- Beranda
- Stories from the Heart
Tentang Pulang
...
TS
nanitriani
Tentang Pulang
“Kenapa harus sekarang? Setelah tiga tahun terjalin, mengapa kau memilih hari ini?”
“Kau tentu sudah mengerti bahwa ibuku tak pernah mengizinkanku untuk berpacaran.” Jawabnya memelas.
Istilah pagi tidak selalu identik dengan awal kebahagiaan. Aku sudah bersumpah untuk mengutuk dunia tentang ketidakberuntunganku dengan hal percintaan. Pagi ini adalah awal buruk untuk hidupku, mungkin sampai dia menghilang.
“Tetapi…”
“Sudahlah, toh aku tidak mungkin membencimu. Kau juga sudah mengerti, aku bodoh.” Aku memotong kalimatnya.
“Dengarkan aku Renia. Aku berjanji, setelah aku bekerja dan berpenghasilan cukup, aku akan menikahimu. Dan kau jangan pernah mencari laki-laki lain. Tunggu aku, aku sungguh berjanji akan menemukanmu dan memaksamu untuk hidup bersamaku.”
Aku tersenyum lirih. Dasar pembual, mana bisa aku tidak percaya. Tiga tahun terakhir aku memang selalu dibodohi oleh sebuah kebahagiaan. Kupikir ini akan berlangsung lama, ternyata sama saja, semuanya sirna begitu cepat.
Kali ini senyumnya sukar kutatap, bola mataku terampas oleh tangis sang laki-laki gagah yang selalu kudambakan. Aku berjanji, tidak ada orang lain yang patut untuk mengukir tawa di parasku yang akan terus sendu, kecuali Aldi. Meski langkahnya menjauh, aku akan tetap diam di atas pijakanku. Jika suatu saat dia kembali, tidak akan ada kata tersesat untuk menemuiku.
“Jadi, kita akhiri sekarang,” ucapnya dengan mudah.
Dia pergi, meninggalkan aku yang berusaha mencari alasan untuk tersenyum.
Dan sekali lagi, aku menatapnya. Memikirkan penyebab dia berlalu dengan mudah. Ya, hanya sesederhana perintah ibunya. Dia tidak ingin anaknya bermalas-malasan kuliah dan menjadi calon pengangguran. Aku mengerti.
“Ayo masuk kelas. Nunggu siapa kamu berdiri di gerbang sendirian?” Tiba-tiba seseorang memecah lamunanku. Dia adalah Ayu, sahabatku.
Enam tahun berlalu, aku kini menjadi guru honorer sekolah dasar.
Aku tidak pernah pergi, aku selalu menetap di kota ini, sesuai denga janjiku. Dan satu lagi, aku tidak pernah merasa berhak mencintai yang lain kecuali Aldi, sosok yang kutunggu suara langkah kakinya. Meskipun nyatanya, aku kehilangan jejak. Tidak pernah bertanya keberedaannya atau dia bekerja dimana. Semuanya tidak penting, aku hanya ingin dia pulang. Tak peduli arah jalan telah berubah, aku tetap di sini.
Dan sore ini aku termangu di teras rumah. Menatap wajah riang anak-anak yang sedang berlari, mengejar sesuatu yang tentunya tidak berguna, tetapi menyenangkan. Sedangkan aku disini, tidak bergerak, dan rasanya sia-sia saja.
Tiba-tiba seseorang terlihat berjalan memasuki halaman rumahku, tersenyum hangat dan menghampiriku.
“Kau harus datang Ren, seminggu lagi.” Ucap sahabat kuliahku, Ayu, sambil memberikan selembar kertas kepadaku. Hanya kalimat itu yang terlontar, dengan segera dia pergi dan tak ada hal lain lagi yang terjadi.
Aku menggenggam erat sebuah kertas yang baru saja diberikannya. Tatapanku menerawang, melihat tulisan yang terukir manis pada kertas berwarna biru muda. Ya, ini adalah kartu undangan. Berulang kali kubaca sepasang nama yang tertulis, sama saja, tak ada yang berubah. Seketika aku ingin tertawa, betapa lucunya sahabat baikku yang tiba-tiba akan menikah. Sungguh, aku saja masih sendiri dan tak ada niat mencari pengganti Aldi. Dan sekarang, Ayu sudah akan menikah dengannya.
