Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

skydaveeAvatar border
TS
skydavee
Antara Seni, Kebebasan Berekspresi dan Ancaman Jeruji


Aksi unjuk rasa kembali terjadi setelah beberapa abad lamanya pertunjukan teatrikal berjudul demonstrasi, tidak disuguhkan oleh beberapa elemen masyarakat. Pemicunya bukan karena tertangkapnya mahluk siluman bernama alien yang berwarna hijau lumut sedikit gelap dari galaksi andromeda yang katanya menekan ummat mayoritas. Melainkan sebuah puisi dari Bu Sukmawati.

Kenapa Milea? Yuk kita bahas sambil mendengarkan siara dunia dalam berita dari TVRI. Habis itu kita nikmati acara aneka Ria Safari. Generasi jaman old pasti paham acara ini.

Sebelum mengulas substansi puisi yang menjadi trigger terjadinya aksi unjuk rasa beberapa hari yang silam, mari kita simak bersama, mengenai mahluk apa yang bernama puisi itu.

Seperti dikutip dari wikipedia, puisi adalah sebuah karya seni yang tertulis. Kenapa tertulis? Supaya bisa dibaca dan dibacakan. Kalau tidak tertulis, hanya bisa dibaca dalam hati oleh pembuatnya dengan cara solilokui atau nggremeng.

Dalam bentuk seni ini, seorang penyair menggunakan bahasa untuk menambah kualitas estetis pada makna semantis. Penekanan pada segi estetik sebuah bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa.

Umumnya, puisi lebih ringkas dan padat, sedangkan prosa seperti sedang mengutarakan sebuah cerita. Puisi juga penuh dengan makna tersirat dan kadang kala hanya mampu diinterpretasikan oleh pembuatnya sendiri. Tidak hanya penuh perumpaan dan arti tersembunyi, didalam puisi sering dijumpai pengulangan satu suku kata yang kerap dianggap aneh. Bagi orang yang awam, hal ini bisa membingungkan. Namun, bagi penciptanya, keanehan dan kebingungan pembaca selalu bisa dijawab oleh mereka sendiri, dan disitulah terletak seninya.

Kembali pada teks puisi yang dibacakan Bu Sukma, pada baris kedua sebenarnya sudah jelas. Bila beliau membandingkan antara kidung dengan azan, itu karena "ketidaktahuan" beliau akan syariat Islam. Dan kalimat itu diulang untuk kedua kalinya. Apakah pernyataan itu hanya sekedar pelengkap estetika dalam sebuah puisi? Atau justru bermakna leksikal?

Masuk akalkah orang Islam tidak mengetahui syariatnya sendiri? Jawabannya sangat masuk akal. Tergantung bagaimana mereka memahami serta menjalankan Islam itu, apakah secara komprehensif atau yang biasa disebut dengan sebutan "kaffah" atau mempelajarinya secara parsial dari kulitnya saja.

Bagaimana mempelajarinya dengan komprehensif? Perbanyak membaca seperti makna Iqra' yang pertama kali diturunkan di gua Hira. Membaca saja ternyata tidaklah cukup. Karena kita tidak harus selalu percaya dengan apa yang kita baca. Teruskanlah dengan menelaah, dan berjanji pada diri sendiri untuk bersikap adil sejak proses membaca dan menelaah dilakukan. Lantas bergurulah pada orang-orang yang kompeten. Kompetensi tidak diukur dari atribut yang dikenakan. Tapi pada pencapaian spritual yang memang telah diakui oleh khalayak ramai. Dan indikatornya dapat dilihat dari sinkronnya antara laku dan ucapan.

***
Spoiler for ilustrasi:


Sebagai bagian dari seni, puisi acapkali dijadikan sebagai wadah dan cara menyampaikan ekspresi seseorang. Diksi kata dan "rahasia" makna yang tersirat seringkali bermakna kritikan yang menohok layaknya satire. Mungkin pembuatnya ingin mencurahkan gejolak didalam batinnya terkait makna teologi, perang batin, sosial-politik, bahkan kisah asmaranya yang kelam seperti Chu Pat Kay.

