McMoran mencapai US$ 1,661 miliar atau Rp 23,92 triliun dengan kurs Rp 14.400 per dollar AS.
Masalah kedua, mengapa membeli Freeport bukan saham langsung. Jika harga PI 40% senilai US$ 3,5 miliar, harga valuasi virtual 100% saham FI adalah US$ 8,75 miliar. Padahal dengan menggunakan standar harga saham 9,36% dengan harga US$ 350 juta, valuasi virtual 100% saham FI US$ 3,73 miliar. Ada selisih US$ 5,01 miliar dari dua cara perhitungan untuk basis 100% nilai saham FI.
Pertanyaan ketiga mengenai nilai kontribusi Freeport adalah 27,1% di Freeport McMoran. Pada saat ini nilai kapitalisasi pasar perusahaan dengan kode FCX itu US$ 24,33 miliar. Artinya nilai 100% saham FI seharusnya tidak jauh berbeda dengan US$ 6,59 miliar. Maka nilai saham divestasi 51% saham adalah US$ 3,36 miliar.
Pertanyaan ketiga dan keempat mengenai potensi ketidakcermatan para perunding pemerintah dan Inalum mengenai kewajiban yang seharusnya timbul sebelum akad kontrak 12 Juli 2018.
Normalnya setiap due dillegence, hal-hal seperti ini dikapitalisasi ke dalam kontrak divestasi bukan disembunyikan. Jadi sungguh mengejutkan jika beban pembiayaan pembangunan fasilitas smelter menjadi beban mayoritas Inalum. Inalum juga punya potensi menanggung risiko penalti pencemaran lingkungan sampai Rp 185 triliun kepada Indonesia.
FI menabung sejumlah kasus operasional yang pelik, hubungan industrial dengan pekerja, dan juga pelanggaran lingkungan. Audit BPK dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut Freeport teridentifikasi memiliki 48 masalah berkaitan operasionalnya.
Sudah ada penyelesaian 35 poin dan tersisa 13 masalah, dan tujuh masalah yang hampir selesai. Bentuk pelanggaran seperti penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin. Perusahaan ini juga mencemari lingkungan, sungai, hutan, muara dan laut dengan potensi kerusakan Rp 185 triliun.
Tanda tanya PI
Ngototnya pemerintah pada pembelian PI bukan saham Freeport memunculkan banyak spekulasi.
Yurisprudensi PI sendiri cukup aneh, karena pemilik saham sebenarnya seolah kekurangan modal, sehingga menerbitkan surat berharga tambahan dalam rangka membiayai operasional.
PI dalam praktik normal bisnis tak ubahnya seperti kerjasama operasi (KSO), jika terlibat langsung operasional dan menyerupai obligasi korporasi jika sifatnya menanamkan sejumlah anggaran.
Dalam Peraturan Pemerintah No 79/2010 tentang Biaya Operasi yang dapat Dikembalikan dan Perlakuan PPh di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, ditemukan definisi PI pada Pasal 1 ayat (14) bahwa PI adalah hak dan kewajiban sebagai KKKS baik secara langsung dan tidak langsung pada suatu wilayah kerja (WK).
Definisi ini dikutip Kemkeu dalam PMK No 257/PMK.011/2011 tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran PPh atas Penghasilan Lain Kontraktor berupa uplift atau Imbalan Lain yang sejenis dan/atau Penghasilan Kontraktor dari Pengalihan PI.
Samar-samar PI populer di pekerjaan migas dan tidak ditemukan pada ketentuan mineral dan batubara.
Di samping secara khusus diatribusikan ke sektor migas, PI pada umumnya diberikan dalam jumlah minoritas pada pemerintah daerah tempat lokasi eksplorasi migas dilakukan sebagai penghargaan. Kabupaten Bojonegoro misalnya mendapatkan berkah PI 10 % karena ada Blok Cepu.