Aldi, mana mungkin aku tidak percaya pada janjimu. Aku yakin kau akan kembali kepadaku. Benar saja, kau datang tanpa wujud. Hanya namamu yang kau suguhkan untukku, saling bertautan dengan nama sahabat baikku. Aku bahagia, kau akhirnya menikah, dengan sahabatku.
Maaf saja, aku tak berani datang ke acara pernikahanmu. Aku hanya takut menertawakan hidupmu. Lucu sekali kau masih bisa melanjutkan segalanya dengan cara seperti ini.
Aku dan Ayu kembali bertemu di acara reuni akbar kampus kami. Satu tahun sejak pernikahan mereka, akhirnya aku berani menatap parasnya.
“Dia gak ikut?” Tanyaku.
“Siapa?”
“Suamimu.”
“Suami? Aku tidak pernah menikah.”
“Aldi.”
Ayu menatapku lamat-lamat. Membutuhkan beberapa detik hanya untuk membuka mulutnya dan melontarkan sebuah kata.
“Renia, apakah kau tidak tahu?” Tanyanya masih dengan tatapan yang menerawang.
Aku terdiam, membalas tatapannya. Tanpa bersuara pun dia pasti mengerti bahwa aku memang tidak tahu.
“Kami tidak pernah menikah.”
“Apakah aku masih terlihat bodoh?” Ucapku dengan senyum kecut.
“Sungguh, kami tidak menikah.”
Aku tertegun, berusaha mengerti apa yang baru saja dia ucapkan. Namun, apapun itu, tidak penting. Aku hanya ingin Aldi pulang, kembali kepadaku. Dan mereka tidak menikah, mungkin karena Ayu tiba-tiba tidak mencintainya atau karena beberapa alasan bodoh lainnya. Itu hanya sebatas perkiraanku. Yang jelas, sekarang segumpal harapan konyol kembali lagi muncul di benak usangku.
“Jadi? Sekarang?” Kulanjutkan bertanya seolah sedang menggali sebuah kesempatan untuk bahagia.
“Sekarang? Dia sudah tak bersamaku.”
“Dia?”
“Kecelakaan dan meninggal.” Jawabnya sederhana.
https://nalarpolitik.com/wp-content/...it-678x381.jpg
“Kau tentu sudah mengerti bahwa ibuku tak pernah mengizinkanku untuk berpacaran.” Jawabnya memelas.
Istilah pagi tidak selalu identik dengan awal kebahagiaan. Aku sudah bersumpah untuk mengutuk dunia tentang ketidakberuntunganku dengan hal percintaan. Pagi ini adalah awal buruk untuk hidupku, mungkin sampai dia menghilang.
“Tetapi…”
“Sudahlah, toh aku tidak mungkin membencimu. Kau juga sudah mengerti, aku bodoh.” Aku memotong kalimatnya.
“Dengarkan aku Renia. Aku berjanji, setelah aku bekerja dan berpenghasilan cukup, aku akan menikahimu. Dan kau jangan pernah mencari laki-laki lain. Tunggu aku, aku sungguh berjanji akan menemukanmu dan memaksamu untuk hidup bersamaku.”
Aku tersenyum lirih. Dasar pembual, mana bisa aku tidak percaya. Tiga tahun terakhir aku memang selalu dibodohi oleh sebuah kebahagiaan. Kupikir ini akan berlangsung lama, ternyata sama saja, semuanya sirna begitu cepat.
Kali ini senyumnya sukar kutatap, bola mataku terampas oleh tangis sang laki-laki gagah yang selalu kudambakan. Aku berjanji, tidak ada orang lain yang patut untuk mengukir tawa di parasku yang akan terus sendu, kecuali Aldi. Meski langkahnya menjauh, aku akan tetap diam di atas pijakanku. Jika suatu saat dia kembali, tidak akan ada kata tersesat untuk menemuiku.
“Jadi, kita akhiri sekarang,” ucapnya dengan mudah.
Dia pergi, meninggalkan aku yang berusaha mencari alasan untuk tersenyum.
Dan sekali lagi, aku menatapnya. Memikirkan penyebab dia berlalu dengan mudah. Ya, hanya sesederhana perintah ibunya. Dia tidak ingin anaknya bermalas-malasan kuliah dan menjadi calon pengangguran. Aku mengerti.
