Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

soekirmandiaAvatar border
TS
soekirmandia
Voxpol Prediksikan Jokowi Kalah Bila Pilpres 2019 Dua Putaran
Voxpol Prediksikan Jokowi Kalah Bila Pilpres 2019 Dua Putaran

Senin, 7 Mei 2018 18:02 WIB

Voxpol Prediksikan Jokowi Kalah Bila Pilpres 2019 Dua Putaran
Presiden Joko Widodo, berjalan bersama Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto (kiri), usai pertemuan tertutup di Istana Kepresidenan Bogor, Jabar, 29 Januari 2015. Jokowi dan Prabowo, bertemu dalam rangka silahturahim dan membicarakan masalah terkini bangsa. ANTARA/Widodo S. Jusuf

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Chaniago memprediksi Joko Widodo atau Jokowi bakal kalah, apabila Pemilihan Presiden 2019 berlangsung dua putaran. Dia memperkirakan skema yang terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta pada 2017 akan kembali terjadi.

"Jadi poros yang enggak masuk putaran kedua bergabung dengan lawan Jokowi. Jadi intinya, asal bukan Jokowi," ujar Pangi dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 7 Mei 2018.


Menurut Pangi, dua kelompok anti-Jokowi yang bersatu di putaran kedua kemungkinan secara masif akan mengampanyekan bahwa mantan Wali Kota Surakarta itu gagal menciptakan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan yang dilakukan selama ini tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Pangi juga memprediksikan Pilpres 2019 bakal diikuti tiga pasangan calon presiden. Dia menyebut nama Gatot Nurmantyo sebagai calon penantang kuat Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Jika prediksinya benar terjadi, menurut dia, pemilu bisa berlangsung dua putaran.


Pangi melihat ada kecenderungan pemilih jenuh jika capres yang maju di Pilpres 2019 hanya Jokowi dan Prabowo, seperti pada Pilpres 2014. Karena itu, ketika muncul nama baru seperti Gatot, dia memperkirakan, kemungkinan besar suara akan terpecah. "Saya memprediksi jika poros ketiga mengusung Gatot Nurmantyo sebagai capres, pilpres akan berlangsung dua putaran," ujar dia.

Pangi mengatakan, prediksinya itu didasarkan pada peta politik akhir-akhir ini. "Sejumlah partai belum juga mendeklarasikan dukungan, diperkirakan karena tarik-menarik kepentingan," ujarnya.


Menurut Pangi, saat ini masing-masing partai politik terkesan ingin tokoh yang mereka usung bisa menjadi cawapres Jokowi atau Prabowo. Keduanya santer disebut-sebut bakal bertarung di Pilpres 2019.


Meski santer disebut bakal jadi penantang Jokowi, Pangi melihat ada kemungkinan Prabowo legawa hanya sebagai king maker. Kelompok itu, kata dia, melihat peluang bakal calon presiden lain, Gatot Nurmantyo, lebih besar untuk mengalahkan sang inkumben.


"Karena itu, terbuka peluang pilpres diikuti tiga pasangan calon. Partai-partai yang tidak puas dengan sikap koalisi pendukung Jokowi maupun Prabowo, kemungkinan membentuk poros ketiga," ujar Pangi. "Jadi sekali lagi, kalau pilpres dua putaran dan calon yang diusung poros ketiga adalah Gatot, maka Jokowi bisa terancam kalah."

https://nasional.tempo.co/read/10866...19-dua-putaran


Voxpol Prediksi Pilpres 2019 Diikuti Tiga Calon dan Dua Putaran

Senin, 7 Mei 2018 10:45 WIB

Voxpol Prediksikan Jokowi Kalah Bila Pilpres 2019 Dua Putaran
Lembaga survei mulai menyigi kombinasi presiden dan wakilnya yang akan dipilih dua tahun sebelum pemilu resmi digelar. (ilustrasi: Kendra H. Paramita).

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Chaniago memprediksi pemilihan presiden atau Pilpres 2019 bakal diikuti tiga pasangan calon presiden. Dia menyebut nama Gatot Nurmantyo sebagai calon penantang Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. 

“Saya memprediksi jika poros ketiga mengusung Gatot Nurmantyo sebagai capres (calon presiden), pilpres akan berlangsung dua putaran,” ucap Pangi dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 7 Mei 2018
.
Pangi berpendapat pemilih akan jenuh jika calon presiden yang maju dalam pilpres 2019 hanya Jokowi dan Prabowo seperti pilpres 2014. Karena itu, ketika muncul nama baru seperti Gatot, ujar dia, besar kemungkinan suara akan terpecah.