Eksplorasi Blok Mahakam juga menghasilkan berkah PI 10% untuk Provinsi Kaltim dan Pemkab Kabupaten Kutai Kartanegara. Blok PT PHE Offshore North West Java memberikan 10% PI kepada Pemprov Jabar, demikian pula Blok Muriah memberikan PI ke BUMD Jateng. Regulasi mengenai PI ada dalam Permen ESDM 37/2016 tentang Ketentuan Penawaran PI 10% pada WK Migas. Sifat PI tak ubahnya hadiah dari Negara kepada wilayah.
Dalam divestasi Freeport, Indonesia jelas-jelas berdaulat atas Papua. Namun kini menjadi terbalik, seolah pemilik Papua adalah Freeport Amerika.
Penguasaan PI menunjukkan Indonesia dan Inalum adalah penerima hadiah, tidak berbeda dengan Kabupaten Bojonegoro, Pemprov Kaltim, Pemkab Kukar atau Pemprov Jabar. Ironisnya, PI diperoleh dengan harga yang melampaui harga wajar sahamnya.
PI juga seharusnya diberikan dengan volume tidak mayoritas dalam kisaran maksimal 10% karena sifatnya berpartisipasi bukan kewajiban utama.
Jadi sangat bisa dibantah jika Inalum harus memiliki kekuasaan demikian besar untuk mengambil-alih operasional mayoritas, menyelesaikan konflik pelanggaran lingkungan yang demikian lama, bahkan menjadi eksekutor proyek strategis seperti smelter.
Jika dilakukan maka Inalum akan menjadi ultrapetita atau melampaui kewenangan yang diberikan.
Pertanyaan terakhir, apakah sifat PI setara dengan saham sebenarnya. Apakah dana US$ 3,85 miliar tidak berjangka waktu seperti halnya investor menanam modal. Penulis hanya cemas, jika harga mahal PI ternyata juga blunder, sudah mahal namun hanya untuk beberapa tahun saja. Ini sama dengan menggadaikan Papua atau menjual NKRI.•
http://analisis.kontan.co.id/news/me...reeport?page=1
Polemik divestasi korporasi emas internasional Freeport Indonesia diselesaikan win-lose, menang untuk Freeport McMoran dan kalah untuk rakyat Indonesia.
Sejak 12 Juli 2018, Pemerintah Indonesia bertekuk lutut kepada Freeport karena terpaksa menebus divestasi 51% Freeport Indonesia (FI) dengan harga lebih mahal. Indonesia melalui Inalum harus merogoh dana utangan baru untuk membeli 51,23% participating interest (PI)Rio Tinto di Freeport sebesar US$ 3,85 miliar (Rp 55,44 triliun).
Awalnya rakyat Indonesia cukup percaya diri harga PI Rio Tinto terdiskon 20%. Sehingga harga PI berada di kisaran US$ 2,3 miliar, dan rakyat Indonesia tentu begitu hormat karena refleksi sikap nasionalisme Rio Tinto.
Namun entah apa yang dilakukan pemerintah, harga justru naik.
Soal harga PI Rio Tinto sebetulnya ada lima rekomendasi lembaga konsultan keuangan internasional yang beredar.
Konsultan Morgan Stanley mengolah data valuasi PI itu sebesar US$ 3,6 miliar.
Berikutnya Deutsche Bank mematok US$ 3,3 miliar, HSBS di US$ 3,85 miliar, UBS US$ 4 miliar, dan Royal Bank of Canada (RBC) US$ 3,73 miliar.
Dari lima rekomendasi, hanya dua pada angka outlier yakni US$ 3,85 miliar dan US$ 4 miliar.
Banyak sekali pertanyaan mengenai transaksi premium divestasi Freeport yang berkembang di masyarakat.
Bandingan mudahnya, Indocopper Investasi yang memegang 9,36% saham asli Freeport pernah menjual seluruh saham Freeport McMoran dengan harga US$ 400 juta.
Dengan pendekatan linier harga 51,23% seharusnya setinggi-tingginya US$ 2,189 miliar.
Jika sekarang Freeport McMoran menerima US$ 3,85 miliar, maka selisih keuntungan Freeport McMoran mencapai US$ 1,661 miliar atau Rp 23,92 triliun dengan kurs Rp 14.400 per dollar AS.
