Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Kebebasan pers di Indonesia masih buruk

Seorang jurnalis yang tergabung dalam Tim Advokasi Jurnalis Independen (TAJI) menggelar aksi Stop Kekerasan Terhadap Jurnalis dan Warga oleh Polisi di Taman Vanda, Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/4/2018).
Perlindungan terhadap kebebasan pers di Indonesia tak mengalami perbaikan yang signifikan.

Indeks Kebebasan Pers 2018 yang dirilis Reporters Without Borders (RSF) pada Selasa (24/4/2018), menunjukkan peringkat kebebasan pers di Indonesia sama sekali tidak bergeser dari tahun lalu.

Indonesia tetap berada di peringkat 124, tak lebih baik dari Timor Leste (peringkat ke-95) dan Afghanistan (peringkat ke-118). Skor secara keseluruhan yang dimiliki Indonesia hanya membaik 0,25 persen dibandingkan tahun lalu di angka 39,93.

Skor tersebut menempatkan kebebasan pers di Indonesia dalam kategori buruk (bad).

"Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal membuktikan janji kampanyenya. Pelanggaran atas kebebasan pers, termasuk pembatasan akses peliputan di Papua dan Papua Barat, masih terjadi selama masa pemerintahannya," sebut pernyataan yang dirilis lembaga nirlaba asal Prancis itu.

Salah satu ancaman kebebasan pers di Indonesia yang tengah disoroti RSF adalah intimidasi kelompok-kelompok radikal terhadap gerak peliputan dan akses informasi bagi para jurnalis.

"Beberapa jurnalis juga mengaku terbatasi geraknya lantaran keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)," sambung RSF.

Kasus terbaru terkait intimidasi kelompok radikal terhadap kerja jurnalis adalah aksi unjuk rasa Front Pembela Islam (FPI) di depan kantor Tempo, Jl. Palmerah Barat, Jakarta Barat, 16 Maret 2018.

Kala itu FPI menuntut permohonan maaf dan pencabutan kartun bergambar seorang pria bersurban yang dianggap mirip dengan pimpinannya, Rizieq Shihab.Pimpinan redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli, akhirnya menyampaikan permohonan maafnya di hadapan para pengunjuk rasa.

Kasus lain yang disoroti RSF perihal kebebasan pers di Indonesia adalah pembatasan akses jurnalis asing untuk meliput daerah konflik di Indonesia, khususnya Papua dan Papua Barat.

Persoalan ini berpangkal pada pengusiran dua jurnalis asal Prancis, Franck Escudie dan Basile Longchamp, yang hendak melakukan peliputan dokumenter di Papua Barat, 17 Maret 2017.

Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM, Agung Sampurno, saat itu menjelaskan alasan pengusiran dua jurnalis berikut beberapa kru filmnya itu lantaran keduanya datang menggunakan visa on arrival, namun di lapangan melakukan kegiatan jurnalistik.

Dalam keterangannya, RSF justru menegaskan bahwa dua jurnalis tersebut sudah mengajukan izin peliputan kepada Pemerintah Indonesia--meski tidak dijelaskan lebih jauh perihal otoritas mana yang dimintai izin.

"Begitu tiba, mereka dituduh 'kurang melakukan koordinasi dengan instansi terkait'. Alhasil, mereka dideportasi dan dilarang masuk ke Indonesia untuk periode waktu tertentu," sambung RSF.

Dalam catatan RSF, pelarangan jurnalis asing untuk meliput ke daerah yang masih berkonflik di Indonesia itu bukanlah yang pertama.

Januari 2016, seorang jurnalis asal Prancis yang berdomisili di Bangkok, Cyril Payen, ditolak masuk ke Indonesia setelah film dokumenter tentang Papua Barat yang berjudul "Perang Papua yang Terlupa" yang dibuatnya tayang di France 24.

Padahal ketika dirinya membuat dokumenter tersebut (medio 2015), seluruh perizinan yang diajukan kepada otoritas terkait sudah dikantonginya. Bukan hanya itu saja, stasiun televisi yang menayangkan film documenter buatan Payen juga dipanggil untuk dimintai keterangannya oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Selain pelarangan, beberapa jurnalis asing lainnya juga pernah menginap di balik sel tahanan atas tuduhan penyalahgunaan visa di Indonesia. Tujuan mereka di Indonesia juga sama dengan yang lainnya; meliput konflik di Papua.

Merujuk data kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia yang dirilis Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) untuk periode Januari-Desember 2016, kasus pengusiran/pelarangan peliputan menempati posisi kedua di bawah kekerasan fisik yang angkanya menembus dua kali lipatnya.

Seorang peneliti media dari Universitas Indonesia, Eriyanto, khawatir ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia ini bisa berdampak pada kualitas pemberitaan, yang juga berimplikasi pada penyampaian aspirasi masyarakat.

Apalagi saat ini terjadi pergeseran ancaman kebebasan pers yang pada Orde Baru dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa kini berpindah ke kelompok-kelompok masyarakat tertentu merasa memiliki kekuatan represif.

"Aksi tersebut mencerminkan masih kurangnya pemahaman di sebagian kelompok masyarakat terhadap arti penting kebebasan berpendapat sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin UUD 1945," tutur Eriyanto dalam Tempo.co.

Tiga negara dengan indeks kebebasan pers terbaik adalah Norwegia, Swedia, dan Belanda. Sebaliknya, Korea Utara, Eritrea, dan Turkmenistan adalah tiga negara dengan indeks paling buruk. Sepanjang 2018, RSF mencatat 20 jurnalis tewas, yang terdiri dari 14 jurnalis, empat jurnalis warga, dan dua pendamping jurnalis (fixer).



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...ia-masih-buruk

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Nahkoda Ever Judger tersangka pencemaran Teluk Balikpapan

- Lulusan SMK banyak menganggur karena kualitasnya tak layak

- Kisah Fredrich Yunadi dan ketuk palu hakim

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
5.7K
79
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread733Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.