Menurut Pangi, prediksinya tersebut berdasarkan peta politik akhir-akhir ini. Sejumlah partai belum juga mendeklarasikan dukungan. “Diperkirakan karena tarik-menarik kepentingan."

Masing-masing partai politik terkesan menginginkan tokoh yang mereka usung duduk sebagai calon wakil presiden atau cawapres Joko Widodo maupun cawapres Prabowo Subianto, dua tokoh yang saat ini santer disebut-sebut akan berlaga dalam Pilpres 2019.

Namun Pangi melihat ada kemungkinan lain, yaitu ada yang masih menginginkan Prabowo legawa hanya sebagai king maker. Kelompok itu, kata dia, melihat peluang bakal calon presiden lain, Gatot Nurmantyo, lebih besar mengalahkan sang petahana.


"Karena itu, terbuka peluang Pilpres 2019 diikuti tiga pasangan calon.” Ia memperkirakan partai-partai yang tidak puas dengan sikap koalisi pendukung Jokowi maupun Prabowo kemungkinan akan membentuk poros ketiga.

https://nasional.tempo.co/read/1086405/voxpol-prediksi-pilpres-2019-diikuti-tiga-calon-dan-dua-putaran

Menimbang Peluang Keterpilihan Incumbent di Pilpres 2019

 February 2, 2018

Voxpol Prediksikan Jokowi Kalah Bila Pilpres 2019 Dua Putaran

NUSANTARANEWS.CO – Seberapa besar peluang seorang presiden yang sedang memerintah (incumbent) terpilih kembali, jika ia ikut bertarung dalam pilpres (pemilihan presiden) 2019 mendatang? 

Pimpinan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA menjelaskan, jika dilihat dari data statistik Indonesia sejak pemilu langsung, jawabnya jelas.

“Baru tiga kali kita melaksanakan pilpres langsung, 2004, 2009, 2014. Namun baru dua kali, pertahana presiden bertarung kembali yakni Presiden Megawati di 2004 dan presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) di 2009,” ungkap Denny JA dalam keterangannya, yang diterima Jumat (2/2/2018).


Dirinya mengungkap pada pemilu 2014 lalu saat terpilihnya Jokowi, tak ada presiden yang bertarung. Presiden SBY sudah memangku jabatan dua periode. Konstitusi melarangnya. “Pilpres 2014 terjadi tanpa kehadiran pertahana selaku peserta,” jelasnya.


Di tahun 2004, pertahana presiden kalah. Di tahun 2009, pertahana presiden menang. Dengan demikian, sejarah Indonesia menunjukkan angka. Sebesar 50 persen kemungkinan pertahana presiden terpilih kembali. Sebanyak itu pula, kemungkinan 50 persen petahana dikalahkan.


Bagaimana di Amerika Serikat? Denny JA melanjutkan, berdasarkan data 18 kali pemilu presiden terakhir yang petahana maju kembali untuk periode kedua, prosentase juga ketat.


“Sebanyak 10 kali pertahana presiden menang. Sebanyak 8 kali pertahana presiden dikalahkan. Prosentase pertahana untuk menang dalam pilpres Amerika Serikat untuk kasus di atas sebesar 55 persen,” sambungnya.
B

erdasarkan dua kasus Indonesia dan Amerika, ini gambarannya. Sebesar 50-55 persen pertahana presiden akan menang. Namun sebesar 45-50 persen pula pertahana akan dikalahkan.
“Apakah data statistik ini berita baik atau berita buruk buat Jokowi selaku petahana, dan penantangnya?” ungkapnya.

https://nusantaranews.co/menimbang-peluang-keterpilihan-incumbent-di-pilpres-2019/

Menakar Peluang Jokowi 2019

Jumat 13 April 2018, 11:23 WIB




Voxpol Prediksikan Jokowi Kalah Bila Pilpres 2019 Dua PutaranPresiden Joko Widodo (Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres)



Jakarta - Dalam beberapa bulan terakhir ini kita merasakan perang urat syaraf, opini, adu argumentasi dan bahkan "adu kuat" antara pendukung Jokowi dan pendukung non Jokowi atau ABJ alias Asal Bukan Jokowi. Sesuatu yang lumrah dalam alam demokrasi, sepanjang berjalan dalam koridor aturan main dan fair. Sebagaimana dalam dunia olah raga, incumbent atau petahana cenderung lebih stres, gugup, emosionil, dan mudah panik.