Masalah kedua, mengapa membeli Freeport bukan saham langsung. Jika harga PI 40% senilai US$ 3,5 miliar, harga valuasi virtual 100% saham FI adalah US$ 8,75 miliar. Padahal dengan menggunakan standar harga saham 9,36% dengan harga US$ 350 juta, valuasi virtual 100% saham FI US$ 3,73 miliar. Ada selisih US$ 5,01 miliar dari dua cara perhitungan untuk basis 100% nilai saham FI.
Pertanyaan ketiga mengenai nilai kontribusi Freeport adalah 27,1% di Freeport McMoran. Pada saat ini nilai kapitalisasi pasar perusahaan dengan kode FCX itu US$ 24,33 miliar. Artinya nilai 100% saham FI seharusnya tidak jauh berbeda dengan US$ 6,59 miliar. Maka nilai saham divestasi 51% saham adalah US$ 3,36 miliar.
Pertanyaan ketiga dan keempat mengenai potensi ketidakcermatan para perunding pemerintah dan Inalum mengenai kewajiban yang seharusnya timbul sebelum akad kontrak 12 Juli 2018.
Normalnya setiap due dillegence, hal-hal seperti ini dikapitalisasi ke dalam kontrak divestasi bukan disembunyikan. Jadi sungguh mengejutkan jika beban pembiayaan pembangunan fasilitas smelter menjadi beban mayoritas Inalum. Inalum juga punya potensi menanggung risiko penalti pencemaran lingkungan sampai Rp 185 triliun kepada Indonesia.
FI menabung sejumlah kasus operasional yang pelik, hubungan industrial dengan pekerja, dan juga pelanggaran lingkungan. Audit BPK dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut Freeport teridentifikasi memiliki 48 masalah berkaitan operasionalnya.
Sudah ada penyelesaian 35 poin dan tersisa 13 masalah, dan tujuh masalah yang hampir selesai. Bentuk pelanggaran seperti penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin. Perusahaan ini juga mencemari lingkungan, sungai, hutan, muara dan laut dengan potensi kerusakan Rp 185 triliun.
Tanda tanya PI
Ngototnya pemerintah pada pembelian PI bukan saham Freeport memunculkan banyak spekulasi.
Yurisprudensi PI sendiri cukup aneh, karena pemilik saham sebenarnya seolah kekurangan modal, sehingga menerbitkan surat berharga tambahan dalam rangka membiayai operasional.
PI dalam praktik normal bisnis tak ubahnya seperti kerjasama operasi (KSO), jika terlibat langsung operasional dan menyerupai obligasi korporasi jika sifatnya menanamkan sejumlah anggaran.
Dalam Peraturan Pemerintah No 79/2010 tentang Biaya Operasi yang dapat Dikembalikan dan Perlakuan PPh di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, ditemukan definisi PI pada Pasal 1 ayat (14) bahwa PI adalah hak dan kewajiban sebagai KKKS baik secara langsung dan tidak langsung pada suatu wilayah kerja (WK).
Definisi ini dikutip Kemkeu dalam PMK No 257/PMK.011/2011 tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran PPh atas Penghasilan Lain Kontraktor berupa uplift atau Imbalan Lain yang sejenis dan/atau Penghasilan Kontraktor dari Pengalihan PI.
Samar-samar PI populer di pekerjaan migas dan tidak ditemukan pada ketentuan mineral dan batubara.
Di samping secara khusus diatribusikan ke sektor migas, PI pada umumnya diberikan dalam jumlah minoritas pada pemerintah daerah tempat lokasi eksplorasi migas dilakukan sebagai penghargaan. Kabupaten Bojonegoro misalnya mendapatkan berkah PI 10 % karena ada Blok Cepu.
