Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ryan.manullangAvatar border
TS
ryan.manullang
Antara Slogan Membaca dan Ironi
Antara Slogan Membaca dan Ironitamanbacaanpelangi.com

Sejak mengeyam pendidikan sekolah dasar, mungkin kita pernah mengingat atau sesekali melihat sebuah tulisan yang banyak terpampang di dinding-dinding sekolah maupun dalam poster yang dipajang di dalam kelas sebagai penghias ruangan kelas yang berisikan tulisan slogan "membaca membuka jendela dunia". Slogan ini memang telah lama menjadi slogan dalam dunia pendidikan kita sebagai sebuah wujud budaya intelektualitas dunia pendidikan.

Bila diartikan secara sederhana slogan adalah sebuah kalimat seperti motto atau frasa yang mengandung pesan di dalamnya. Baik itu pesan politik, agama, budaya, pendidikan, komersil, dsb. Dari sini kita dapat beranjak bahwa slogan dibuat sebagai sebuah stimulan dalam merangsang sebuah tujuan yang diharapkan. Dalam konteks "membaca membuka jendela dunia" hal yang ingin dicapai adalah sebuah kesadaran dan budaya gemar membaca sebagai wujud cita-cita pendidikan kita serta upaya dalam memberantas kebodohan dari tengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan data UNESCO(United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) minat membaca anak indonesia hanya sekitar 0,01% atau artinya dari 10.000 anak Indonesia hanya terdapat satu anak yang betul-betul gemar membaca. Most Littered Nation In the World 2016 juga mencatat peringkat "minat baca" Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang mereka survei.

Hal diatas sebenarnya bukanlah hal yang mengejutkan. Mungkin saja kita dapat menganulir pemakaian data-data lembaga tersebut tidak sesuai pendataan lapangan sebenarnya atau studi yang dipakai lembaga tersebut sangat terbatas hingga tercipta statistik seperti itu sebagai pembelaan, namun faktanya adalah budaya baca dikalangan generasi muda kita sungguhlah sangat minim dan terbilang tidak mengalami pertumbuhan signifikan.

SEKOLAH MEMBUDAYAKAN SLOGAN BUKAN KESADARAN

Sudah sejak lama sekolah-sekolah mengkampanyekan budaya gemar membaca ini didalam lingkungannya. Mulai dari mengadakan perpustakaan hingga membuat kewajiban-kewajiban untuk membaca buku tertentu. Namun, sekolah seperti mengedepankan sikap formalitas dalam menciptakan kesadaran akan budaya gemar membaca tersebut. Asal telah menyediakan fasilitas dan upaya wajib dalam memenuhi kriteria alat "gemar membaca" tersebut, sekolah sudah merasa memenuhi tugas dalam mewujudkan cita-cita slogan "membaca membuka jendela dunia" tersebut.

Alhasil buku dipandang menjadi sebuah kewajiban bukan sebuah pilihan dan kesukaan ditengah lingkungan sekolah. Siswa terbentuk hanya membaca disaat kewajiban formal sekolah menuntut untuk hal tersebut dalam pemenuhan standar formalitas. Hal tersebut menjadi sebuah virus yang banyak meracuni daya pikir setiap siswa. Perihal gemar membaca mengalami stagnansi baik secara kuantitas maupun kualitas sebagai akibat polemik diatas.

Sekolah juga tidak menciptakan iklim gemar membaca ditengah lingkungannya baik oleh pengajar maupun kepada siswa. Budaya membaca tidak disertai dengan ransangan-ransangan kreatif melalui pengajar untuk mencoba menggali potensi minat baca siswa. Mulai dari diskusi mengenai buku maupun pembelajaran kreatif mengenai buku dan seluk-beluknya. Hal ini tidak diciptakan sekolah untuk menarik simpati siswa pada buku sehingga siswa hanya memandang buku sebagai sebuah kertas yang berisi tulisan yang harus dibaca karena ada kewajiban didalamnya.

Slogan "membaca membuka jendela dunia" tidak dibarengi dengan upaya-upaya kesadaran oleh pihak pendidik yang seharusnya menjadi program tanpa putus dalam lingkungan sekolah. Gemar membaca tidak dapat dihasilkan dengan upaya fasilitas dan formalitas monoton yang dibuat sekolah namun harus selalu menjadi upaya-upaya kreatif dalam menjawab tantangan zaman dan generasi yang menjadi tanggung jawabnya dalam menyikapi kesadaran akan pentingnya slogan tersebut dan bukan hanya menjadi sebuah pajangan penghias dinding dan ruangan kelas.