Indonesia adalah negara yang demokratis. Kebebasan berekspresi dalam bentuk apapun tentu hal yang wajar serta diperbolehkan. Asal pelakunya cukup tahu diri bahwa dibalik hak berekspresi, terselip pula kewajiban didalamnya. Diantaranya mampu mengukur sendiri bahwa kebebasannya tidak dianggap merugikan oranglain.

Terkait polemik tentang puisi Bu Sukma, komparasi antara kidung dan azan memang terdengar tidak pantas bagi pihak-pihak yang menganggap adanya unsur penodaan agama terkandung didalamnya secara implisit. Ketidaksetujuan ini lalu diejahwantakan dalam bentuk protes dan aksi demonstrasi.

Spoiler for ilustrasi:


Tanpa berniat berpikir antitesa dengan pemikiran "mereka" yang berunjuk rasa, ada bagian dari obyek yang diangkat dalam puisi memang tidak pada tempatnya. Konon lagi dilontarkan diranah publik. Bisa jadi, ini jauh lebih jahat dari Rangga yang meninggalkan Cinta berpuluh-puluh purnama lamanya. Apa yang kamu lakukan itu jahat! Begitu kata mereka sambil berunjuk rasa.

Bu Sukma kemungkinan tidak menyadari bahwa ia tidak sedang berbicara didepan rakyat Estonia. Sebuah bangsa yang masalah tentang religiuitas menjadi nomor kesekian. Bagi mereka, urusan dogma itu hubungan vertikal yang sangat-sangat individual bahkan kadang gak dianggap.

Namun beliau sedang berhadap-hadapan dengan bangsa Indonesia yang gemar mem-finalkan sebuah masalah sesuai sudut pandangnya saja. Yang lain dianggap sesat lagi menyesatkan. Abaikan diagnosis bahwa yang final-final terbukti menggerus nalar kewarasan. Bukankah yang begitu itu enak? Pokoknya final. Gak capek harus menelaah, mengoreksi, alih-alih menggunakan asas cover both sidelayaknya jurnalis. Panganan opo kuwi dab?

Ketidakpahaman, atau "test the water" ala Bu Sukma ini yang, sungguh mengantarkan beliau dalam posisi yang rumit. Tekanan massa supaya salah satu putri proklamator ini digiring ke jeruji tampaknya tidak main-main. "Memaafkan boleh, tapi proses hukum tetap jalan". Begitu kira-kira yang mereka teriakkan.

Spoiler for ilustrasi:


Sedangkan bagi yang menganggap tidak ada persoalan, cenderung berpikir bahwa itu hanyalah sebuah puisi. Lagipula, pucuk pimpinan MUI telah memberikan himbauan agar menyudahi sengketa supaya tidak berlarut-larut. Tapi kok begini? Adakah aroma bias konfirmasi tercium disana? Entahlah...

Proses membandingkan-bandingkan memang kadang menyakitkan. Lagi enak-enak makan dengan sang pacar, nasi goreng bisa serasa tak enak walaupun micinnya sudah sebungkus. Apalagi saat sang pacar meski berwajah imut seperti marmut, dengan lugas tanpa majas membandingkan kita dengan oranglain. Sakit brow...!

Tentunya, pelajaran berharga dari peristiwa ini bisa kita petik. Jangan sesekali berekspresi dalam wadah apapun jika materinya bersinggungan dengan agama.

Mendobrak patron itu memiliki banyak metode. Percayalah, satire dan sarkasme bisa digunakan dengan sangat baik walau untuk urusan sensitif, se-sensitif dogma. Namun gunakan diksi yang tepat. Kalau gak, ya begini jadinya.

Terbukti, komparasi antara kidung dengan azan, lalu konde dengan cadar pun jadi masalah. Jujur, meski saya muslim, saya tidak akan menggunakan cadar sampai kapanpun. Apakah lantas kemudian saya dianggap tidak agamis? Benarkah tingkat kesalehan dilihat dari tampilan busana yang dikenakan berikut aksesorisnya? Lalu kenapa saya enggan menggunakan cadar? Karena saya laki-laki...!?


Kamu suka saya bernyanyi atau berpuisi, Milea?...


©Skydavee

Sumber gambar: google

Mari hormati penulis dengan mencantumkan sumber asalnya saat artikel dibagikan. Be Smart, Respect Yourself...
Diubah oleh skydavee 30-07-2018 05:17
0
11.1K
127
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.3KThread83.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.