Di sisi lain, petahana umumnya memiliki lebih banyak resources termasuk fasilitas dan jaringan (kekuasaan) formal dan atas non formal. Tetapi karena sering panik, kelebihan-kelebihan itu kadang justru digunakan secara non-produktif baik dalam bentuk pernyataan maupun tindakan. Misalnya, pernyataan bahwa mayoritas rakyat masih menginginkan Jokowi padahal hasil hasil survei politik, bahkan dari lembaga survei yang ditengarai sering berpihak sekalipun, menyimpulkan bahwa elektabilitas Jokowi masih yang tertinggi tetapi di bawah 50%. Artinya, bukan mayoritas.

Contoh lain adalah tindakan hukum yang sering dirasakan atau dianggap berat sebelah yang diam-diam sebenarnya justru merugikan petahana sebab semakin mensolidkan sikap pesaing yang akan diwujudkan nanti pada hari H dengan tidak memilih petahana.

Voxpol Prediksikan Jokowi Kalah Bila Pilpres 2019 Dua PutaranDalam Pilpres 2014 yang lalu, Jokowi relatif hanya menang tipis dari Prabowo Subianto. Meski sudah berkuasa 3,5 tahun, tampaknya Jokowi gagal memelihara jumlah pendukungnya. Sinyalemen ini dapat diketahui dari berbagai survei yang umumnya menampilkan elektabilitas Jokowi di bawah 50%, bahkan hanya sekitar 35%. Artinya, terjadi penurunan jumlah pendukung Jokowi. Penurunan ini juga sejalan dengan observasi umum yang tidak menemukan perubahan sikap kelompok pemilih dari semula non-Jokowi menjadi Projo. Sebaliknya kita sering melihat dari Projo yang kecewa menjadi non-Jokowi bahkan anti Jokowi.

Bagaimana dengan parpol parpol yang pada Pilpres 2014 yang lalu tidak mendukung Jokowi tetapi kini mendukung Jokowi maju lagi dalam Pilpres 2019? Jawabnya sederhana saja bahwa dukungan parpol hanyalah tiket pencalonan ke KPU. Tidak berbanding lurus dengan perolehan suara. Dan, itu sudah dibuktikan sejak terpilihnya SBY dalam Pilpres 2004 maupun dalam banyak pilkada, termasuk saat terpilihnya Jokowi sebagai Gubernur DKI yang masing-masing kemenangannya tidak berbanding lurus dengan besarnya dukungan parpol. Artinya, dukungan resmi parpol boleh saja minimalis tetapi memperoleh kemenangan yang meyakinkan, dan sebaliknya yang besar dukungan parpolnya tetapi dikalahkan telak oleh pilihan rakyat.

Sudah menjadi rule of thumb bahwa dalam simple majority system, untuk layak dimajukan lagi seorang petahana "disyaratkan" memiliki dukungan atau elektabilitas minimal 60% dengan perhitungan kalau ada penurunan dukungan sampai 10%, masih memperoleh sisa 50% plus alias masih menang. Jika elektabilitas petahana di bawah 60%, parpol pendukung biasanya ragu-ragu untuk mencalonkan kembali, dan bila di bawah 50% logikanya parpol pendukung akan mengajukan calon lain.

The simple theory atau argumentasi dari logika tersebut, selain dari kebiasaan dan empiris di negara negara demokrasi, bahwa seorang petahana itu telah manggung dengan jabatan dan kekuasaannya sehingga sudah jelas kualitasnya, baik-buruknya, atau kinerjanya di mata pemilih. Maknanya, para pemilih sudah mengetahui dengan jelas alasan dukungan atau penolakannya terhadap petahana. Bukan lagi membeli kucing dalam karung. Oleh karena itu seorang petahana yang hanya didukung kurang dari 50% hampir dapat dipastikan akan kalah.

Contoh terakhir dalam pilpres adalah Ibu Megawati sebagai petahana yang dikalahkan SBY dalam Pilpres 2004, sejalan dengan hasil survei bahwa dukungan terhadap Ibu Megawati selaku petahana di bawah 50%. Atau, contoh terakhir dalam pilkada adalah kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI. Selaku petahana, dukungan terhadap Ahok sesuai hasil hasil survei, seingat saya, selalu di bawah 50% meski selalu tertinggi dibandingkan calon calon yang lain. Bahkan dalam putaran pertama pun Ahok memperoleh suara tertinggi, melampaui suara Anies Baswedan. Tetapi dalam putaran kedua atau akhir, Ahok dikalahkan Anies yang sebelumnya baik dalam survei-survei maupun putaran pertama kalah oleh Ahok.