Eksplorasi Blok Mahakam juga menghasilkan berkah PI 10% untuk Provinsi Kaltim dan Pemkab Kabupaten Kutai Kartanegara. Blok PT PHE Offshore North West Java memberikan 10% PI kepada Pemprov Jabar, demikian pula Blok Muriah memberikan PI ke BUMD Jateng. Regulasi mengenai PI ada dalam Permen ESDM 37/2016 tentang Ketentuan Penawaran PI 10% pada WK Migas. Sifat PI tak ubahnya hadiah dari Negara kepada wilayah.
Dalam divestasi Freeport, Indonesia jelas-jelas berdaulat atas Papua. Namun kini menjadi terbalik, seolah pemilik Papua adalah Freeport Amerika.
Penguasaan PI menunjukkan Indonesia dan Inalum adalah penerima hadiah, tidak berbeda dengan Kabupaten Bojonegoro, Pemprov Kaltim, Pemkab Kukar atau Pemprov Jabar. Ironisnya, PI diperoleh dengan harga yang melampaui harga wajar sahamnya.
PI juga seharusnya diberikan dengan volume tidak mayoritas dalam kisaran maksimal 10% karena sifatnya berpartisipasi bukan kewajiban utama.
Jadi sangat bisa dibantah jika Inalum harus memiliki kekuasaan demikian besar untuk mengambil-alih operasional mayoritas, menyelesaikan konflik pelanggaran lingkungan yang demikian lama, bahkan menjadi eksekutor proyek strategis seperti smelter.
Jika dilakukan maka Inalum akan menjadi ultrapetita atau melampaui kewenangan yang diberikan.
Pertanyaan terakhir, apakah sifat PI setara dengan saham sebenarnya. Apakah dana US$ 3,85 miliar tidak berjangka waktu seperti halnya investor menanam modal. Penulis hanya cemas, jika harga mahal PI ternyata juga blunder, sudah mahal namun hanya untuk beberapa tahun saja. Ini sama dengan menggadaikan Papua atau menjual NKRI.•
http://analisis.kontan.co.id/news/me...reeport?page=1
mantap analisisnya, runut dan jelas dan berdasar aturan.
.
.
jd penasaran siapakah si juru runding ?. mudah2an bkn sorban
Quote:
Warta Ekonomi.co.id, Jakarta-
Salah satu hot issue yang menjadi sorotan tajam publik dengan adanya penandatanganan Head of Agreement (HoA) divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia ke PT Inalum (Persero) yakni langkah Inalum membeli participating interest PT Rio Tinto Indonesia di PT FI sebesar 40%.
Langkah Inalum ini sontak memunculkan sorotan publik: kenapa mesti membeli participating interest PT RTI dan bukan saham PT FI? Atau, kenapa mesti repot-repot bikin HoA dengan PT FI? Toh, nanti pada 2022 masa kontrak PT FI berakhir di mana 51% akan menjadi milik Inalum.
Berikut kalkulasi Presiden Direktur Inalum Budi Gunadi Sadikin soal alasan perseroan memilih jalan memborong participating interest PT RTI. Dari hasil perhitungan Inalum, pembelian participating interest PT RTI jauh lebih rasional dan menguntungkan ketimbang membeli saham PT FI.
Kesepakatan participating ini dibuat saat PT FI menemukan cadangan besar emas di Grassberg pada tahun 1988. Untuk menggarap cadangan tersebut, PT FI tidak memiliki kekuatan dana yang memadai. Untuk itulah, PT FI membuat kesepakatan participation agreement dengan Rio Tinto Plc pada 1996.
"Freeprot seperti melakukan ijon akan potensi tambang Grassberg ke Rio Tinto," ujar mantan Dirut Bank Mandiri tersebut saat melakukan pertemuan dengan para pemimpin redaksi di Jakarta, Selasa (17/7/2018).
Dari ijon ini, Rio Tinto berhak mendapatkan 40% atas produksi di atas level (metal strip) di tambang Grassberg sampai tahun 2022. Setelah itu, rentang 2023-2041 Rio Tinto mendapatkan hak dan kewajiban penuh 40% dari produksi dan biaya operasi (tanpa metal strip).