PEMERINTAH MENCIPTAKAN SLOGAN BUKAN FASILITAS

Ada sebuah fakta unik yang terjadi saat Jepang dilanda bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika dikota Hiroshima dan Nagasaki pada akhir perang dunia kedua pada bulan agustus 1945 yang meluluhlantahkan kedua kota tersebut hingga lumpuh. Akibat peristiwa tersebut Jepang akhirnya menyerah kepada sekutu akibat terlalu banyak kerugian yang dialami jepang saat itu baik dari sisi ekonomi maupun infrastruktur negara. Selain langkah cepat perbaikan kembali sistem negara Jepang yang lumpuh, hal utama lain yang dikerjakan oleh Jepang pasca kejadian tersebut adalah mengumpulkan guru-guru yang masih memungkinkan untuk mengajar dan mendirikan sekolah-sekolah secepat mungkin agar anak-anak bisa segera sekolah.

Apa yang mampu kita tangkap dari peristiwa tersebut? Mungkin kita akan punya banyak perspektif mengenai itu. Namun satu yang pasti Jepang menyadari bahwa sekolah adalah tonggak pembangunan semua sektoral negaranya dari sisi SDM. Jepang menyadari perubahan dan kemajuan negaranya hanya bisa diraih bila kuantitas dan kualitas sekolah juga bertumbuh. Hari ini tidak perlu jauh-jauh pergi ke Jepang untuk melihat kemajuan Jepang, semua tersedia di dunia maya sebagai informasinya.

Dari hal ini kita dapat menyadari bahwa kemajuan sebuah bangsa dapat terlihat dari kemampuan dan kefokusan pemerintahnya dalam membangun sistem pendidikan yang betul-betul dibutuhkan oleh rakyatnya. Hal ini bukanlah perkara mudah menimbang begitu kompleksnya kepentingan dan kebutuhan semua sektoral yang harus ditangani pemerintah. Sektor pendidikan sangat dipengaruhi oleh daya ekonomi sebuah negara, biasanya semakin baik ekonomi sebuah negara akan sejalan dengan peningkatan kualitas kompetensi pendidikan didalamnya, hal ini akan berkonsekuensi terhadap dihasilkannya kualitas SDM yang mumpuni untuk mengisi sektor-sektor kepentingan negara.

Bila kita berkaca pada negara Indonesia, tidaklah dapat kita berucap bila negara kita tidak mampu atau terhambat secara ekonomi. Sumber penghasilan ekonomi Indonesia terbilang melimpah bahkan memiliki peluang menjadi raksasa industri di masa depan bila sektor penghasilan tersebut dapat dimaksimalkan dengan baik. Jadi, sangat tidak muluk bila kita merasa seharusnya negara kita memiliki tingkat kualitas pendidikan yang baik, seperti pada segi fasilitias dan kurikulum. Namun, bukan mimpi di siang bolong bila semua titik ideal di atas masih sangat jauh dari implementasi yang terjadi hingga hari ini. Di media-media massa masih sangat sering kita mendengar kekurangan fasilitas dan struktur pengajar diberbagai sekolah di daerah-daerah luar ibukota. Bahkan, banyak di antaranya sangat memprihatinkan. Untuk fasilitas buku pun sepertinya sangat sulit dipenuhi oleh pemerintah.

Dari hal ini kita dapat belajar bahwa slogan yang sejak dahulu dikampanyekan oleh pemerintah sebagai wujud visi pendidikan masih sangat jauh dari kata berhasil alih-alih justru sekarang hanya seperti kata-kata indah belaka. Pemerintah menciptakan visi tanpa dibarengi misi yang kontekstual. Hasilnya program-program edukasi membaca hanya sebatas formalitas sistem belajar belaka.

Buku yang idealnya adalah alat utama dalam mewujudkan nilai dalam kepentingan slogan tersebut tidak dijadikan sebagai topik utama dalam pemenuhannya. Lantas bagaimana upaya "membaca membuka jendela dunia" dapat tercapai?. Pendidikan bahkan menjadi lahan komersialisasi oleh segelintir kelompok yang merasa dapat menghasilkan keuntungan melalui itu. Termasuk dalam pemenuhan fasilitas berupa buku bagi upaya pencerdasan kehidupan bangsa. Pemerintah bagaikan seorang politikus yang menciptakan mimpi indah dibawah ironi kehidupan intelektual generasi bangsa.

Ada yang harus dipahami bahwa budaya baca takkan pernah tercipta dengan proses kewajiban. Budaya baca hanya mampu terbentuk dalam kesadaran penuh akan pentingnya pengetahuan dalam kehidupan bernegara. Budaya baca juga takkan dapat terpenuhi bila upaya-upaya fasilitas akan itu tidak dipenuhi. Dengan pemenuhan hak akan budaya baca tersebut dengan menciptakan fasilitas dan lingkungan baca ditengah masyarakat yang akan menimbulkan budaya baca didalam diri masyarakat. Bila tidak, slogan tersebut hanya akan tetap menjadi hiasan dinding sekolah maupun ruang kelas dunia pendidikan.***



sumber : opini pribadi dalam kritik slogan
Diubah oleh ryan.manullang 22-03-2020 17:29
0
1.2K
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.3KThread84.3KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.