Perolehan suara petahana biasanya memang stagnan. Ini menjelaskan bahwa dukungan terhadap petahana --ceteris paribus-- cenderung fixed. Mengapa? Sekali lagi karena pemilih sudah tahu kinerja petahana. Jadi yang mendukung akan benar-benar mendukungnya, dan yang menolak juga akan benar-benar menolaknya. Inilah untung ruginya petahana. Oleh karena itu sungguh keliru bila elektabilitas petahana dibandingkan dengan calon penantangnya. Hampir dapat dipastikan petahana akan selalu unggul seperti halnya Ahok dalam pilkada DKI, ataupun kini dalam hal menyongsong Pilpres 2019. Elektabilitas Jokowi akan lebih tinggi dari calon lainnya.

Meski begitu, sepanjang elektabilitas petahana di bawah 50%, hampir dapat dipastikan petahana akan kalah. Mengapa? Sebab berarti lebih dari 50% pemilih tidak mendukung petahana yang untuk sementara suaranya mungkin masih terpecah-pecah atau terbagi-bagi ke beberapa calon, atau sengaja belum menentukan sikap pilihannya tetapi hampir dapat dipastikan tidak ke petahana. Tetapi bila nantinya head to head antara petahana dengan penantangnya, suara yang tidak mendukung petahana atau belum bersikap tadi akan merge (bersatu) untuk atau demi mengalahkan petahana.

Dengan demikian adalah suatu kekeliruan besar bila kita membandingkan elektabilitas petahana dengan elektabilitas para penantangnya. Elektabilitas petahana hanya dapat dibandingkan dengan dirinya sendiri, yaitu berapa besar yang tidak mendukungnya. Perbandingan elektabilitas sesama calon hanya dapat disajikan (sebagai rujukan) bila sama sama baru, tidak ada calon petahana.

Dari gambaran keadaan di atas dapat dimengerti bahwa para bakal calon dengan tim suksesnya harus beradu cerdas mengatur strategi. Para pemilih juga harus cerdas dalam menyikapi isu, pembentukan opini, dan membaca hasil hasil survei. Perbandingan elektabilitas petahana dengan calon lain yang bukan petahana misalnya, bukanlah perbandingan apple to apple, dan karena itu tidak usah dibeli.

Kita juga bisa memahami (bila benar) isu yang berkembang bahwa strategi tim sukses petahana adalah menawarkan calon penantang yang paling potensial untuk menjadi cawapresnya. Ini adalah strategi yang amat jitu dan murah atau efisien dari petahana yang hanya mempunyai dukungan di bawah 50% sebab akan melahirkan calon tunggal, atau mungkin cukup memasang calon boneka untuk sekedar memenuhi syarat formal. Tetapi blunder bagi sang penantang dan kekuatan pendukungnya.

Karena itu keputusan Gerindra dan parpol parpol pendukung Prabowo untuk tetap mengajukan Prabowo sebagai capres dalam Pilpres 2019 sudah tepat, sebab selain berpeluang memenangkan pilpres, setidak tidaknya juga akan meningkatkan perolehan suara legislatif parpolnya. Sebaliknya, kita juga bisa memahami bila ada strategi para capres yang tidak mengambil tokoh parpol sebagai cawapresnya karena yang penting adalah kuatnya dukungan suara.

Kita juga bisa memahami isu bahwa petahana ingin tetap berpasangan dengan JK mengingat kemenangan dalam Pilpres 2014 adalah karena faktor JK yang dianggap sebagai tokoh Islam sekaligus tokoh Indonesia Timur. Saya kira tanpa JK, dukungan kepada Jokowi akan lebih turun lagi. Tapi, tampaknya JK terhalang oleh larangan konstitusi karena sudah dua kali menjadi warpes.

Dengan demikian sungguh naif bagi mereka yang telah membuat kekeliruan analisis dalam Pilkada DKI dengan meyakini Ahok akan menang (padahal elektabilitasnya, meski selalu di atas yang lain, tapi tidak melebihi 50%), kini membuat kesalahan serupa bila meyakini Jokowi akan menang padahal elektabilitasnya jauh di bawah 50%. Karena itu prediksi 2019 akan ada presiden baru, bukan prediksi yang tidak berdasar.
Fuad Bawazier mantan Menteri Keuangan.

https://news.detik.com/kolom/d-39694...ng-jokowi-2019



-------------------------------------------

Ramalan untuk pak Jokowi kok semakin pesimis aja yah dari hari ke hari ... 
apa ini tanda-tanda?

emoticon-Ultah


0
2.4K
39
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.9KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.