Tindakan ijon Freeport ini disetujui oleh Pemerintah Orde Baru pada 29 April 1996. Kalau dilihat sekilas, kerja sama Freeport-Rio Tinto ini tidak mempengaruhi komposisi saham Freeport, tapi mempengaruhi komposisi kepemilikan perusahaan. Kenapa demikian? Pasalnya, 40% hasil produksi Freeport di Grassberg mesti diserahkan ke Rio Tinto.
Kehadiran participating interest ini sudah barang berimbas terhadap proses divestasi saham PT FI. Komposisi saham (equity interest) PT FI saat ini, Freeport McMoran (FCX) menguasai 90,64% saham dan Inalum sebesar 9,36%. Tapi, kalau dihitung secara economic interest—dengan memasukkan participating interest—PT FI memiliki 54,38%; Inalum 5,62%; dan Rio Tinto 40%.
Contoh perhitungan economic interest, dengan tingkat produksi PT FI sebesar 647 juta pon tembaga per September 2017 maka dari jumlah itu sebesar 54,38% atau 351,83 juta pon menjadi bagian PT FI. Bagian Inalum 5,62% atau 42,83 juta pon dan jatah Rio Tinto 40% atau 258,8 juta pon. Begitu pula kalau Inalum berpikir baru membeli hak 51% saham pada 2021 maka secara equity Inalum menguasai 51% tapi kalau secara economic interest hanya mendapat bagian 31% saja. Sisanya, 29% milik PT FI dan 40% PT RTI (Lihat: Tabel).
Dari kalkulasi inilah, Inalum memutuskan untuk membeli participating interest PT RTI di PT FI yang bisa dikonversi menjadi 45,6% saham dengan nilai US$3,85 miliar.
Bandingkan dengan tawaran PT FI melepas 40% saham senilai US$10,7 miliar. Tinggal membutuhkan tambahan 5,38% saham lagi untuk menguasai 51% saham PT FI. Rencananya, tambahan saham bersumber dari kepemilikan PT Indocooper Investama sebesar 5,38% yang saat ini berada di tangan PT FI.
Dari gambaran seperti itu, realisasi tindak lanjut HoA akan diikuti serangkaian sales and purchase agreement (SPA) antara Inalum dengan Rio Tinto Plc untuk jual-beli participating interest. Pembelian ini dilakukan secara tunai.
SPA berikutnya antara Inalum dengan Freeport McMoran (FCX) terkait jual-beli 5,38% saham PT Indocooper Investama. Setelah itu, akan disusul perjanjian Inalum dengan PT FI guna menerbitkan 40% saham baru (right issue) yang akan ditukar dengan 100% kepemilikan saham Inalum di PT RI. Apabila ketiga perjanjian tersebut terwujud, inilah momentum kembalinya kedaulatan Republik Indonesai atas PT FI yang setelah 50 tahun berada di tangan Freeport.
Divestasi 51% saham merupakan butir keempat dari empat kesepakatan yang disepakati antara Pemerintah RI dengan Freeport McMoran (FCX) pada 29 Agustus 2017.
Salah satu hot issue yang menjadi sorotan tajam publik dengan adanya penandatanganan Head of Agreement (HoA) divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia ke PT Inalum (Persero) yakni langkah Inalum membeli participating interest PT Rio Tinto Indonesia di PT FI sebesar 40%.
Langkah Inalum ini sontak memunculkan sorotan publik: kenapa mesti membeli participating interest PT RTI dan bukan saham PT FI? Atau, kenapa mesti repot-repot bikin HoA dengan PT FI? Toh, nanti pada 2022 masa kontrak PT FI berakhir di mana 51% akan menjadi milik Inalum.
Berikut kalkulasi Presiden Direktur Inalum Budi Gunadi Sadikin soal alasan perseroan memilih jalan memborong participating interest PT RTI. Dari hasil perhitungan Inalum, pembelian participating interest PT RTI jauh lebih rasional dan menguntungkan ketimbang membeli saham PT FI.