“Ayo masuk kelas. Nunggu siapa kamu berdiri di gerbang sendirian?” Tiba-tiba seseorang memecah lamunanku. Dia adalah Ayu, sahabatku.
***
Enam tahun berlalu, aku kini menjadi guru honorer sekolah dasar.
Aku tidak pernah pergi, aku selalu menetap di kota ini, sesuai denga janjiku. Dan satu lagi, aku tidak pernah merasa berhak mencintai yang lain kecuali Aldi, sosok yang kutunggu suara langkah kakinya. Meskipun nyatanya, aku kehilangan jejak. Tidak pernah bertanya keberedaannya atau dia bekerja dimana. Semuanya tidak penting, aku hanya ingin dia pulang. Tak peduli arah jalan telah berubah, aku tetap di sini.
Dan sore ini aku termangu di teras rumah. Menatap wajah riang anak-anak yang sedang berlari, mengejar sesuatu yang tentunya tidak berguna, tetapi menyenangkan. Sedangkan aku disini, tidak bergerak, dan rasanya sia-sia saja.
Tiba-tiba seseorang terlihat berjalan memasuki halaman rumahku, tersenyum hangat dan menghampiriku.
“Kau harus datang Ren, seminggu lagi.” Ucap sahabat kuliahku, Ayu, sambil memberikan selembar kertas kepadaku. Hanya kalimat itu yang terlontar, dengan segera dia pergi dan tak ada hal lain lagi yang terjadi.
Aku menggenggam erat sebuah kertas yang baru saja diberikannya. Tatapanku menerawang, melihat tulisan yang terukir manis pada kertas berwarna biru muda. Ya, ini adalah kartu undangan. Berulang kali kubaca sepasang nama yang tertulis, sama saja, tak ada yang berubah. Seketika aku ingin tertawa, betapa lucunya sahabat baikku yang tiba-tiba akan menikah. Sungguh, aku saja masih sendiri dan tak ada niat mencari pengganti Aldi. Dan sekarang, Ayu sudah akan menikah dengannya.
Aldi, mana mungkin aku tidak percaya pada janjimu. Aku yakin kau akan kembali kepadaku. Benar saja, kau datang tanpa wujud. Hanya namamu yang kau suguhkan untukku, saling bertautan dengan nama sahabat baikku. Aku bahagia, kau akhirnya menikah, dengan sahabatku.
Maaf saja, aku tak berani datang ke acara pernikahanmu. Aku hanya takut menertawakan hidupmu. Lucu sekali kau masih bisa melanjutkan segalanya dengan cara seperti ini.
***
Aku dan Ayu kembali bertemu di acara reuni akbar kampus kami. Satu tahun sejak pernikahan mereka, akhirnya aku berani menatap parasnya.
“Dia gak ikut?” Tanyaku.
“Siapa?”
“Suamimu.”
“Suami? Aku tidak pernah menikah.”
“Aldi.”
Ayu menatapku lamat-lamat. Membutuhkan beberapa detik hanya untuk membuka mulutnya dan melontarkan sebuah kata.
“Renia, apakah kau tidak tahu?” Tanyanya masih dengan tatapan yang menerawang.
Aku terdiam, membalas tatapannya. Tanpa bersuara pun dia pasti mengerti bahwa aku memang tidak tahu.
“Kami tidak pernah menikah.”
“Apakah aku masih terlihat bodoh?” Ucapku dengan senyum kecut.
“Sungguh, kami tidak menikah.”
Aku tertegun, berusaha mengerti apa yang baru saja dia ucapkan. Namun, apapun itu, tidak penting. Aku hanya ingin Aldi pulang, kembali kepadaku. Dan mereka tidak menikah, mungkin karena Ayu tiba-tiba tidak mencintainya atau karena beberapa alasan bodoh lainnya. Itu hanya sebatas perkiraanku. Yang jelas, sekarang segumpal harapan konyol kembali lagi muncul di benak usangku.
“Jadi? Sekarang?” Kulanjutkan bertanya seolah sedang menggali sebuah kesempatan untuk bahagia.
“Sekarang? Dia sudah tak bersamaku.”
“Dia?”
“Kecelakaan dan meninggal.” Jawabnya sederhana.
https://nalarpolitik.com/wp-content/...it-678x381.jpg
anasabila memberi reputasi
1
1.4K
10
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.1KThread•45.7KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya