Polisi memasang baliho DPO (Daftar Pencarian Orang) tindak pidana terorisme yang dipasang dipinggir jalan umum di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Kamis (19/4).
Isu radikalisme masuk kampus terus bergulir. Badan Intelijen Negara (BIN) mengungkapkan ada 39 persen mahasiswa di Indonesia sudah terpapar paham radikal dan 3 universitas menjadi perhatian khusus karena bisa menjadi basis penyebaran paham radikal.

Radikalisme di kampus itu diungkapkan Kepala BIN, Budi Gunawan di depan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama dari 272 kampus se-Indonesia di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (28/4/2018).

Budi mengatakan dari riset BIN tahun 2017 diketahui 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA sederajat setuju dengan tegaknya negara Islam di Indonesia.

"Ini semakin menegaskan bahwa lingkungan kampus sudah menjadi target bagi kelompok radikal untuk memobilisasi calon teroris baru," kata Budi dikutip dari Antaranews.

Dari survei itu, Budi mengatakan 39 persen mahasiswa di Indonesia sudah terpapar paham radikal. Ia menambahkan ada 15 provinsi yang terus menjadi perhatian.

Budi juga mengungkapkan ada 3 universitas yang menjadi sorotan BIN karena berpotensi menjadi basis penyebaran paham radikal. Budi tidak menyebutkan nama-nama perguruan tinggi itu.

Mahasiswa, kata Budi, sering dijadikan target penyebaran paham radikal oleh pelaku terorisme. Mereka jadi target cuci otak kemudian dicekoki pemahaman-pemahaman teroris.

Budi mencontohkan mahasiswa yang terjebak dalam paham radikal adalah Bahrun Naim, orang yang diduga menjadi otak bom Sarinah, Thamrin dan bergabung dengan ISIS. Kata Budi, Bahrun Naim mulai melibatkan diri dengan paham radikal ketika menjadi mahasiswa di Surakarta atau Solo dan sekitarnya.

Oleh sebab itu ia berharap para mahasiswa harus mampu mencegah pemahaman radikal agar tidak mempengaruhi mereka. Mahasiswa harus paham mana yang baik dan buruk.

Riset tentang radikalisme pernah dirilis Wahid Institute dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2016 lalu. Survei itu melibatkan 1.520 responden yang tersebar di 34 provinsi periode April-Mei 2016. Respondennya adalah umat Islam berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah.

Sebagian besar responden (72 persen), menyatakan menolak tindakan radikal. Namun, ada 0,4 persen responden yang mengaku pernah terlibat dalam kegiatan radikal dan 7,7 persen mau bertindak radikal kalau memungkinkan.

Bila dikonversikan menjadi jumlah umat Islam di Indonesia, sekitar 150 juta, berarti ada sekitar 11 juta lebih yang menyatakan ingin berbuat radikal bila ada kesempatan dan 600 ribu warga Indonesia berpotensi berbuat radikal.

Berdasarkan hasil survei itu, pendidikan, ekonomi, dan tempat tinggal tidak memiliki korelasi dengan radikalisme.

Survei radikalisme di Indonesia yang digelar Wahid Institute dan Lembaga Survei Indonesia pada 2016.
Upaya menangkal gerakan radikal di kampus sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun lalu. Pada September 2017 lalu, ribuan rektor perguruan tinggi se-Indonesia menyatakan sikapnya dalam melawan radikalisme dan intoleransi.

Deklarasi kebangsaan perguruan tinggi melawan radikalisme itu dibacakan di hadapan Presiden Joko Widodo di Nusa Dua Convention Center, Bali.

Dalam pernyataannya, para pimpinan perguruan tinggi itu menyampaikan bahwa muncul kecenderungan dan berkembangnya ajaran atau paham radikal di Indonesia. Ajaran yang mengajarkan kekerasan dalam mencapai tujuan dengan mengatasnamakan suku, agama, ras, dan antar golongan, atau yang bertentangan dengan Pancasila.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...oroti-3-kampus

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Nomor prabayar tak registrasi ulang kena blokir total mulai 1 Mei

- Seremonial bersejarah dua Korea

- Manuver politik Jokowi dan Amien Rais hingga vonis Setnov