Kesepakatan participating ini dibuat saat PT FI menemukan cadangan besar emas di Grassberg pada tahun 1988. Untuk menggarap cadangan tersebut, PT FI tidak memiliki kekuatan dana yang memadai. Untuk itulah, PT FI membuat kesepakatan participation agreement dengan Rio Tinto Plc pada 1996.
"Freeprot seperti melakukan ijon akan potensi tambang Grassberg ke Rio Tinto," ujar mantan Dirut Bank Mandiri tersebut saat melakukan pertemuan dengan para pemimpin redaksi di Jakarta, Selasa (17/7/2018).
Dari ijon ini, Rio Tinto berhak mendapatkan 40% atas produksi di atas level (metal strip) di tambang Grassberg sampai tahun 2022. Setelah itu, rentang 2023-2041 Rio Tinto mendapatkan hak dan kewajiban penuh 40% dari produksi dan biaya operasi (tanpa metal strip).
Tindakan ijon Freeport ini disetujui oleh Pemerintah Orde Baru pada 29 April 1996. Kalau dilihat sekilas, kerja sama Freeport-Rio Tinto ini tidak mempengaruhi komposisi saham Freeport, tapi mempengaruhi komposisi kepemilikan perusahaan. Kenapa demikian? Pasalnya, 40% hasil produksi Freeport di Grassberg mesti diserahkan ke Rio Tinto.
Kehadiran participating interest ini sudah barang berimbas terhadap proses divestasi saham PT FI. Komposisi saham (equity interest) PT FI saat ini, Freeport McMoran (FCX) menguasai 90,64% saham dan Inalum sebesar 9,36%. Tapi, kalau dihitung secara economic interest—dengan memasukkan participating interest—PT FI memiliki 54,38%; Inalum 5,62%; dan Rio Tinto 40%.
Contoh perhitungan economic interest, dengan tingkat produksi PT FI sebesar 647 juta pon tembaga per September 2017 maka dari jumlah itu sebesar 54,38% atau 351,83 juta pon menjadi bagian PT FI. Bagian Inalum 5,62% atau 42,83 juta pon dan jatah Rio Tinto 40% atau 258,8 juta pon. Begitu pula kalau Inalum berpikir baru membeli hak 51% saham pada 2021 maka secara equity Inalum menguasai 51% tapi kalau secara economic interest hanya mendapat bagian 31% saja. Sisanya, 29% milik PT FI dan 40% PT RTI (Lihat: Tabel).
Dari kalkulasi inilah, Inalum memutuskan untuk membeli participating interest PT RTI di PT FI yang bisa dikonversi menjadi 45,6% saham dengan nilai US$3,85 miliar.
Bandingkan dengan tawaran PT FI melepas 40% saham senilai US$10,7 miliar. Tinggal membutuhkan tambahan 5,38% saham lagi untuk menguasai 51% saham PT FI. Rencananya, tambahan saham bersumber dari kepemilikan PT Indocooper Investama sebesar 5,38% yang saat ini berada di tangan PT FI.
Dari gambaran seperti itu, realisasi tindak lanjut HoA akan diikuti serangkaian sales and purchase agreement (SPA) antara Inalum dengan Rio Tinto Plc untuk jual-beli participating interest. Pembelian ini dilakukan secara tunai.
SPA berikutnya antara Inalum dengan Freeport McMoran (FCX) terkait jual-beli 5,38% saham PT Indocooper Investama. Setelah itu, akan disusul perjanjian Inalum dengan PT FI guna menerbitkan 40% saham baru (right issue) yang akan ditukar dengan 100% kepemilikan saham Inalum di PT RI. Apabila ketiga perjanjian tersebut terwujud, inilah momentum kembalinya kedaulatan Republik Indonesai atas PT FI yang setelah 50 tahun berada di tangan Freeport.
Divestasi 51% saham merupakan butir keempat dari empat kesepakatan yang disepakati antara Pemerintah RI dengan Freeport McMoran (FCX) pada 29 Agustus 2017.
menurut analisa cap kopi pojok, langkah inalum ini terlalu pas. ruang gerak habis.
1
897
Kutip
5
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
676.5KThread•46.2KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya